Selasa, 09 Juli 2019

Beri Kami Contoh, Bukan Perbandingan

Tidak ada yang bahagia, hidupnya disamakan dengan yang lainnya. Termasuk aku, dia, atau bahkan mereka yang gemar membandingkan sekalipun. Sebuah ketidakadilan yang kerap tidak disadari oleh banyak hati. Kita mungkin sering mengalami ini.

Sore itu mendung. Udara masih agak dingin seperti beberapa hari terakhir. Beberapa tetanggaku berkumpul, mengupas kacang tanah yang akan digunakan sebagai bibit di sawah. Aku baru saja menyusul, usai membersihkan diri dan menyelesaikan urusanku dengan Rabb-ku.
Ibu-ibu di pelataran rumah tetanggaku masih sibuk mengupas kacang tanah yang ada dihadapan mereka. Seperti biasa, wanita selalu bisa fokus dengan banyak hal. Dan yang paling identik dari mereka adalah curhat yang mengarah kepada nggibah. Jangan dihujat, ini manusiawi, meski sebenarnya ini sangat tidak baik untuk diri sendiri.

Aku masih diam sambil tetap membantu mengupas kacang tanah. Sekedar memperhatikan fokus bahasan mereka dan menelaah mana yang bisa ku ambil hikmah dan mana yang harus ku abaikan begitu saja. Aku tidak mau terlalu masuk ke dalam bahasan mereka. Repot, aku tidak suka. Haha

Tapi tiba-tiba seorang ibu mengeluh. Mengeluarkan sambatan atas anak laki-laki pertamanya.

"Capek emang apa-apa sendiri. Aku pengennya juga si Nanda ngebantuin aku gitu di rumah. Kan dia udah gedhe juga" katanya

"Aku juga. Kadang aku bilang sama enang, si Acap aja rajin njemurin baju, nyapu. Tapi ya gitu, tetep main terus" kata mamak menambahkan

Satu per satu ibu-ibu mengeluhkan hal yang sama. Aku? Masih diam mencari celah bicara.

"Makanya nggak usah mbanding-mbandingin sama anak orang" kataku menyela

Mereka diam. Aku? Ikut diam. Harusnya aku memang diam saja. Tapi tidak jadi. Aku sudah terlanjur geram menyaksikan ambisi mereka supaya anak-anak menuruti keinginan mereka tapi dengan cara yang sangat salah. Aku pikir mereka harus tahu isi hati anak-anak mereka. Dan aku harus mewakili mereka. Aku ada untuk berbicara sebagai anak. Ah harusnya tidak perlu. Aku pikir mereka harus lebih tahu, karena mereka lebih dulu menjadi anak-anak daripada aku dan mereka yang suka mereka banding-bandingkan.

"Bukan begitu mbak, aku cuma pengen Nanda bantuin aku, entah nyapu, entah nyuci baju" katanya menambahkan

"Aku ngerti, tapi nggak dengan cara mbanding-mbandingin. Sakit woiii" kataku

"Halah cucu-cucuku kok dengan suka rela ngebantuin ibunya di rumah" kata seorang nenek di sudut agak kiri perkumpulan itu

"Mbah, cucumu hidup dimana? Kita hidup dimana? Jangan disamain lah. Lagian nggak semua anak berhati besar menerima perbandingan." kataku lagi

"Enggak, mereka emang penurut" katanya menambahkan

"Berarti embah beruntung" kataku

Mamakku diam. Mungkin sudah terlalu muak dengan pembelaanku atas ini. Sudah berulang kali aku membahas ini dengan mamak di rumah, apalagi setiap mamak merasa penat dengan rutinitasnya atau mengeluhkan adikku yang sekarang sedang menikmati masa mudanya. Aku pernah diposisi ini. Dan aku pikir, aku harus tahu bagaimana diantara mamak dan enang.

"Seneng ya Nan, ada yang ngebelain" kata embahnya Nanda

"Siapa yang belain coba. Aku ngomong sebagai seorang anak mbah" kataku

"Aku bahkan nggak nyangka, enang bisa nyuci sendiri setelah pulang dari liburannya kemarin. Waktu itu di rumah memang lagi sepi. Cuma dia yang di rumah" kata mamak

"Nah itu. Jangan dikata kita yang kalian anggap nggak bisa apa-apa ini beneran nggak bisa apa-apa ya. Cara kalian tuh yang salah. Dengerin ya mamak-mamak yang terhormat (ceilahhh), bukan gitu caranya minta bantuan ke anak. Kasih mereka contoh. Kasih pengertian tentang kehidupan ke depan, tentang pentingnya hidup mandiri, atau tentang apapun yang bantu mereka ngerti. Jangan malah sibuk mbandingin sama anak orang. Bayangin kalian jadi anak-anak kalian, dibanding-bandingin sana sini. Sakit. Aku yakkinlah, kalian nggak bakalan mau.
Anak orang dibanggain, anak sendiri? Apa? Ya gini nih yang bikin mereka suka masa bodoh sama kalian. Rasanya nggak pernah ada yang berharga dari apa yang sudah mereka lakukan. Lagian nih ya, anak orang yang kalian bangga-banggain itu juga nggak bakal bisa kaya anak-anak kalian yang begini dan begitu. Setiap orang punya porsinya masing-masing." kataku panjang

Semua diam. Entah fokus dengan kacang tanah yang sedang mereka kupas atau dengan apa yang barusan aku sampaikan, aku tidak peduli. Mereka sudah sangat menyebalkan sore ini. Tapi semoga dari sekian hal yang ku sampaikan, bisa lebih membuka pemikiran mereka.

Akhirnya adzan magrib berkumandang dan satu per satu dari kami kembali ke rumah masing-masing. Mendung yang selama itu kami nikmati telah menyatu bersama gelap malam yang datang. Kami kembali dengan rentetan hal yang masih sibuk mengelabuhi diri.
Dan aku sangat paham banyak hal yang orang tua khawatirkan kepada anak-anaknya. Tapi mereka juga harus tahu bahwa tidak semua hal yang mereka anggap benar, sepenuhnya menjadi benar. Ada beberapa hal yang mesti mereka sesuaikan dengan anak-anak mereka. Karena tidak semua hal bisa ditakar dengan ukuran yang sama. Semua ada porsinya.

Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Tidak juga bermaksud merasa pintar dan menyombongkan diri. Aku hanya ingin menjadi wakil dari anak-anak yang berani mengutarakan dan kemudian didengarkan oleh orang-orang yang mereka hormati. Orang tua perlu menjadi manis untuk mendapatkan perlakuan yang manis dari anak-anaknya. Bukankah seseorang akan memetik apa yang telah mereka tanam? Aku pikir itu benar. Aku banyak membuktikan sendiri. Aku banyak menjumpai orang tua yang manis kepada anak-anaknya menjadikan anak-anak mereka menjadi manis, lembut, dan membuat orang tuanya bahagia juga. Begitupun sebaliknya. Memang tidak semuanya, tapi kebanyakan iya. Selebihnya anggap saja keberuntungan.

Aku juga masih belajar menata diri menjadi sebaik-baiknya pribadi. Menjadi anak-anak sudah kulalui. Sekarang waktunya mempersiapkan diri menjadi ibu yang baik untuk anak-anak ku nanti. Aku ingin mereka menjadi pribadi yang manis, selalu bahagia, dan menjadi sebaik-baiknya jalan surga.

Sudah, itu dulu saja.

Salam literasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....