Malamku dingin, ditemani dengan gelap yang menerangi. Ku tatap bulan purnama malam ini, sambil ku sampaikan beberapa sajak kerinduanku untuknya. Kekasihku yang sedang dalam perjalanan menujuku. Kedua mataku sejenak terpejam. Ku rasakan dekap yang semakin menghangatkanku.
Dia datang, kekasihku datang. Dia ada dihadapanku. Membelaiku dan memelukku dengan cinta dan kasih sayang yang dimilikinya untukku.
"Hai mata empatku" katanya berbisik
Dan aku mulai membuka kedua mataku. Tanganku seperti merengkuh. Tapi kosong, kekasihku pergi barang sekedipan mata.
"Ah harusnya tadi aku tidak berkedip" kataku menyesal.
Kemudian aku kembali menatap langit yang dihiasi oleh cahaya bulan purnama. Malam itu dia terlihat sangat cantik. Aku sampai takut tersaingi.
......intro sebuah lagu tiba-tiba berbunyi.....
"lekuk indah hadirkan pesona, kemulyaan bagi yang memandang............ " sebuah panggilan masuk yang sengaja ku atur menggunakan mode getar lengkap dengan nada dering lagu "Karena Wanita" karya Ada Band membuyarkan lamunanku.
Senyumku melebar. Mataku berbinar dan hatiku seketika bahagia. Ponselku berdering, sebuah nama terlihat dilayar gelap yang tiba-tiba menjadi terang seketika.
"Assalamualaikum....... beb" kataku setelah menggeser simbol hijau dilayar ponselku.
"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh mata empatku" katanya membalas.
Rasanya seperti mimpi. Sekian detik sebelum ini aku tak pernah berpikiran ponselku akan seberguna ini. Dia apalagi, aku sudah merelakan menjadi yang kedua setelah pekerjaannya. Tapi tidak begitu dengannya, setiap aku bilang begitu dia selalu memarahiku.
Oh tidak, dia lembut. Semarah apapun dia, ucapnya selalu menenangkanku. Dan setiap begitu, aku selalu bicara dengan diriku sendiri bahwa aku adalah wanita yang paling beruntung yang diijinkan memilikinya, aku harus menjaganya, dan aku harus jadi terbaik untuknya. Iya, semoga saja aku bisa.
"Beb, kok lagi nelpon si? Sibuk banget ya hari ini? Kamu udah makan kan? Udah sholat belum? Bunda udah ditelpon?" kataku tak henti.
"Hei, aku tahu kalau kamu kangen, tapi tanyanya satu-satu dong sayang. Aku kan bingung jawabnya" katanya membalas.
Aku selalu begitu. Ditakdirkan tumbuh menjadi pribadi yang cerewet membuatku sering keblabasan dalam bertanya. Bukan bermaksud posesif kepadanya, aku hanya ingin memastikan keadaanya saja. Walapun akhirnya aku jadi tidak enak hati karena sudah membuatnya tidak nyaman di awal percakapan yang sudah seharian aku tunggu.
"Iya, maaf beb" kataku menyesal.
"Iya sayang. Aku sibuk, baru aja kelar makan, isyaan udah, subuhan belum. Abis adzannya ku tunggu-tunggu ga nyampe-nyampe si. Hehe" katanya melucu.
Dia selalu berhasil mengalihkan penyesalanku. Aku tertaw kecil mendengar ocehannya. Aku tahu dia selalu berusaha menjadikanku baik-baik saja dan juga selalu nyaman berada di dekatnya. Oh Allah, aku ingin selamanya begini.
"Bunda?" tanyaku
"Bunda sehat kok" jawabnya
"Bukan itu. Kamu udah nelpon Bunda kan?"
"Udah dong. Baru aja kelar, makanya aku telat nelpon kamu"
"Iyalah, tau diri aja akutuu" kataku minder.
"Bundaku tetep akan jadi nomer satu, meskipun kita udah nikah kan beb?"
"Iya beb, kamu bener. Dan jangan lupa aku yang kedua, anak perempuan kita akan jadi yang ketiga, saudara perempuanmu urutan setelahnya, dan cukup. Aku tidak ingin ada yang lainnya. Aku ingin jadi istri satu-satunya. Ingat ya" kataku panjang.
"Insyaallah. Semoga Allah kasih istiqomah ya" katanya.
"Harus. Harus beb" kataku dengan nada memaksa.
Aku sering ketakutan membicarakan ini. Berulang kali aku mencoba menepis, berulang kali aku coba membuang ketakutan ini dan berulang kali pula aku menangis, memeluk ketakutanku sendiri.
Besar dengan rasa trauma menjadikanku lemah dalam hal ini. Aku takut menjadi yang menciptakan kekalutan di diri anak-anakku kelak. Aku tidak mau apa yang aku alami terjadi pula di anak-anak ku. Sakit ini biar aku yang rasa, anak-anakku biar tinggal bahagianya saja.
Aku selalu meronta kepada Allah, agar kelak aku bisa dipertemukan dengan orang terbaik yang bisa mengobati luka masa laluku dan kemudian menjadi sumber bahagiaku juga anak-anak ku kelak. Aku ingin apa yang aku impikan dimasa kecilku bisa terwujud, meskipun bukan aku lagi yang menjalani, melainkan anak-anakku. Aku ingin memberikan kebahagiaan yang penuh kepada mereka, termasuk melihat ayah ibunya bahagia bersama. Ya, semoga kekasihku akan benar-benar menjadi orang yang tepat untuk membantuku mewujudkan itu.
"Bunda bilang titip salam buat calon mantu" katanya kepadaku.
"Beneran apa boongan neh?" kataku memastikan.
"Apapun yang berkaitan sama Bunda insyaallah bener sayang"
Bunda. Wanita itu, calon ibuku. Aku selalu berharap kelak ketika waktu itu benar-benar tiba, aku ingin sekali menjadi dekat dengannya, menjadi putri kesayangannya dan bersama-sama menjadi sumber bahagia untuk putranya, lelaki yang telah menjadi kekasihku.
"Mata empat"
"Iya mas"
"Bulannya bulet banget, kek mukamu pasti kan?"
"Apaan sih mas? Nggak lucu tauk"
"Masih badmood nih ceritanya?"
Aku selalu begini. Memanggilnya dengan sebutan mas ketika suasana hatiku sedang kacau. Dia juga, hanya memanggil namaku ketika suasana hatinya sedang kacau. Perubahan itu seperti menjadi tanda bahwa kami sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Tapi kami akan kembali menggunakan panggilan sayang ketika suasana hati kami sudah sama-sama kembali membaik. Kami tak keberatan, setidaknya tidak ada kata kasar yang terucap diantara kami.
---------------------
Dan sementara itu, aku masih diam, masih bingung dengan perasaanku sendiri. Rasanya tidak enak hati, aku yang berfikiran begini, tapi dia yang harus menerima kekacauanku ini. Oh tuan maafkan aku.
"Mata empat"
"Iya beb"
"Alhamdulillah"
"Apa? Bentuk bulannya beneran sama kek mukaku ya?"
"Bukan sayang, alhamdulillah karena kamu udah manggil beb lagi. Aku kangen"
Aku hanya tersenyum sambil terus mengucap syukur. Malam ini, ada bunga yang mekar begitu indahnya di dadaku. Lelaki itu, bisakah selamanya begini? Dan sebenarnya aku selalu menanyakan ini kepada diriku sendiri, meskipun akhirnya tak pernah ada jawaban yang pasti. Meskipun akhirnya hanya ada sekian kalimat penenang yang sebenarnya ku buat sendiri untuk kegundahanku ini.
"Mata empat"
"Dalem"
Wong jowo, kejawennya kumat. Sebenarnya aku dan kekasihku ini sangat lancar berbahasa jawa, tapi entah kenapa setiap kami berdialog selalu bahasa persatuan yang kami pakai. Mungkin akan jadi berbeda ketika kami sudah memiliki anak. Bagaimanapun juga mereka harus familiar dengan bahasa asal ayah ibunya. Kakek dan neneknya dan semua saudara-saudaranya tidak boleh kerepotan ketika berdialog dengan mereka.
"Kalau Allah kasih kesempatan, kamu mau aku ajak kemana beb?" katanya mencoba mengalihkan.
Picture by : Pinterest |
Ya benar, Paris adalah kota impianku. Sejak dulu, sejak umurku masih abege, sejak seragam sekolahku masih putih biru. Romansa romantisme yang aku saksikan setelah membaca dan menyaksikan kisah orang-orang, membuatku menaruh banyak harapan untuk bisa sampai ke sana.
"Tapi aku tidak ingin mengajakmu kesana sayang" katanya.
"Tapi kan......." kataku memotong
Picture by : Pinterest |
Aku tidak punya hal-hal romantis seperti yang barusan kamu sebutin. Tapi beb, insyaallah kita akan tetep bahagia bersama di sana" katanya melanjutkan.
Dan entah kapan akan benar-benar sampai ke sana, tapi semenjak itu Paris telah menjadi kota impian urutan kedua setelah Makkah.
"Aamiin Ya Rabb" kataku mendukung.
"Kamu mau kan?" katanya memastikan.
"Insyaallah beb" kataku mengiyakan.
"Semoga Allah mengijabah ya"
"Aamiin ya Rabbal Alamiin. Tapi beb........"
"Iya, tapi apa?"
"Aku ingin juga ke Paris. Kita akan kesana juga kan?" kataku agak memaksa.
"Iya, insyaallah. Setelah selesai ke Makkah ya sayang. Semoga Allah kasih rezeki ke kita" katanya.
"Keliling Indonesia juga kan beb" kataku menambahkan.
"Iya calon istriku yang ternyata banyak sekali mimpinya. Semoga aku akan jadi yang beruntung yang bisa bantu kamu mewujudkan mimpi-mimpimu ya"
"Haha maaf ya beb"
"Nggak papa, biar aku tambah semangat kerja juga. Makasih ya"
Dan malamku berakhir dengan dialog indahku bersamanya, kekasihku, calon imamku, calon penanggung jawabku, ayah dari anak-anakku. Semoga Allah mendengarkan cita-cita luhur kita.
Dan aku mengucapkan selamat malam kepadanya diujung malam itu, lengkap dengan terimakasih atas impian besar yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku.
Dia membalas ucapanku dan menambahkan beberapa kecup jauh yang berhasil menidurkanku malam itu. Dan aku terlelap bersama dengan sisa kenanganku dengannya.
-------------------------
Malam ini aku bertemu kembali dengannya, lewat dialog lama yang kembali singgah diingatanku. Satu per satu layar berganti dan menyajikan chat lamaku dengannya. Aku tersenyum, kemudian bersedih, dan beberapa kali menangis. Beberapa doa juga aku titipkan untuknya, untuk bunda, juga untuk mimpi-mimpi yang sempat terabaikan. Lantunan Al-Fatihah yang ku ucapkan dengan cukup lantang ini, semoga akan sampai kepada mereka semua yang aku sayangi.
Malam ini aku merindukannya. Dan sembari mulai memejamkan kedua mataku, tanpa sadar aku mulai berbisik lirih.
"Tuan, jadi kapan kita berdua anak benar-benar kesana?" kataku entah kepada siapa.
__________________
Salam literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar