Minggu, 17 November 2019

Tentang Aku dan Sebuah Cermin

Aku termenung menatap bayangan diri. Di depan cerminku aku berdiri, menilai satu per satu kualitas diri. Sesekali terlontar kata-kata penguat diri, tangisku pecah, aku memeluk bayangku sendiri.

"Aku bukan orang yang hobby selingkuh" kataku menjaga jarak. Aku mundur kira-kira 2 langkah dan kemudian kembali menatapnya. "Aku bukan orang yang hobby selingkuh"

"Ya, aku tahu. Kamu bahkan belum pernah memilikinya sebelum aku" katanya mengingatkanku.

"Aku takut meneguk kecewa"

"Dan aku tidak akan pernah melakukan itu"

"Jangan berjanji. Berusahalah"

Aku tak pernah percaya dengan sebuah janji. Rasanya lebih tenang mendengar seseorang mengatakan dirinya akan berusaha, dari pada menebar janji-janji diri yang kebanyakan malah banyak dinodai. Terlalu basi atau lebih tepatnya janji bukan sesuatu yang bernilai spesial lagi. Terlalu banyak yang melakoninya dengan buruk. Aku benci menyaksikan ini.

"Sungguh"

"Aku takut"

"Tidak ada yang menyakitimu"

"Ya, sudah tidak lagi. Dan, semoga tidak akan ada lagi"

"Hei......"

"Tidak ada yang akan benar-benar tahu"

"Lalu?"

"Tidak jadi. Hanya takut sesuatu terulang lagi"

"Tidak akan"

"Ya, semoga kau benar"

Ya, dan aku hampir tidak percaya dengan masa depan. Orang-orang itu? Aku bahkan terlampau egois dan menganggap mereka semua sama. Tidak adil memang, tapi untuk orang-orang yang setipe denganku akan sangat sulit untuk tidak melakukan itu. Kejadian itu begitu menakutkan. Kau yang tidak pernah melakoninya tidak akan tahu benar bagaimana rasanya.

"Percayalah"

"Dan kau?"

"Dan aku?"

"Berjanjilah untuk tidak melakukan itu kepadaku"

Bicara apa aku? Bahkan aku telah secara tidak langsung memintanya berjanji? Padahal, aku sendiri saja sudah tidak percaya janji. Racunku ku teguk sendiri, aku bunuh diri.

"Maksudmu?"

"Bukankah kau adalah cerminan diriku?"

"Tentu saja"

"Bukankah sosok asli dengan sosok yang ada dipantulan cermin itu sama?"

"Tidak ada beda"

"Jadi, kita sepakat?" kataku sambil mengulurkan jabat tangan.

"Untuk?" katanya menyambut uluran jabat tanganku.

"Untuk tetap menjadi bayangan satu sama lain" kataku lirih.

Bagus. Aku telah mengatakannya, tepat di hadapannya. Aku berhasil, aku telah berhasil mengatakannya.

"Aku mendengarnya"

"Harusnya, tidak" kataku menyesal.

"Tapi"

"Apa?"

"Aku tidak akan berjanji. Tapi percayalah, aku akan berusaha"

Ya dia paling tahu apa yang aku mau. Termasuk dengan tidak berjanji perihal apapun. Bukti pertama darinya, dia tidak mengecewakanku. Yang telah ku sampaikan, terpatri benar diingatannya.

"Aku suka itu"

"Aku tahu"

"Dan sekarang?"

"Sekarang? Ada apa?"

"Aku bahagia"

"Aku? Tidak begitu"

"Tapi?"

"Lebih dari apa yang kamu rasakan. Aku beruntung"

Senyumnya begitu manis. Aku terpaut, tenggelam dalam romansa jatuh cinta yang begitu indah. Kalau aku benar berhasil memilikinya, tidak ku biarkan apapun meniadakannya. Senyuman itu, biar jadi alasanku jatuh cinta kepadanya. Kepada dia yang telah berjanji tidak akan pernah berjanji lagi.

"Aku tahu"

"Tapi kamu ragu"

"Sudah tidak lagi. Aku sudah menemukan apa yang aku mau"

Tidak sesempurna yang ku mau, tapi sepertinya dia cukup untuk menjadi apa yang aku butuh. Bukankah ini lebih dari cukup? Tentu saja.

"Kau percaya padaku?"

"Aku berusaha. Dan semoga kau tidak mengecewakanku"

Aku mendekat, dia juga. Kami sama-sama mendekat. Dan peluknya ku rasakan begitu hangat. Aku nyaman merebah ke dada bidangnya.

"Aku butuh doamu"

"Pasti"

"Juga percayamu"

"Itu juga"

"Akankah aku berhasil?"

"Apa?"

"Membahagiakanmu"

"Dan ayah bundamu"

"Tentu"

"Jika kau mau. Allah tahu apa yang menjadi inginmu"

"Terimakasih bidadariku"

"Kembali kasih tuanku"

"Aku mencintaimu"

"Aku lebih mencintaimu karena-Nya"

"Aku tahu aku tidak akan pernah menjadi yang pertama"

"Tak apa, kau tetap yang utama setelah-Nya"

Pelukan itu selesai, tepat setelah kecup lembutnya mendarat di keningku. Tangisku mereda. Lalu aku meringankan langkah. Aku pergi, jauh, semakin jauh dari cerminku. Aku takut, setakut ini untuk membuka lagi ruang percaya. Aku sulit, sesulit itu menutup luka lama, bahkan atas apa saja yang aku sendiri belum pernah melakukannya.

Tapi usai, aku selesai dan berakhir dengan kata rela. Meski ragu, perlahan ruangku terbuka. Aku telah mencoba, aku berlari, aku menyusuri lorong-lorong kehidupan ini, aku mencari bayangku, aku mencarinya, siapa saja yang akan menjadi cintaku.

Oh Tuan, dimanakah kau?

Aku mencarimu.

---------------------------------------------------------

Salam Literasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....