Masa demi masa, semua berlalu dan aku? Sebisaku, aku berusaha menjadi biasa saja. Tidak bahagia, tidak bersedih, tidak juga di antara keduanya. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku pikir dengan begini saja aku...... cukup. Waw, rasanya aku akan butuh waktu yang lebih banyak untuk sekedar melamun dan melerai pikiran-pikiran yang lagi-lagi kacau balau.
Aku memandang sekitaran. Di atas sana langit sedang biru-birunya. Dan orang-orang sedang sibuk-sibuknya berlalu lalang. Satu per satu dari mereka melaju bersama kereta yang mereka tumpangi. Rasanya cepat sekali sampainya. Aku melihat satu per satu dari mereka turun dari kereta mereka masing-masing. Aku terdiam, bergumam saja dengan sebab-sebab yang kupaksa ada sebagai jawaban dari tanya-tanya yang berkerumun di dalam isi kepala.
"Mungkin begitulah dia ada sebagai bahan uji." kataku asal.
Dan di tempatku berdiri kini, aku sedang memandang iri lengkap dengan jenuh kenyataan-kenyataan yang ada. Orang-orang dan kota baru itu, kereta-kereta sedang menuju dan telah sampai di tempat tujuan. Dan aku? Aku dan kota entah yang mana yang akan mejadi tempatku berlabuh, keretaku masih dan terus saja melaju. Terasa lambat jalannya, tapi mungkin begitulah akhirnya dia menjadi tepat. Oh ya tentu saja. Tentu saja aku juga akan sampai. Tentu saja aku akan melewati ini, apapun itu. Aku hanya harus mengeluh tentang ini lebih dulu. Jadi beri aku ruang yang penuh. Sekalipun lagi-lagi aku merasa sedang terjebak di antara harus terus berjalan atau kenapa aku harus repot-repot melakoni ini. Oh aku merasa seperti sedang menjadi racun untuk diriku sendiri. Aku meminta maaf berulang kali kepada diriku sendiri atas ini, tapi aku tidak juga kunjung menghentikannya. Tapi sungguh, aku hanya berharap bisa menikmati omong kosong ini dengan seseorang tanpa pernah merasa mengganggunya kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun.
Orang-orang datang dan pergi. Hari ini mereka datang mengetuk pintu, lalu singgah, dan bergegas pergi dikemudian hari. Seperti terburu-buru mengejar sesuatu, tapi apa? Oh bukan, aku bukan tidak bahagia menyaksikan panggung mereka begitu megah. Aku hanya sedikit bingung, kenapa rasanya waktu semua orang berjalan, tapi tidak denganku? Waktuku kadang serasa berhenti, kadang berjalan lambat, kadang malah terasa begitu berat. Rasanya sulit sekali mengejar orang-orang itu. Aku takut, aku takut hanya aku yang masih berdiri di sini, tertinggal, dan sendiri.
Oh Allah, mohon jauhkan aku dari hati yang akan menjadi rusak lalu menjadi terlalu membenci. Bawa aku pergi jauh dari perasaan yang sulit menerima.
Tapi tidakkah sama? Tidakkah memang begitu sesuatu-sesuatu yang belum berhasil sampai kepada kita? Jalanan yang lebih panjang dan berliku itu, oh haruskah? Hei, tapi bagaimana bisa aku merasakan seperti aku saja yang paling menderita? Padahal disana, entah dimana, pasti selalu ada mereka yang lebih lelah, lebih pusing, dan lebih segalanya dariku.
Sering setiap iri itu datang, aku berkali-kali bertanya dengan diriku sendiri,
"Jadi bagian pahit mana lagi yang belum aku tahu dari lika-liku kehidupan mereka?".
Sesekali seperti itu berhasil menghentikanku bertanya, sesekali aku mengulang tanya, sesekali sisanya aku tidak tahu harus bagaimana. Begitukah cara hidup bertaruh? Diantara untung dan buntung, diantara menang dan kalah, diantara itu semua, aku hanya ingin menjadi yang tidak menyerah dan tetap bertahan, meski aku hanya akan menjadi yang paling fasih membaca kesedihan dan kemudian hilang dengan kata-kata.
Aku benci mengulangnya, tapi bagaimana bisa aku lupa bahwa aku pernah sampai disuatu tujuan yang tentu saja orang lain lebih cepat sampai tujuan dan aku tidak? Jalanan yang lebih panjang dan berliku itu, ah aku ingat betul bagaimana aku selalu merasa terluka karena tidak kunjung sampai. Putus asa demi putus asa mengetuk. Hampir saja aku membukakan pintu itu. Untung saja sesuatu itu lebih cepat sampai kugenggam daripada kedua tangan yang mulai dijabat keputus-asaan. Ujung itu, ya sebelum ujung itu, hampir saja aku menyerah. Memang benar, keajaiban demi keajaiban selalu ada ketika kita benar-benar berpasrah setelah menempuh perjalanan panjang atas sesuatu.
Ketakutan-ketakutan menjelma seperti kutukan. Perjalanan-perjalanan seperti semakin habis dimakan waktu. Dia terus berjalan, terus saja tanpa peduli diri kita siap atau tidak, lelah atau tidak, kuat atau tidak, atau bahkan sudah sembuh atau belum. Oh atau aku saja yang terlalu keras meraba bahagia? Atau aku terlalu naif memandang dunia? Oh aku, kenapa selalu ada dari dirimu yang belum bisa kutaklukkan? Oh aku, tidak bisakah kita tenang sebentar saja? Lalu mari kita lakukan hal-hal kecil terlebih dulu, jalan kaki saja. Atau kita bisa naik mobil. Kita bahkan tidak perlu naik kereta cepat seperti orang-orang itu. Kita ciptakan ritme kita sendiri. Kita nikmati setiap kemacetan atau apapun yang terjadi di depan sana.
Tidak lupa bersyukur. Sungguh kita tidak perlu lagi merawat sakit kepala karena kecepatan kereta orang-orang. Sungguh kita hanya perlu terus maju dan tentu saja lakukan itu, sampai selesai, sampai kita sendiri tidak sadar kita sudah mendapatkan yang lebih dari apa yang sebelumnya kita ingin. Sungguh kita hanya perlu menerima bahwa tidak semua hal itu baik dan membahagiakan. Mari lebih bersiap-siap menyambut baik hari-hari yang berkemungkinan jadi buruk, menyambut diri kita yang berbuat kesalahan, menyambut kita yang gagal. Sepasang kaki ini semoga semakin kuat berpijak di jalanan yang mungkin lebih berliku dan memutar dan terjal. Tubuh yang semakin rapuh ini semoga semakin gagah berkelahi demi sanggup berdiri untuk menghadapi hari yang baru.
Sungguh semua hal tidak harus sesuai dan itu tidak apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar