"...Saya tidak lebih dari seorang pelacur yang sukses, dan tak jadi betapapun suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, dengan setiap lelaki yang saya pernah kenal, saya selalu dihinggapi hasrat yang kuat untuk mengangkat tangan saya tinggi-tinggi dan menghantamkannya ke muka mereka. Tetapi karena saya takut, saya tak pernah mengangkat tangan saya. Rasa takut telah menyadarkan saya bahwa gerakan ini sulit dilakukan...."
(Perempuan di Titik Nol, Hal : 170).
Ya, begitulah kisah seorang Firdaus. Seorang perempuan Mesir yang menjadi korban budaya partriaki. Seorang perempuan yang berkali-kali merasa muak dan putus asa di hidupnya.
"Perempuan di Titik Nol" adalah wujud dari kritik pedas yang disampaikan oleh Nawal El-Saadawi lewat kisah seorang Firdaus. Si pelacur kelas atas yang menjadi narapidana dan berakhir dengan hukuman mati karena sudah membunuh seorang germo. Dibalik sel penjara, Firdaus menceritakan lika-liku kehidupanya yang begitu memilukan, keras, dan deras. Dimulai dari masa kecilnya, keberhasilannya menjadi seorang pelacur yang mahal di negaranya, bagaimana dia bisa berada di tempat yang digunakannya untuk menceritakan kisahnya ini, dan tentu saja dengan perjalanan panjang tentang bagaimana dia akhirnya mati.
Ironis. Hidupnya bahkan sudah hancur semenjak usia kanak-kanak. Ayahnya yang sering membiarkannya dan ibunya menahan lapar karena kehabisan makanan dan memperlakukannya bak seorang raja. Pamannya dan teman kecilnya yang sudah merenggut keperawanannya. Suaminya yang kasar dan mungkin seperti ayahnya. Bayoumi, Syarifa, Fawzi, Di'aa, Ibrahim, germo yang telah dibunuhnya, dan pangeran dari kerajaan sebagai pelengkapnya. Orang-orang itu awalnya berkata ingin menyelamatkannya, tapi malah hanya berakhir dengan memeras tubuhnya. Lagi dan lagi. Berulang terus sampai akhirnya dia selesai di hukuman gantung itu. Bukan, bukan berarti karena dia tidak bisa melakukan sesuatu untuk selamat dari hukuman mati itu. Hanya saja dia tidak mau. Dia bahkan menolak grasi kepada Presiden dan malah menyambut dengan senang dan tenang hukuman itu. Manurutnya begitulah kebebasan yang sebenar-benarnya akan ada.
"Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik daripada seorang pelacur yang murahan." (Perempuan di Titik Nol, Hal : 125).
Ya, Firdaus telah mati. Tapi keberanian dan kisahnya masih ada, terus ada, dan selamanya ada. Dia masih dan akan selamanya hidup di dalam diri kita yang sedang melawan kekuatan yang merampas hak manusia untuk hidup, untuk bercinta, dan menikmati kebebasan yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar