Selasa, 10 Maret 2020

Romantika Orang Dewasa (1)

Apa kabar masa kecilmu? Adakah yang kau ingat darinya? Sebuah masa dimana kita begitu bebas, lepas, tak terbeban, dan menangis dengan lebih beralasan. Tidak ada ketakutan, tidak ada kekhawatiran yang benar-benar berarti. Kita nyaman sekali menikmati sebuah pelukan.

Semalam seorang teman menghubungiku via whatsapp. Teman lama, tapi masih sering bareng, ya alhamdulillah. Disampaikanlah kepadaku sekian banyak sambatan-sambatan wajar yang aku pikir setiap manusia berkemungkinan merasakannya. Tentang usia, cita-cita, dan apa saja yang berhubungan dengan proses mendewasa.
Rasanya berat sekali membahas ini. Aku pikir aku tidak menyukai bab ini. Sebenarnya sejauh ini aku hanya menikmati babak ini sebagai sesuatu yang terpaksa aku lakoni. Selebihnya aku lebih suka menjalani hidup sebagai anak kecil yang manja. Ya tentu saja.

Dulu kecil aku tak tak pernah benar-benar merasakan luka. Jatuhku menjadi sesuatu yang biasa. Aku tidak pernah malu menangis juga merengek begitu hebat karena kesakitan, padahal hanya buset sedikit di kedua lutut, atau goresan kecil di tangan, atau luka jahit sebanyak 5 buah di kepala karena tertimpa pembatas bambu yang besar berikut penumpangnya. Aku ingat benar bagaimana kejadiannya. Aku juga bisa menceritakannya. Tapi rasanya biasa saja. Aku sudah tidak lagi mempedulikannya.

Sekarang sudah tidak bisa lagi begitu. Dulu kecil aku bermain api, tersulut lelehan plastik, melepuh, dan terluka, aku tetap mengenang bekas luka itu sebagai kebahagiaan. Tapi setelah beranjak dewasa, apa-apa yang terjadi malah menjadikanku merasakan beragam luka. Yang nyata berbekas, yang tidak terlihat mata, yang orang-orang pedulikan, yang orang-orang acuhkan, yang sudah terjadi atau yang bahkan belum terjadi. Semuanya terasa menakutkan. Semuanya terasa menyakitkan. Kamu merasakan juga tidak?

Sama sepertiku, temanku juga merasakan hal serupa. Orang-orang seumuranku mungkin juga memikirkan hal yang sama. Kita sadar berbeda, tapi seketika ketakutan menyadarinya. Kita yakin akan bahagia, tapi tidak pernah mau menikmati proses harunya. Kita merasakan banyak luka, tapi malah abai mengobatinya. Kita sempat membayangkan bahagia menjadi dewasa, tapi tidak dengan kenyataannya. Selalu ada hal yang menjadikan kita tidak tahu, sekalipun percaya diri telah membumbung sebegitu jauh.

"Udah aku bilang, aku tidak seperti yang lainnya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa." katanya dipesan whatsapp yang baru saja dikirimkan kepadaku. Aku tersenyum, menebak ada apa dibalik pesan itu.

"Ya, teruskan" kataku mencoba mendengarkan.

"Bukan aku tidak bersyukur. Tapi...... aku ingin dimengerti setelah aku menjelaskan ini" katanya melanjutkan.

"Masih ada lagi?"

"Sebenarnya aku malas menjelaskan ini. Tapi kalau nggak dijelasin, nggak bakal ada yang tahu juga apa yang tak rasain" katanya menyudahi.

Siapa yang tahu akan seperti apa kita di detik-detik yang terus berjalan ini? Aku selalu menanyakan hal serupa setiap mencoba mengerti seseorang yang sudi menjadikanku pendengar atas kisah-kisah yang telah dialaminya. Aku tidak butuh jawaban atas itu, aku hanya perlu tahu bahwa setiap orang berhak merasa dan melakukan apapun yang dia suka. Aku tidak selalu menerima semuanya, aku hanya sedang mencoba menjadi pribadi yang lebih dewasa meski sebenarnya aku sama sekali tidak ingin melakukannya.

"Ternyata serepot ini ya jadi dewasa? Dulu mau bahagia gampang banget. Sekarang semuanya jadi susah dan mahal (ya tentu saja)." kataku membalas.

"Kenapa baru kerasa sekarang si?" katanya kesal.

"Dipikir-pikir kita dulu sombong banget ya tee jadi anak kecil?"

"Gaya banget pengen cepet gedhe, ngerasa bisa jadi apapun, padahal realitanya nggak semanis itu buk."

"Dulu kecil aku sering berkhayal jadi orang dewasa. Enak kali ya? Cantik, punya duit sendiri, bisa pergi kesana kemari, bisa beli ini itu, jadi sarjana, kencan bersama kekasih hati, dan apalagi? Aku sedih mengingat mimpiku ini. Aku tidak menyadari bahwa semakin banyak yang kita inginkan akan semakin besar tanggung jawab yang harus kita emban." kataku panjang.

"Sedih banget aku ingat khayalanmu"

"Ngenes banget aku tahu sambatanmu"

"Pelukan jauh aja yukk yukk"

Mungkin waktu itu kami sedang sama-sama merebah, terpejam, dan tentu saja meratapi semua-muanya di tempat yang berbeda. Ditemani hujan gerimis yang tak kunjung berhenti, kami saling memeluk diri sendiri.

"Misuh dong misuh. Wkwkwk" kataku menggoda.

"Yukkkkk" ajaknya.

"Astagfirullahaladzim" seru kami bersamaan"

Dan kami tertawa bersama. Menertawakan apa entah. Tapi kami sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Kami memang pintar sekali mengada-ada.

"Kamu ingat tee?"

"Apa bong?"

"Dulu pas masih krucil-krucil, kita manjat pohon jambu punya tetangga aja udah seneng banget. Kamu di ranting sebelah sana, aku di ranting sebelah sini, si siapa aja si yang ada di tengah-tengah? Siapa juga yang tinggal nangkepin hasil petikan di bawah? Seasyik itu ternyata kita dulu."

"Belajar kelompok. Mainan kursi puter. Ke sawah. Sepedahan keliling kampung buat nyari daun menjari, menyirip, mengapalah itu. Sesederhana itu kita dulu. Ayo dong kita ulang. Aku kangen tauk."

"Tida sopan kamu ya"

"Apa si?"

"Make sepeda nggak bilang-bilang. Untung dulu aku masih kecil, nangis bombai begitu juga nggak kerasa malu"

"Wwkwkwk maafkan aku. Aku khilaf dan terburu-buru waktu itu"

"Dengan senang hati tuan putri"

Sudah hampir tengah malam, dan kami menutupnya dengan sambatan seseru itu. Sekalian menemaninya begadang, padahal sebenarnya kepalaku sudah nyut-nyutan karena ngantuk tak tertahankan.

"Jadi dewasa ternyata nggak semenarik itu ya tee?"

"Nyesel pernah pengen cepet-cepet nyampe di titik ini"

"Betewe tee, ayo kita jadikan jurnal saja"

"Apa?"

"Buat warning buat anak cucu kita nanti"

"Good idea. Cuss"

"Jadi dewasa itu menyebalkan. Dulu pas kecil aku rajin nyusun cita-cita, sekarang kenyataannya beda. Aku dipaksa rela menerima, padahal jelas-jelas aku ingin lari dari semua itu"

"Aku? Aku ingin jadi anak kecil lagi. Enak, tanpa beban. Kenapa si dulu pas jamannya kita belum ada ponsel? Harusnya sekarang kita bisa mandangin masa lalu kita di foto-foto jadul itu"

"Aku capek memulai terus. Aku ingin ketemu teman-teman lamaku, tapi semakin hari orang-orang baru malah masuk gitu aja ke kehidupanku. Kecuali kamu, dan si A, si R, si siapa lagi sih? Bentar aku itung dulu."

"Haha. Kenyataan pahit. Kita akan ada dimasa yang ketika kita punya banyak waktu luang, kita tidak punya uang. Tapi ketika kita punya uang, kita tidak punya waktu luang."

"Orang-orang dewasa suka banget menilai. Tapi setengah mati menolak ketika dinilai. Ya, kita adalah hakim yang egois di semesta raya."

"Mereka suka salah menilai diri mereka. Maksud hati bijaksana, tapi malah kenanya menghakimi. Menyakitkan sekali."

"Kita harus berhati-hati atas itu."

"Kadang aku khawatir berlebihan. Mempertanyakan akan berujung seperti apa kelak. Tentang karier, keluarga, pasangan, kehidupan sosial, dan apa saja yang tiba-tiba melintas di kepala"

"Kita rentan sekali diperbudak perasaan. Mari kita lawannnnnn"

"Hahaha manusiawi bong"

"Dewasa menjadikanku terbatas dalam berbicara. Termasuk bilang suka ke dia. Ah andai"

"Mon maap, ada yang perlu saya bantu bong?"

"No thanks, aku punya banyak cara untuk tetap mengatakannya meski tidak langsung kepadanya."

"Aku bangga punya teman sepertimu"

"Harus, tapi aku sedang tidak punya cukup uang untuk bisa membelikanmu ice cream glico"

"Haha dasar orang dewasa. Apa-apa mesti kepikirannya ke isi dompet."

"Aku juga semakin malu ketika sadar kemampuan masakku terbatas di bhan masakan telur, mie, tepung, dan sossis. Aku butuh bisa melakukan hal yang lebih dari itu, demi memanjakan diriku di hari libur."

"Dewasa memaksa kita keluar dari zona nyaman. Tapi ya bagaimana lagi, dewasa juga bagian dari siklus hidup."

"Tambah umur, tambah bikin takut mati. Aku suka mikir aja gitu "Kalau tiba-tiba aku pergi, bakal ada yang nangis enggak ya? Nangis yang beneran karena kehilangan, bukan yang dipaksain keluar air mata." "

"Jadi orang dewasa butuh berkali-kali llipat rela. Rela menerima, rela memaafkan, rela menjalankan apa yang menjadi jatah dari-Nya"

"Besok anak-anak kita jangan disuruh cepet-cepet jadi dewasa ya tee. Ingetin kalau aku lupa."

"Iya, biar kita aja yang banyak tagihan, mereka ntar-ntar aja deh ya."

"Janji ya tee?"

"Apa bong?"

"Kita selalu berhak dan sudah semestinya akan menjadi diri kita sendiri, meskipun kelak hidup kita bukan hanya tentang kita lagi."

"Tapi bong........."

"Ya tee...."

"Kita perlu waktu belajar itu sepanjang waktu"

"Nggak papa. Sekarang kita istirahat aja dulu."

Kedua mataku sudah menggelayut. Kepalaku semakin pening. Bukan karena memikirkan bagaimana menjadi dewasa yang berhasil lagi, aku benar-benar butuh tidur. Tapi aku belum menemukan celah bagaimana menghentikan dialog berat ini.

"Kamu udah ngantuk ya bong?"

"Pening banget kepalaku tee"

"Ya udah lanjut besok lagi deh, atau pas kita ketemu. Bahas beginian sambil mamam glico enak kali ya bong?"

Aku tidak kuat lagi. Chat terakhirnya ku balas pagi setelah aku terbangun.

"Baiqqq, insyaallah nyonyah (emot senyum)" kataku.

Menjadi tua memang pasti, menjadi dewasa juga memang pilihan. Tapi meskipun begitu, jangan pernah melepaskan jiwa mudamu wahai orang-orang dewasa. Jangan melupakan hal-hal sederhana di balik tekanan hidup yang semakin menjadi-jadi. Jangan pernah menghentikan jiwa liarmu untuk tetap terus berpetualang. Tetaplah terus bertanya, tentang apa saja. Teruslah mencari tahu jawabannya.

Karena kita tidak tahu ada banyak misteri lagi yang ada di kehidupan setiap orang dewasa. Kita juga tidak tahu lagi akan seperti apa kita akan menjalani dan memilih siapapun sebagai dia yang akan kita ajak berbagi. Tapi semoga setiap orang dewasa bisa benar-benar dewasa membawa dirinya dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, dan dalam keadaan apapun.

Bicara tentang dewasa, bicara tentang cara memaknai hidup, juga mengembangkan diri, dan menyiapkan diri supaya siap jatuh bangun menjalani apa saja yang menjadi ketentuan-Nya. Jangan lagi berfikir menyerah, jangan lagi berfikir tidak bisa menyelesaikannya, jangan lagi berhenti, berjalanlah terus sampai kepada apa yang dimaksudkan-Nya untuk kita. Kita bisa, kita pasti bisa jadi dewasa, kita pasti bisa melewati semuanya.


Salam Literasi.

7 komentar:

  1. Ini bukan kepedihan, masih ada teman sejati gitu kok. Aku malah selalu bicara begitu sendirian, gak punya teman.

    Lagian ini cuma masalah kecil, setelah nikah ini masalah selesai. Tampaknya masa kecilku lebih bahagia, lega aku. Dulu saat kecil, aku gak pernah di rumah, ke hutan cari makan sendiri, atau ke sungai cari ikan, macam binatang.

    Gara gara buku fiksi, masa muda jadi ruwet gak karuan. Tapi seru juga lihat ada yang begitu, kalau ditanya masalah mimpi, gak ada mimpi yang kenyataan, dan anehnya saat kecil kebanyakan mimpi lagi, yang salah kan si anak kecilnya. Malah saat muda, kita membela masa kecil dan menyalahkan masa sekarang.

    Manusia emang gak jelas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masalah kecil? Abis nikah kelar? Haha bercanda kamu pak. Kamu tidak tahu apa bahwa hidup ini isinya ya masalah. Satu kelar, siap-siaplah sama yang lain.

      Hapus
  2. Buat tema Blogger kamu responsif dan enak dibaca. Kalau tidak mau repot bisa pesan tema Blogger agar tampilan lebih cantik dengan font sesuai topik yang kamu tulis. Sila pesan tema Blogger di Situs tentang Blogger milik orang Kudus.

    BalasHapus
  3. setuju ihh. hidup itu emang masalah wkwkwk tapi ketika selesai satu masalah insyaallah diri kita akan terupgrade.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, selalu ada positif yang mengiringi segala yang negatif.
      Hidup ini seimbang ya?

      Hapus
  4. MasyaAllah menarik sekali mba, senang bacanya 😆

    BalasHapus

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....