Picture by : Google |
Tidak banyak yang kami diskusikan dan kami melanjutkannya dengan bercerita sesuatu yang lain. Sudah lama sekali kami tidak bertemu dan berbagi cerita. Dia bilang banyak yang mau diceritakan kepadaku, tapi pertemuan kami selalu saja menolak temu. Aku sibuk dengan keadaanku dan begitupun dengannya.
"Tee katanya mau cerita" kataku memulai
"Oh iya bong" katanya singkat
Tiba-tiba dia terlihat murung dan seperti menahan sesuatu.
"Tee jadi enggak?"
"Aku enggak betah di rumah nii, suasana di rumah bikin aku ga nyaman. Sekarang aja aku lebih seneng pulang sore, lebih enak di kampus. Padahal di kampus aku gak ngapa-ngapain juga sii"
"Lhoh kenapa tee? Jangan bilang karena kelanjutan dari cerita terakhirmu lhoh ya?"
"Lhah ya memang karena itu. Bapak tambah ga karuan deh, Ibu juga. Ga ada yang percaya sama aku sekarang. Aku capek"
Dia mahasiswa tingkat hampir akhir. Sekarang dia sedang sibuk dengan persiapan skripsi. Dia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Kehidupannya baik-baik saja sampai pada akhirnya kekhawatiran berlebih yang dilakukan oleh kedua orang tuanya membuatnya merasa tidak nyaman menikmati kehidupannya yang sekarang.
Tidak hanya satu atau dua, ada beberapa tetangga kami yang memang terlanjur berada pada kesalahan. Seperti beberapa kasus kebanyakan (terlalu banyak yang mengabarkan kepadaku tentang ini, sampai aku menyebutnya dengan kebanyakan), anak gadis tetangga kami mengandung bayi mungil dengan ikatan perkawinan yang belum sah.
Aku salut, tapi juga merasa tidak adil. Ada banyak orang tua yang menganggap cara mendidiknya sudah benar, padahal tidak begitu dengan si anak. Tidak seharusnya setiap gerak-gerik dari anak gadisnya dicurigai berlebih seperti yang mereka lakukan sekarang. Aku tahu bagaimana gadis ayu yang baru saja beranjak pulang, dia baik dan insyaallah dalam lingkungan yang baik. Aku pikir dia tahu batasan pergaulan yang harus dia jalani, termasuk bagaimana cara behubungan dengan lawan jenis.
Ada banyak perkataan yang membuatnya tidak bisa menerima keadaan ini. Aku bisa mengerti, tapi aku hanya bisa memberikan sepatah dua puluh kata yang bisa jadi menarik untuk diingat.
"Tidak ada yang menginginkan keadaan seperti ini, tapi inilah garis takdir yang harus kamu lewati. Mereka hanya mengkhawatirkanmu, kamu harus bersyukur atas itu. Kalau menurut mereka cara yang mereka gunakan sudah tepat tapi ternyata menurutmu itu tidak, kamu yang harus mencoba mengerti" kataku menasehati
"Tapi aku capek bong, kenapa si mereka enggak bisa ngertiin aku?"
"Kalau capek, aku diem teee. Aku berbisik ke Allah biar Allah yang bisa buat orang-orang itu mengerti. Aku ga mau banyak ngomong, aku terlalu takut menyakiti lawan bicaraku. Ya meskipun aku ga punya niat sedikitpun buat ngelakuin itu. Apalagi orang tuaku. Ridho kita ada dimereka lhoh, inget inget"
"Aku dah pernah ke Ibu tentang ini, tapi Ibu malah bilang ini itu. Bilang aku dah pinter ngelawan lah, bilang aku ginilah, gitulah. Serasa serba salah gitu aku tuu"
"Aku juga pernah gitu tee. Niatku dah baik, ngingetin, tapi Ibuku bilang "Oh gini ya, sekolah jauh-jauh ke Semarang tuu kamu jadi pinter gini ya nduk", hmmmm aku diem, enggak lanjut ngomong dan cuma bisa berkaca-kaca"
Tema pembicaraan kami sama, tapi kasus kami berbeda. Lawan bicara kami sama, tapi beda orang. Kami saling bebicara mengenai ini dan sekarang aku merasa tidak sedang sendiri. Kami sering begini, bercerita seperti ini untuk kemudian saling menenangkan.
"Jangan bingung tee, pemikiran kita dengan mereka emang beda. Kita yang kudu lebih ngerti. Oke?"
"Ehh bong, pas banget nii ya. Kalo aku mau kejadian gini tuh aku mesti sebelumnya baca quotes apa gitu yang mendukung kondisiku"
"Hmmm terus tambah gitu bapermu? Akakakak"
Dia mengangguk sambil meringis, aku tertawa menertawakannya yang terlihat menahan tawa
"Kemarin aku baca, anak-anak tuu ga boleh dimarahin sebelum tidur. Karena otak akan lebih mengingat hal-hal yang terjadi sebelum tidur dan aku pikir itu bener"
"Bener gimana coba?"
"Beberapa kejadian, terjadi sebelum aku tidur, pas aku dimarahi misal dan itu keinget banget sampe sekarang"
"Aku juga, sampe sekarang juga"
"Ahh aku capek, suka iri tahu kalo liat idup temen ueee"
"Istigfar oeyyy, enggak selamanya kehidupan mereka sebahagia kaya yang kamu lihat. Semua sudah sesuai porsi boss, garis takdir sudah ada yang mengatur. Kamu mau tukeran nasib sama akuu? Lebih pahit, lebih lama, dan lebih menyedihkan. Tapi sekarang semua sudah jauh lebih dari baik, setelah aku memahami garis takdirku"
Dia menggeleng, dan aku melanjutkan kisahku
"Tee tee, kasusmu tuu belum seberapa, baru berapa tahun si? Aku aja yang dari kelas 1 SD gini aja ni, santee akakak"
"Bener kata postingan instagram kemarin "Banyak yang siap menjadi ayah ibu, tapi tidak untuk menjadi orang tua" aku pikir lagi-lagi ini benar"
Aku agak shock, aku ikut berpikir kalimat itu benar, dan ini sekian hal yang bisa menjadi pelajaran untuk kita semua
"Ya aku pikir juga benar, makanya calon ibu, yuuhh mari kita mempersiapkan diri biar bisa jadi orang tua seutuhnya, bukan hanya sekedar perempuan yang dipanggil Bunda oleh anak-anak kita nanti"
"Siap boss, makasi ya untuk sharing hari ini"
"Iya sama-sama, semoga dari sekian banyak basa-basiku bisa melegakan hatimu ya"
Kami saling menatap dan tersenyum. Obrolan kami berakhir, dan dia berpamitan pulang. Dia bilang ayah ibunya sudah menunggunya di rumah.
Ya beginilah, setidakbahagianya dirimu di dalam istanamu, tempat terbaik untuk pulang tetaplah rumah. Kalau ternyata pondasinya mulai rapuh, kamu yang harus menguatkan. Kehidupan selalu memerlukan orang-orang yang merelakan dirinya untuk membuka hati untuk sesuatu yang malah nyata membuatnya kesakitan. Tidak mudah, tapi aku yakin Allah akan membantumu melewati garis takdirmu kalau kamu mau.
Jadilah yang mengerti, biar hidupmu penuh arti. Jadilah penjaga, biar hidupmu terjaga. Ini tidak rumit, kamu hanya butuh merelakan diri. Kamu bisa semakin kuat jika kamu mampu memahami apa saja yang terjadi di hidupmu. Jangan lelah, nanti kamu kalah. Mengerti ya
Salam sayang,
Veni Veronika