Kemarin, panggung cerita ala kadarnya menggelar pestanya. Dibuka dengan pertanyaan "ada cerita apa selama kita tidak bertemu?" 3 perempuan amatiran memulai perannya. Mengurai dan mendongeng satu per satu kebahagiaan, kekecewaan, air mata, dan segala sambatan yang menyertainya sampai habis kata-kata. Bukan, bukan karena habis ceritanya. Tapi karena sadar betapa terlalu terbatasnya waktu yang kita punya, padahal satu yang lainnya juga butuh panggung untuk bercerita. Bagian demi bagian terlewati dan kami selesai dengan makan sushi di warung sushi langganan kami. Lumayanlah untuk buang-buang waktu, mengusulkan makan disana dan disono dengan menu yang ini yang itu yang akhirnya berakhir lagi di tempat sushi itu.
Satu bagian yang masih tersisa di kepalaku. Pertanyaan itu, pertanyaan yang kubuat sendiri. Pertanyaan yang rasanya berat kujawab sendiri.
"Kalau kalian dikasih kesempatan bisa balik ke masa lalu, kalian pengen balik ke umur berapa dan kenapa?"
Pertanyaan itu, entah kapan berhenti menari-nari di kepalaku. Ingin sekali aku menjawabnya, tapi rasanya hampir setiap bagian dari hidupku ingin kembali kuselami. Mengulang dan memperbaiki satu per satu kesalahan yang hampir tidak kusadari. Tapi kalau memang benar aku dikasih kesempatan bisa balik ke masa lalu, aku ingin kembali ke masa, emmhh mungkin saat umurku masih 5 atau 6 tahun. Bukan, bukan untuk menjadi dewasa. Aku hanya ingin menjadi yang paling bisa menerima dan berdamai dengan semuanya. Aku ingin juga menjadi yang diterima dan senantiasa menjadi hangat. Ahhh rasanya aku ingin menangis mengingat perjalanan 20 tahun terakhir ini. Pahit sekali dan parahnya aku sendiri belum mahir membuat beberapa bagiannya menjadi "manis".
Lelah juga ya ternyata. Membenci apa yang semakin menjadikan diri sendiri malah semakin mencintai. Begitulah yang kusadari akhir-akhir ini. Sadar kecewa tapi tak sanggup marah-marah. Sadar ingin lari tapi nyatanya tetap saja berada dititik yang awal sekali. Terlepas dari penjelasan yang masih sesekali kunanti, juga salah yang terpaksa kuterima tanpa pernah kudengar permisi dan atau sekian kata maaf (mungkin), juga dari kebencian yang diselimuti dengan sekian cinta. Marahku tak bisa sepenuhnya tumpah. Marahku begitu saja, padam, dalam diam.
Pagi ini di meja kerja, aku berdua dengan cerita orang-orang yang kubaca di berbagai media. Di meja kerja aku merana, mengingat apa saja yang tiba-tiba terlintas di kepala. Di meja kerja aku sigap menyeka air mata, bertahan menjadi lebih kuat demi tidak menjadi perhatian rekan-rekan kerja. Di meja kerja aku tidak boleh bersuara, kecuali karena gembira. Di meja kerja aku menata hati, berharap apapun yang dianugerahkan untukku ini bisa kuterima dengan selapang-lapangnya.
Empat tujuh delapan, kuulang perlahan dan berulang. Empat tujuh delapan, kuhitung dan sesekali menahan. Rasanya aku sudah hampir berhasil masuk. Bukan ke alam bawah sadar, hanya kepada ingatan lama yang enggan pudar. Di persimpangan jalan itu, di antara pintu-pintu yang terbuka, di antara remang cahaya yang masuk melalui bilik-bilik jendela, di antara apa yang tidak membuatku mengerti dan akhirnya hanya bertahan dengan tanda tanya tanpa jawabnya. Terduduk aku disana , bersama pangeran kecil. Di siang terik yang bertambah terik karena dingin yang tak kusadari ternyata perlahan telah membakarku, aku terpana. Lebih kebertanya kenapa. Tapi aku hanya bisa bisu melakoninya.
Sepasang yang pernah begitu saling mencintai, tak mempedulikan sekitarnya lagi. Sepasang itu terus saja menari-nari di atas panggung megah. Panggung yang tak pernah mereka sadari mewah gelaran pestanya. Dan aku masih terduduk disana, masih juga bersama bayangan pangeran kecil dan wajah datar yang basah oleh air mata.
Hanya ada sisa kerja yang seadanya dan semampu yang mereka ingin dan tentu yang mereka bisa. Merasa baik-baik saja, menyayangi anak-anaknya dan juga menyenangkan jiwa raganya. Ahh rasanya aku ingin merajam isi kepala mereka dan mencabik-cabik hati mereka, sampai kutemukan maksud dan tujuan ini terjadi. Rasanya ini tidak adil, tapi itu adalah hidup mereka. Aku tidak berhak sama sekali. Mereka sama sepertiku, berhak salah, berhak marah, dan tentu berhak berdarah. Mereka berhak mengukir luka dihati siapa saja dan semoga cerita bijaksana dan satu pelukan bisa membayar apa saja yang sepertinya tidak bisa dibayar dengan itu semua.
Aku sudah merasa, aku telah mencoba, rela. Tapi ya rasanya aku belum berhasil menerima semuanya dengan sempurna. Ada bagian darinya, yang sepertinya tidak akan pernah menjadikanku kembali utuh.
Setiap hari, setiap waktu aku mengetuk. Aku mengetuk pintu hatiku sendiri. Memohon untuk bisa menyayangi siapa saja yang menyayangiku selayaknya mereka menyayangiku. Setiap hari aku mengetuk. Aku mengetuk pintu langit. Memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk bisa melembutkan hatiku dan memampukanku berdamai dengan segala hal yang menjadi ketentuan-Nya.
"Hidup ini kepalang bajingannya ya ma?"
Haha kalau aku menanyakan itu kepada mamaku, pasti dahinya langsung mengeryit dan tentu saja diakhiri dengan mengiyakan pertanyaanku. Mungkin juga mama akan berkata "sangat, apalagi siapa, siapu, siapi, dan sia-sia lain yang sudah menjadikannya kokoh berdiri seperti sekarang. Mamaku kuat, meskipun keras. Mamaku sayang, meskipun hidupnya kepalang malang. Mamaku hebat, meskipun sering mengeluhkan asam urat.
Di dekatku puluhan pasang kaki berdiri tegap, menapaki hidup yang kadang tak masuk dicerna akal. Di dekatku puluhan pasang mata memandang, berkedip anggun seolah bicara bahwa semua akan baik-baik saja. Di dekatku puluhan hati merah muda penuh cinta, menebar bahagia kepada siapa saja yang dirangkulnya. Di dekatku puluhan bibir tersenyum, meramu rayu pada sedih yang singgah di hati. Di dekatku puluhan jiwa hilang, seolah di tempatku berdiri hanya ada aku dan aku seorang. Di dekatku aku bertanya, apa tandanya bahagia pada isi kepala yang enggan berhenti mempertanyakan apa saja?
Kadang aku bertanya, bagaimana cara menemukan bahasa cinta seorang laki-laki? Aku belum bisa menemukannya. Mencari ditubuh bapak aku buta, mencari ditubuh anak lanang mama aku kebingungan, mencari ditubuh seorang pria aku ketakutan.
Kadang aku juga bertanya, bagaimana cara menemukan bahasa cinta seorang perempuan? Aku merasa belum juga bisa menemukannya. Mencari ditubuh mama aku melihat banyak luka, mencari ditubuh teman-teman aku merasa rumit, mencari ditubuh sendiri aku seperti terperangkap dalam sebuah labirin.
Tidak tersentuh, tapi bekasnya terasa menyeluruh. Berlari jauh sampai ke antah berantah, aku hilang diantara kabut amarah. Terjatuh begitu dalam, aku tergilas putaran waktu. Bahagiaku direnggut, diganti dengan luka yang akhirnya menjadikanku tersudut.
Aku terluka oleh wajah-wajah itu. Ingin sekali bertanya, tapi aku tak mampu. Aku tidak mau, aku tidak mampu menjadikan mereka lawan bicaraku untuk banyak pertanyaan dan kebingunganku. Aku takut menambah luka. Aku takut menguras deras air mata. Akhirnya kepada hati sendiri aku berpulang, meramu pelipur lara, sendirian.
Tidak apa-apa, esok aku akan berhenti. Tidak apa-apa, esok aku akan berhasil menaklukkan diriku sendiri. Tidak apa -apa, esok aku akan berhasil merelakan ini. Tidak apa-apa, esok aku akan menyelesaikan ini. Tidak apa-apa juga kalau ternyaa akhirnya aku menangis (lagi). Sebab menangis bukan tidak mungkin karena sesuatu yang menyedihkan. Hanya saja ada beberapa hal yang bahkan tidak diketahui sebabnya pun bisa menyebabkan patah hati, dan basah di kedua pipi, juga rintihan di hati. Semua bisa jadi ada secara tiba-tiba ada, tanpa pernah benar-benar diketahui penyebabnya. Sebab jika akhirnya ada air mata yang jatuh di meja kerja, itu bukan berarti apa-apa kecuali karena alasan cinta yang entah kemana arahnya.
Tapi ma, apa kabar rambut panjangku? Aku lucu sekali ya kepangan dikuncir satu? Baju warna warni, tas gendong, dan botol minum. Ah tapi mama tetep juara satu menjagaku. Makasi ya ma.
Dan bapak, apa kabar motor bututmu pak? Aku kangen tahu pak dibonceng di depan. Sepatu ilang sebelah, baju basah berhias lebah, dan tiup lilin diperayaan ulang tahunku bersamamu. Ahh ternyata moment kita tidak sebanyak itu pak. Mau tidak pak, kita mengulangnya lagi, dari awal? Aku masih pak, aku masih sama, menjadi putri kecilmu selamanya.
Di meja kerja ini, aku merasa sepi. Berulang kali kupanggil banyak nama, tapi nyatanya aku tak mampu bersuara. Lalu kutulis sajak, tapi aku terhenti di bait pertama.
Di meja kerja ini, aku merasa gelap. Gelap sekali. Lorong perjalananku tak bercahaya, tak ada kilau bintang-bintang, tak ada bulan sabit serupa senyumku, tak ada apapun. Kecuali, aku. Dan sisa-sisa harapanku. Tentang apapun dan tanpa pengecualian apapun.
Di meja kerja ini, aku merasa dingin. Tak ada bentangan tangan siapapun, tak ada belai lembut penuh sayang di kepalaku, tak ada yang bisa menghentikanku berkata tak ada. Tak ada. Ya, aku telah mengulangnya. Sengaja.
Di meja kerja ini, aku ingin sementara berhenti bertanya. Rasanya sesak sekali. Mengulang duka, mengobati luka, dan merana lagi dan lagi sambil bertanya-tanya.
Di meja kerja ini, bolehkan aku mendapatkan salah satu?