Langit-langit kamar serasa berbintang
dipenuhi cahaya-cahaya temaram
yang menepi perlahan,
menuju tengah malam
Saatnya menjelma,
menjadi nona berwujud puisi
yang mahir, merajam rasa
menjadi bait-bait kata
/2/
Pertikaian baru saja dimulai
logika, nurani, dan
persimpangan jalan
yang memaksa berhenti ; hari-hari ku akhiri
dengan meniup lilin-lilin,
redup; kunikmati teguk demi teguk
syukur, tanda sebagai hamba yang terukur
/3/
Barangkali tak pernah ada sunyi,
barangkali sunyi hanya gemuruh
yang menjelma sebagai sosok-sosok
yang gagu
ayam-ayam sibuk menggembara,
katak-katak bersembunyi di balik cerita, dan
aku masih sibuk membaca mantra
"Jadilah esok lebih bahagia"
/4/
Denting jam terus berjalan
memikul rapuh rahasia tuannya
dalam, kubenamkan sejenak kata hatiku
yang berantakan
kutimang luka-luka tak berwujud itu
bergumam aku tak mampu,
berserah aku bertumbuh
"Tak ada yang tak baik-baik saja. Terimakasih cinta"
/5/
Kereta puisiku berhenti,
memungut puing-puing rumit
yang menggunung
Pulang,
pada dentingan detik terakhir
aku kembali ; melerai
tanda tanya dan realita
Terbukalah,
pintu-pintu maaf
dekaplah aku,
ruang kosong
yang kadang berair, dan
sering berapi
Aku ingin lelap
aku ingin selesai
sebagai puisi
yang tak lagi resah
.
.
(Kudus, Sep 21'20)