Akhirnya, selesai juga membaca buku kedua karya Mark Manson. "Segala-galanya Ambyar (Everything is Fuck)", begitulah judulnya. Lagi-lagi Mark Manson mengingatkan kepada pembacanya bahwa penderitaan dan kesedihan datang untuk dihadapi, bukan untuk ditinggal lari. Buku ini berisi tentang bagaimana menyikapi sebuah harapan dan sekaligus menjadi peringatan agar kita tidak tenggelam dalam pengaruh narsisisme manusia.
Seperti di judul buku sebelumnya, Mark Manson banyak menyuguhkan contoh real atas pemikiran-pemikiran yang dimiliknya. Wiotld Pilecki, seorang perwira perang Polandia yang akhirnya dijatuhi hukuman mati karena keahliannya jadi mata-mata terendus lawan menjadi cerita pembuka di buku ini. Dia berani, memiliki harapan tinggi, dan sekaligus harus mati karena membela negaranya sendiri. Dia tidak pernah menyesali perbuatannya dan malah menutup pidatonya dengan kalimat heroik "Aku telah mencoba untuk menjalani hidupku sebaik mungkin, maka menjelang ajalku kini yang kurasakan justru kegembiraan, bukan ketakutan". Waw, dahsyat. Begitulah harapan bekerja. Dia bermakna, setidaknya untuk terus menjalani kehidupan. Setidaknya ada 3 hal yang dibutuhkan untuk membangun dan merawat sebuah harapan, yaitu kesadaran akan kendali, kepercayaan akan nilai, dan sebuah komunitas.
Cerita kedua datang dari seorang Elliot. Seorang eksekutif di sebuah perusahaan besar yang jenaka dan disayangi istri, anak-anak, teman-teman, dan semua orang yang ada disekitarnya. Tapi belakangan dia didiagnosa terkena tumor otak. Dokter bedah telah mengambil tumornya, dia sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa, tapi situasi malah bertambah buruk. Kinerjanya turun, dia dipecat, diceraikan istrinya, dan ditinggalkan anak-anaknya. Ya, semua kekacauan ini berangkat dari operasi pegangkatan tumor yang dijalaninya. Kendali diri seorang Elliot hilang. Dia tidak lagi bisa berempati dan merasa. Frontal lobotomy yang dijalaninya telah mengubah orang yang sakit jiwa menjadi idiot. Karena itulah maka Tom Waits lebih memilih menyukai hobby minum daripada tidak memiliki gairah sama sekali,. Dia merasa lebih baik menemukan harapan di tempat sederhana daripada tidak sama sekali. Karena menurutnya tanpa gejolak hati yang liar, kita menjadi hampa.
Disinilah pentingnya menyelaraskan antara otak pemikir dan otak perasa. Kamu sudah tahu tentang ini? Bahwa diri kita adalah ibarat mobil badut. Otak perasa adalah sopir kita dan otak pemikir adalah navigatornya. Otak perasa menghasilkan emosi-emosi yang membuat kita tergerak untuk bertindak dan otak pemikirlah yang menyarankan tindakan itu harus dilakukan. Ya benar, hanya menyarankan. Sebab tidak selamanya otak pemikir bisa mengendalikan otak perasa. Lalu bagaimana caranya? Penulis ini bilang kita bisa memulainya melalui empati dan perasaan-perasaan. Dan jangan pernah berkelahi dengan otak perasa atau dia akan menjadi semakin kusut dan menjadi-jadi. Dan tentu saja kita tidak akan menang melawannya.
Oh ya, memang hidup ini sulit dan tidak bisa ditebak. Begitupun dengan pejalan dan perjalanannya yang semakin memuakkan. Sadar atau tidak, kita telah ditakdirkan untuk selalu bertikai hanya karena perbedaan-perbedaan kecil. Lalu kita (sering) tidak membenahi masalah sendiri dan malah menyalahkan orang lain. Kita selalu butuh menganggap bahwa diri kita ini penting. Ya, kenapa tidak? Beginilah awal mula moralitas tuan dan moralitas budak merebak.
"Amorfati" (mencintai nasib) adalah formula milik Nietzsche untuk bisa menjadi manusia yang besar. Dia menerima dan mencintai apapun yang ada di hidupnya dengan tanpa syarat. Katanya "Aku mencintai mereka yang tidak tahu cara untuk hidup. Karena merekalah orang-orang yang sukses menyeberang."
Manusia tumbuh dengan urutan kesadaran. Urutan kesadaran pertama adalah fase anak. Fase dimana eksplorasi sedang gencar-gencarnya dilakukan. Tidak peduli dengan pandangan orang lain, inginnya hanya senang dan senang. Lalu lanjut ke fase remaja. Fase yang menjunjung tinggi nilai transaksional. Fase dimana kita mengerti bahwa rasa sakit merupakan pertukaran yang harus diterima demi meraih sebuah tujuan. Lalu berlanjut ke tingkatan terakhir dan paling penting, yaitu fase dewasa. Sebuah fase dimana kita hanya perlu melakukan apa yang benar dengan sebaik-baiknya untuk sebuah alasan sederhana tanpa mencari imbalan dan tanpa mempedulikan apapun konsekuensinya. Beginilah seharusnya pandangan tentang kemanusiaan berjalan. Bukan sebagai sarana, tapi sebagai tujuan yang berdiri sendiri. Disinilah sarana belajar kita untuk menjadi lebih bijaksana membawa diri kita menuju kedewasaan yang sesungguhnya.
Penderitaan akan selalu ada. Penderitaan adalah pengalaman. Dan menjadi kebal karenanya adalah sebuah pilihan. Karena hidup dengan baik bukan berarti menolak penderitaan, tapi menderita untuk alasan-alasan yang benar supaya kita bisa belajar menderita secara tepat.
"Anda diminta untuk terus berlatih sampai bosan. Terimalah kebosanan itu. Peluklah kebosanan itu. Cintailah kebosanan itu."
Kualitas kehidupan tergantung dengan kualitas karakter. Dan kualitas karakter tergantung dengan hubungan tuan bersama deritanya. Itulah kenapa kita tidak boleh lari penderitaan dan malah harus bersentuhan dengannya lalu menemukan makna dan nilai didalamnya.
"Penderitaan itu mungkin menjadi semakin mendingan, barangkali berubah bentuk, barangkali semakin bisa dihadapi hari demi hari. Namun, dia selalu ada. Penderitaan adalah bagian dari kita. Penderitaan adalah kita."
Paradoks kemajuan telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa semakin baik kondisi yang kita dapatkan, semakin cemas dan putus asa diri kita. Orang-orang banyak mengenal ini sebagai Efek Titik Biru. Sejatinya setiap kita bersifat emosional, hanya saja banyak diantara kita yang lihai menyembunyikannya. Jangan pernah menertawakan ini, atau ini akan semakin memperjelas bahwa anda termasuk salah satunya. Ah dunia ini, selalu saja digerakkan oleh "perasaan". Dan perasaan senang, tidak akan mengenal kata cukup. Padahal bentuk merdeka yang sejati adalah pembatasan diri. Tapi ya apapun itu, "Tidak perlu mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Cukup hiduplah dengan baik. Jadilah lebih murah hati, lebih tabah, lebih rendah hati, lebih disiplin. Jadilah manusia. Tapi tidak. Jadilah manusia yang lebih baik. Dan barangkali, jika kita mujur, suatu saat kita akan menjadi lebih baik dari sekedar manusia."
Akhirnya sampai juga di paragraf akhir ini. Sampai jumpa di review selanjutnya. Selamat menikmati bacaan berat ini. Aku membutuhkan (mungkin) 6 bulan menyelesaikan 346 halaman buku ini. Agak malas atau memang aku yang lelet memahaminya. Tapi apapun itu, semoga bermanfaat untuk kalian semua.
Salam sayang.