Hari ini aku membawakannya kembang warna-warni. Lebih dominan warna pink, tapi sebenarnya aku lebih suka menaburkan yang warna putih atau kuning. Tapi belakangan aku malah lebih sering membawakannya yang warna merah. Halah tapi siapa juga yang peduli, yang penting tiruan taman surga buatanku bisa kelihatan apik. Bapak juga tidak pernah komplain tentang ini. Dia memang selalu tahu bagaimana menyenangkan satu-satunya anak wedok yang dia punya.
Ahh aku membayangkan betapa candu senyum canggungnya. Bunga-bunga itu bahkan tidak mau menceritakannya kepadaku. Tapi aku pikir mereka terlalu sibuk bertasbih untuk bapak sekaligus bermain-main dengan terik matahari dan kemudian berakhir kering. Waw ternyata tidak hanya manusia yang kembali ke tanah.
November sudah dua kali berlalu semenjak itu. Jarak itu terbentang menjadi semakin jauh, sangat-sangat jauh. Aku di sini dan apakah Bapak sudah di surga?
Haha, aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sedih karena kehilangan seorang paman tua. Aku pikir aku hanya menyimpan perasaan terlalu banyak sampai akhirnya aku kehabisan waktu. Atau waktu untuk itu memang tidak pernah ada untukku? Waktu memang sebuah jarak yang menjaga.
Aku hanya senang bahwa akhirnya aku bisa menulis ini. Bahwa aku telah sadar tidak ada yang salah dengan sebuah kepergian, kecuali atas apa-apa yang tidak bisa lagi dibawa. Tapi betapa manusia sangat-sangat beruntung karena mereka punya surat-surat terbang bernama doa. Itu lumayan, daripada hanya merasa gelap, mengerikan, dan sendirian. Lagi pula itu mendekatkan, entah kita menyadarinya atau tidak. Setidaknya kita sudah mendekat, setidaknya kita sudah punya waktu untuk membungkam perasaan bernama rindu.