"...kita semua punya kekhawatiran masing-masing. Tentang akan ke mana. Nanti menjadi apa. Karena kita memang tak pernah tahu kemana masa depan akan membawa kita." (Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa, Hal: 72).
Orang-orang memang seperti cepat sekali berjalan, sedangkan kita tidak, atau bahkan malah diam di tempat. Jangkauan demi jangkauan rasanya jadi semakin jauh, sampai-sampai kadang kita lupa bagaimana melanjutkan perjalanan. Dangkal sekali memang kita memandang kehidupan. Padahal rasa-rasanya kita sama-sama tahu bahwa akan menjadi sia-sia jika terlalu lama mendongak ke atas. Sampai-sampai kadang kita tidak tahu bahwa sekeliling telah mengijinkan kita jadi sesuatu. Ya, mungkin bukan kita yang tidak tahu, tapi kita yang tidak mau tahu karena itu bukan yang kita mau. Begitulah kita yang tidak pernah benar-benar jadi dewasa dan melihat sesuatu dengan jelas. Kita selalu menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki. Kita selalu ingin tahu rasanya. Padahal kesenangan itu semu. Padahal segala sesuatu ya begitu, tidak ada yang menjanjikan. Dunia seisinya, hanya titipan.
"...Namun, sebenarnya apa kesuksesan itu jika pada akhirnya, kita semua mati?" (Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa, Hal: 6).
Hidup, begitulah jalannya. Hari ini menjelma jadi masalah, besok menjelma jadi solusi, besoknya lagi begitu saja, bertukar peran, dan berakhir. Kita sungguh hanya perlu percaya dengan diri sendiri. Bahwa kita bisa jadi sesuatu suatu saat nanti. Bahwa jikapun kita tidak pernah jadi apa-apa, itu tidak apa-apa. Atau jikapun ternyata kita pernah diizinkan jadi sesuatu, suatu saat kita akan menyadari bahwa ternyata kita tidak pernah benar-benar ingin jadi sesuatu. Kita sungguh hanya perlu melakukan apa yang ingin kita lakukan, yang baik, yang bermanfaat. Mari kita benar-benar menikmati, mengambil manfaat dari sesuatu, dan menjadi sesuatu di hari itu. Jangan lupa merasa cukup, sebab begitulah definisi kesuksesan yang sesungguhnya.
"Everybody's struggling, hardly. So, let's make it casier for one and another." (Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa, Hal: 144).
Itu menakjubkan. Bahwa perjalanan setiap orang memang tidak sama panjangnya, tidak sama likunya, tidak sama dewasanya. Bahwa dari itu semua, kita mungkin akan jadi sesuatu, mungkin juga tidak, tapi semua proses akan jadi bermakna. Karena masing-masing dari kita punya peran. Karena masing-masing dari kita punya tujuan. Karena kita bisa jadi sesuatu tanpa perlu kita menginginkan itu. Karena kita bisa jadi sesuatu tanpa perlu standar yang bertebaran di kehidupan masyarakat maupun sosial media.
"Dan, pada akhirnya, kita berjalan di zona masing-masing dengan sepatu yang paling pas dengan kaki kita. Paling, paling pas." (Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa, Hal: 176).