Perjalanan ini begitu sulit. Begitu banyak persimpangan yang menjadikanku lelah memilih dan berniat ingin berhenti. Berulang kali aku salah memilih dan menjadikan diriku terpuruk. Berulang kali pula aku menguatkan diri, mencoba berdiri, dan kemudian pulih kembali seperti yang kau saksikan sekarang ini.
Perjalanan hidup begitu membingungkan. Menebak adalah cara terpasrah bagi pribadi yang mempunyai banyak cita-cita. Dibangunnya mimpi-mimpi dengan indahnya, diajaknya diri untuk bersedia berusaha, dan ditemukan jawab atas sekian banyak pertanyaan yang telah lama ada di hidupnya. Jika beruntung, senyumnya merekah dan menjadi pribadi yang bahagia. Tapi jika ternyata sebaliknya, bisa jadi terpuruk, putus asa, marah, sedih, atau terserah itu. Yang penting satu, jangan sampai hilang arah. Semua sudah ada jalannya. Jika gagal, coba lagi.
Termasuk perjalanan untuk sampai ke sana, ke tempat bahagia yang sangat kekal. Atau tidak, jangan kesana dulu. Aku pikir itu terlalu jauh. Berhenti, disini. Dihadapan diri sendiri.
Hai, kenapa belum juga menjadi baik?
Minimal bisa menjadikan orang-orang tersayang nyaman. Atau membuat mereka bahagia ketika sedang bersama. Atau membuat diri mereka menjadi berharga. Oke baiklah, lupakan saja.
Hai, kenapa masih banyak hal-hal menyebalkan di dalam diri?
Stop. Berhenti dan jangan bertanya perihal ini lagi. Jangankan kau, akupun tidak begitu paham dengan ini. Dan jangan berfikir aku tidak berusaha mencoba.
Kau bahkan tidak tau betapa terjal medan yang harus ku tempuh untuk sampai dititik ini. Tapi hai, apa yang kau lakukan untukku untuk bisa menghindari atau bahkan membuang jauh hal-hal yang kau anggap menyebalkan dariku?
Tidak ada bukan. Oh tidak seharusnya aku bertanya seperti ini. Maaf, telah lancang berbicara seperti ini. Baik apapun itu, terimakasih untukmu Setidaknya dengan pertanyaanmu itu, aku bisa kembali memikirkan jalanan yang harus ku pilih kembali untuk sampai kepada sesuatu yang lebih baik.
Aku sadar, semakin ke sini akan semakin banyak yang akan terlibat di hidupku. Aku sadar, akan semakin banyak yang menilaiku atau bahkan menjadikan diriku cermin diri. Aku sadar, di dunia ini aku tidak hidup sendiri. Aku sadar, letak bahagiaku bukan hanya melibatkan diriku sendiri. Anak-anakku? Ah jangan pikir lajang yang belum punya calon suami ini tidak pernah berfikir sejauh ini. Justru, justru sangat menjadi di dalam pikiranku hal-hal seperti ini.
Takut? Sangat.
Khawatir? Iya.
Kenapa? Akan terlalu banyak penjelasan. Aku tidak ingin membicarakan ini. Aku pikir aku sudah cukup berhasil mebalut lukaku. Luka yang sama sekali tak pernah aku inginkan. Luka yang menjadikanku merasa menjadi korban bertahun-tahun dan mungkin sampai aku menemukan waktuku. Luka yang menciptakan banyak ketakutan dihidupku. Luka yang, ah sudahlah. Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin membicarakan ini? Ya, benar.
Lalu?
Aku hanya sedang berusaha menenangkan dan meyakinkan diri. Bahwa baik atau buruknya sesuatu selalu disertai penilaian.
Mereka? Kau? Silakan menilai.
Aku? Aku akan dengan senang hati menikmati. Satu yang ku tahu. Satu yang selalu berhasil membuatku utuh. Bahwa aku tidak pernah menjadi diam seperti yang kau kira. Setidaknya aku sudah berusaha mencoba dan tidak abai. Dengan atau tanpa kau tahu.
Kalau ternyata masih belum baik? Biar. Biar ini menjadi urusanku dengan diriku sendiri. Aku percaya bahwa orang-orang terbaik di hidupku akan selalu punya cara untuk menjadikanku bernilai baik di hidup mereka.
Kau juga, ku doakan semoga ada.
Anak-anak? Pribadi yang akan menjadi cerminanku kelak. Wajah-wajah yang akan ku jaga dengan baik senyumnya, bahagianya (insyaallah). Jiwa dan raga yang akan menjadi tempatku pulang di masa tua kelak. Alasan-alasan yang selalu bisa membuatku berusaha lebih keras, lebih baik, dan lebih terarah. Persimpangan yang mungkin akan selalu aku lewati bersama suami dengan banyak tanda tanya dan jawaban terbaik.
Hei nak, dititik ami berdiri ini, dititik ketika ami belum menjadi apa-apa, dititik ketika ami masih sendiri, mencari jati diri, dan memperbaiki diri, dititik tunggu yang disertai rasa resah ini. Nak, ami ada sedikit pesan untukmu.
"Nak, ami tak bisa berjanji selalu jadi baik, yang selalu bisa buat kamu nyaman, dan selalu jadi yang kamu mau. Ami juga tak bisa berjanji akan selalu ada untukmu. Semesta kadang membutuhkan ami tanpa permisi. Dan ayahmu, semoga akan selalu mengerti.
Tapi percayalah, ami tak akan pernah berhenti berusaha untuk menjadi baik. Kalau suatu saat ami salah, atau berbuat yang sekiranya kurang sesuai dengan apa yang kamu pikirkan, tolong tegur ami. Bilang ke ami bagaimana cara yang lebih sesuai. Ami juga tidak bisa berjanji akan melakukan seperti yang kamu mau, tapi insyaallah ami akan menjadikannya pertimbangan berharga. Terlalu mendengarkan orang lain memang tidak terlalu baik. Tapi ami pikir, kita butuh ini untuk menjadi saling mengerti."
Salam sayang untukmu anak manis. Ami berharap, kamu bisa membaca ini dan menjadi mengerti. Ami juga berharap, kelak kita bisa berteman dan menjadi lebih baik bersama. Kita bahagiakan orang-orang terbaik di hidup kita dengan cara terbaik yang kita punya ya nak. Ayahmu? Ya, semoga dia juga sepakat dengan ini. Semoga kita semua satu frekuensi dan bahagia dengan cara yang kita ingini.
Tapi nak, ami lupa satu hal. Bahwa ami tak bisa berjanji akan kau panggil dengan sebutan "Ami". Ami butuh bersepakat dengan dia yang menjadi ayahmu kelak. Dan sekarang? Ayah masih dalam perjalanan. Doakan ayah cepat sampai ke ami ya nak.
Sampai jumpa di perjumpaan itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Salam Literasi