Minggu, 14 Juli 2019

Hai, Kenapa Belum Juga Menjadi Baik?

Perjalanan ini begitu sulit. Begitu banyak persimpangan yang menjadikanku lelah memilih dan berniat ingin berhenti. Berulang kali aku salah memilih dan menjadikan diriku terpuruk. Berulang kali pula aku menguatkan diri, mencoba berdiri, dan kemudian pulih kembali seperti yang kau saksikan sekarang ini.

Perjalanan hidup begitu membingungkan. Menebak adalah cara terpasrah bagi pribadi yang mempunyai banyak cita-cita. Dibangunnya mimpi-mimpi dengan indahnya, diajaknya diri untuk bersedia berusaha, dan ditemukan jawab atas sekian banyak pertanyaan yang telah lama ada di hidupnya. Jika beruntung, senyumnya merekah dan menjadi pribadi yang bahagia. Tapi jika ternyata sebaliknya, bisa jadi terpuruk, putus asa, marah, sedih, atau terserah itu. Yang penting satu, jangan sampai hilang arah. Semua sudah ada jalannya. Jika gagal, coba lagi.

Termasuk perjalanan untuk sampai ke sana, ke tempat bahagia yang sangat kekal. Atau tidak, jangan kesana dulu. Aku pikir itu terlalu jauh. Berhenti, disini. Dihadapan diri sendiri.

Hai, kenapa belum juga menjadi baik?

Minimal bisa menjadikan orang-orang tersayang nyaman. Atau membuat mereka bahagia ketika sedang bersama. Atau membuat diri mereka menjadi berharga. Oke baiklah, lupakan saja.

Hai, kenapa masih banyak hal-hal menyebalkan di dalam diri?

Stop. Berhenti dan jangan bertanya perihal ini lagi. Jangankan kau, akupun tidak begitu paham dengan ini. Dan jangan berfikir aku tidak berusaha mencoba.
Kau bahkan tidak tau betapa terjal medan yang harus ku tempuh untuk sampai dititik ini. Tapi hai, apa yang kau lakukan untukku untuk bisa menghindari atau bahkan membuang jauh hal-hal yang kau anggap menyebalkan dariku?

Tidak ada bukan. Oh tidak seharusnya aku bertanya seperti ini. Maaf, telah lancang berbicara seperti ini. Baik apapun itu, terimakasih untukmu Setidaknya dengan pertanyaanmu itu, aku bisa kembali memikirkan jalanan yang harus ku pilih kembali untuk sampai kepada sesuatu yang lebih baik.

Aku sadar, semakin ke sini akan semakin banyak yang akan terlibat di hidupku. Aku sadar, akan semakin banyak yang menilaiku atau bahkan menjadikan diriku cermin diri. Aku sadar, di dunia ini aku tidak hidup sendiri. Aku sadar, letak bahagiaku bukan hanya melibatkan diriku sendiri. Anak-anakku? Ah jangan pikir lajang yang belum punya calon suami ini tidak pernah berfikir sejauh ini. Justru, justru sangat menjadi di dalam pikiranku hal-hal seperti ini.

Takut? Sangat.

Khawatir? Iya.

Kenapa? Akan terlalu banyak penjelasan. Aku tidak ingin membicarakan ini. Aku pikir aku sudah cukup berhasil mebalut lukaku. Luka yang sama sekali tak pernah aku inginkan. Luka yang menjadikanku merasa menjadi korban bertahun-tahun dan mungkin sampai aku menemukan waktuku. Luka yang menciptakan banyak ketakutan dihidupku. Luka yang, ah sudahlah. Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin membicarakan ini? Ya, benar.

Lalu?

Aku hanya sedang berusaha menenangkan dan meyakinkan diri. Bahwa baik atau buruknya sesuatu selalu disertai penilaian.

Mereka? Kau? Silakan menilai.

Aku? Aku akan dengan senang hati menikmati. Satu yang ku tahu. Satu yang selalu berhasil membuatku utuh. Bahwa aku tidak pernah menjadi diam seperti yang kau kira. Setidaknya aku sudah berusaha mencoba dan tidak abai. Dengan atau tanpa kau tahu.

Kalau ternyata masih belum baik? Biar. Biar ini menjadi urusanku dengan diriku sendiri. Aku percaya bahwa orang-orang terbaik di hidupku akan selalu punya cara untuk menjadikanku bernilai baik di hidup mereka.

Kau juga, ku doakan semoga ada.

Anak-anak? Pribadi yang akan menjadi cerminanku kelak. Wajah-wajah yang akan ku jaga dengan baik senyumnya, bahagianya (insyaallah). Jiwa dan raga yang akan menjadi tempatku pulang di masa tua kelak. Alasan-alasan yang selalu bisa membuatku berusaha lebih keras, lebih baik, dan lebih terarah. Persimpangan yang mungkin akan selalu aku lewati bersama suami dengan banyak tanda tanya dan jawaban terbaik.

Hei nak, dititik ami berdiri ini, dititik ketika ami belum menjadi apa-apa, dititik ketika ami masih sendiri, mencari jati diri, dan memperbaiki diri, dititik tunggu yang disertai rasa resah ini. Nak, ami ada sedikit pesan untukmu.

"Nak, ami tak bisa berjanji selalu jadi baik, yang selalu bisa buat kamu nyaman, dan selalu jadi yang kamu mau. Ami juga tak bisa berjanji akan selalu ada untukmu. Semesta kadang membutuhkan ami tanpa permisi. Dan ayahmu, semoga akan selalu mengerti. 
Tapi percayalah, ami tak akan pernah berhenti berusaha untuk menjadi baik. Kalau suatu saat ami salah, atau berbuat yang sekiranya kurang sesuai dengan apa yang kamu pikirkan, tolong tegur ami. Bilang ke ami bagaimana cara yang lebih sesuai. Ami juga tidak bisa berjanji akan melakukan seperti yang kamu mau, tapi insyaallah ami akan menjadikannya pertimbangan berharga. Terlalu mendengarkan orang lain memang tidak terlalu baik. Tapi ami pikir, kita butuh ini untuk menjadi saling mengerti."

Salam sayang untukmu anak manis. Ami berharap, kamu bisa membaca ini dan menjadi mengerti. Ami juga berharap, kelak kita bisa berteman dan menjadi lebih baik bersama. Kita bahagiakan orang-orang terbaik di hidup kita dengan cara terbaik yang kita punya ya nak. Ayahmu? Ya, semoga dia juga sepakat dengan ini. Semoga kita semua satu frekuensi dan bahagia dengan cara yang kita ingini.

Tapi nak, ami lupa satu hal. Bahwa ami tak bisa berjanji akan kau panggil dengan sebutan "Ami". Ami butuh bersepakat dengan dia yang menjadi ayahmu kelak. Dan sekarang? Ayah masih dalam perjalanan. Doakan ayah cepat sampai ke ami ya nak.

Sampai jumpa di perjumpaan itu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Salam Literasi

Selasa, 09 Juli 2019

Beri Kami Contoh, Bukan Perbandingan

Tidak ada yang bahagia, hidupnya disamakan dengan yang lainnya. Termasuk aku, dia, atau bahkan mereka yang gemar membandingkan sekalipun. Sebuah ketidakadilan yang kerap tidak disadari oleh banyak hati. Kita mungkin sering mengalami ini.

Sore itu mendung. Udara masih agak dingin seperti beberapa hari terakhir. Beberapa tetanggaku berkumpul, mengupas kacang tanah yang akan digunakan sebagai bibit di sawah. Aku baru saja menyusul, usai membersihkan diri dan menyelesaikan urusanku dengan Rabb-ku.
Ibu-ibu di pelataran rumah tetanggaku masih sibuk mengupas kacang tanah yang ada dihadapan mereka. Seperti biasa, wanita selalu bisa fokus dengan banyak hal. Dan yang paling identik dari mereka adalah curhat yang mengarah kepada nggibah. Jangan dihujat, ini manusiawi, meski sebenarnya ini sangat tidak baik untuk diri sendiri.

Aku masih diam sambil tetap membantu mengupas kacang tanah. Sekedar memperhatikan fokus bahasan mereka dan menelaah mana yang bisa ku ambil hikmah dan mana yang harus ku abaikan begitu saja. Aku tidak mau terlalu masuk ke dalam bahasan mereka. Repot, aku tidak suka. Haha

Tapi tiba-tiba seorang ibu mengeluh. Mengeluarkan sambatan atas anak laki-laki pertamanya.

"Capek emang apa-apa sendiri. Aku pengennya juga si Nanda ngebantuin aku gitu di rumah. Kan dia udah gedhe juga" katanya

"Aku juga. Kadang aku bilang sama enang, si Acap aja rajin njemurin baju, nyapu. Tapi ya gitu, tetep main terus" kata mamak menambahkan

Satu per satu ibu-ibu mengeluhkan hal yang sama. Aku? Masih diam mencari celah bicara.

"Makanya nggak usah mbanding-mbandingin sama anak orang" kataku menyela

Mereka diam. Aku? Ikut diam. Harusnya aku memang diam saja. Tapi tidak jadi. Aku sudah terlanjur geram menyaksikan ambisi mereka supaya anak-anak menuruti keinginan mereka tapi dengan cara yang sangat salah. Aku pikir mereka harus tahu isi hati anak-anak mereka. Dan aku harus mewakili mereka. Aku ada untuk berbicara sebagai anak. Ah harusnya tidak perlu. Aku pikir mereka harus lebih tahu, karena mereka lebih dulu menjadi anak-anak daripada aku dan mereka yang suka mereka banding-bandingkan.

"Bukan begitu mbak, aku cuma pengen Nanda bantuin aku, entah nyapu, entah nyuci baju" katanya menambahkan

"Aku ngerti, tapi nggak dengan cara mbanding-mbandingin. Sakit woiii" kataku

"Halah cucu-cucuku kok dengan suka rela ngebantuin ibunya di rumah" kata seorang nenek di sudut agak kiri perkumpulan itu

"Mbah, cucumu hidup dimana? Kita hidup dimana? Jangan disamain lah. Lagian nggak semua anak berhati besar menerima perbandingan." kataku lagi

"Enggak, mereka emang penurut" katanya menambahkan

"Berarti embah beruntung" kataku

Mamakku diam. Mungkin sudah terlalu muak dengan pembelaanku atas ini. Sudah berulang kali aku membahas ini dengan mamak di rumah, apalagi setiap mamak merasa penat dengan rutinitasnya atau mengeluhkan adikku yang sekarang sedang menikmati masa mudanya. Aku pernah diposisi ini. Dan aku pikir, aku harus tahu bagaimana diantara mamak dan enang.

"Seneng ya Nan, ada yang ngebelain" kata embahnya Nanda

"Siapa yang belain coba. Aku ngomong sebagai seorang anak mbah" kataku

"Aku bahkan nggak nyangka, enang bisa nyuci sendiri setelah pulang dari liburannya kemarin. Waktu itu di rumah memang lagi sepi. Cuma dia yang di rumah" kata mamak

"Nah itu. Jangan dikata kita yang kalian anggap nggak bisa apa-apa ini beneran nggak bisa apa-apa ya. Cara kalian tuh yang salah. Dengerin ya mamak-mamak yang terhormat (ceilahhh), bukan gitu caranya minta bantuan ke anak. Kasih mereka contoh. Kasih pengertian tentang kehidupan ke depan, tentang pentingnya hidup mandiri, atau tentang apapun yang bantu mereka ngerti. Jangan malah sibuk mbandingin sama anak orang. Bayangin kalian jadi anak-anak kalian, dibanding-bandingin sana sini. Sakit. Aku yakkinlah, kalian nggak bakalan mau.
Anak orang dibanggain, anak sendiri? Apa? Ya gini nih yang bikin mereka suka masa bodoh sama kalian. Rasanya nggak pernah ada yang berharga dari apa yang sudah mereka lakukan. Lagian nih ya, anak orang yang kalian bangga-banggain itu juga nggak bakal bisa kaya anak-anak kalian yang begini dan begitu. Setiap orang punya porsinya masing-masing." kataku panjang

Semua diam. Entah fokus dengan kacang tanah yang sedang mereka kupas atau dengan apa yang barusan aku sampaikan, aku tidak peduli. Mereka sudah sangat menyebalkan sore ini. Tapi semoga dari sekian hal yang ku sampaikan, bisa lebih membuka pemikiran mereka.

Akhirnya adzan magrib berkumandang dan satu per satu dari kami kembali ke rumah masing-masing. Mendung yang selama itu kami nikmati telah menyatu bersama gelap malam yang datang. Kami kembali dengan rentetan hal yang masih sibuk mengelabuhi diri.
Dan aku sangat paham banyak hal yang orang tua khawatirkan kepada anak-anaknya. Tapi mereka juga harus tahu bahwa tidak semua hal yang mereka anggap benar, sepenuhnya menjadi benar. Ada beberapa hal yang mesti mereka sesuaikan dengan anak-anak mereka. Karena tidak semua hal bisa ditakar dengan ukuran yang sama. Semua ada porsinya.

Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Tidak juga bermaksud merasa pintar dan menyombongkan diri. Aku hanya ingin menjadi wakil dari anak-anak yang berani mengutarakan dan kemudian didengarkan oleh orang-orang yang mereka hormati. Orang tua perlu menjadi manis untuk mendapatkan perlakuan yang manis dari anak-anaknya. Bukankah seseorang akan memetik apa yang telah mereka tanam? Aku pikir itu benar. Aku banyak membuktikan sendiri. Aku banyak menjumpai orang tua yang manis kepada anak-anaknya menjadikan anak-anak mereka menjadi manis, lembut, dan membuat orang tuanya bahagia juga. Begitupun sebaliknya. Memang tidak semuanya, tapi kebanyakan iya. Selebihnya anggap saja keberuntungan.

Aku juga masih belajar menata diri menjadi sebaik-baiknya pribadi. Menjadi anak-anak sudah kulalui. Sekarang waktunya mempersiapkan diri menjadi ibu yang baik untuk anak-anak ku nanti. Aku ingin mereka menjadi pribadi yang manis, selalu bahagia, dan menjadi sebaik-baiknya jalan surga.

Sudah, itu dulu saja.

Salam literasi.

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....