Seharian aku tak tenang, dia hilang seharian tanpa memberi kabar setelah semalam mengabarkan kepadaku bahwa dia akan pulang ke kampung halaman. Mendadak memang. Dia bilang tiba-tiba ingin pulang. Padahal sebelumnya dia bilang beberapa waktu ini akan sibuk karena pekerjaannya.
"Malem beb"
"Malem beb. Kok berisik si, lagi di jalan ya?" tanyaku
"Iya nih, lagi buru-buru"
"Mau kemana beb?"
"Aku mau pulang"
"Pulang ke kosan?"
"Pulang ke rumah bunda dong sayang"
"Lhoh kok tiba-tiba si beb. Katamu kemarin bakal sibuk?"
"Iya nih. Tiba-tiba pengen pulang, bunda kangen katanya"
"Dasar. Tapi beneran cuma gara-gara itu beb?"
"Iya sayang. Udah dulu ya. Pesawatku udah mau take off nih. Besok ku telfon lagi"
"Terus kerjaanmu?"
"Bunda lebih dari segalanya. Rejeki ga akan lari kemana kan beb? Kalaupun aku kena pecat, aku akan cari yang lain"
"Iya bener. Ya udah hati-hati ya beb. Titip salam buat Bunda. Kabarin kalau udah sampai"
Begitu kira-kira percakapan singkatku semalam sebelum kepulangannya. Sebenarnya tidurku semalam tidak begitu nyenyak. Seperti ada sesuatu yang ramai di kepalaku, tapi aku sendiri kurang tahu apa itu. Pikirku tak jauh dari Tuan yang tiba-tiba berpamitan pulang secara tiba-tiba. "Sebenarnya ada apa? Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku?" kataku membatin.
"Malem beb"
"Malem beb. Kok berisik si, lagi di jalan ya?" tanyaku
"Iya nih, lagi buru-buru"
"Mau kemana beb?"
"Aku mau pulang"
"Pulang ke kosan?"
"Pulang ke rumah bunda dong sayang"
"Lhoh kok tiba-tiba si beb. Katamu kemarin bakal sibuk?"
"Iya nih. Tiba-tiba pengen pulang, bunda kangen katanya"
"Dasar. Tapi beneran cuma gara-gara itu beb?"
"Iya sayang. Udah dulu ya. Pesawatku udah mau take off nih. Besok ku telfon lagi"
"Terus kerjaanmu?"
"Bunda lebih dari segalanya. Rejeki ga akan lari kemana kan beb? Kalaupun aku kena pecat, aku akan cari yang lain"
"Iya bener. Ya udah hati-hati ya beb. Titip salam buat Bunda. Kabarin kalau udah sampai"
Begitu kira-kira percakapan singkatku semalam sebelum kepulangannya. Sebenarnya tidurku semalam tidak begitu nyenyak. Seperti ada sesuatu yang ramai di kepalaku, tapi aku sendiri kurang tahu apa itu. Pikirku tak jauh dari Tuan yang tiba-tiba berpamitan pulang secara tiba-tiba. "Sebenarnya ada apa? Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku?" kataku membatin.
Dan sekarang, pandangku tak lepas dari layar ponsel yang setia digenggamanku sedari tadi. Entah sudah berapa kali panggilan keluar terhitung di log panggilan ponselku. Aku bahkan tidak sempat mengeceknya. Kalutku membesar setelah pagi tadi sebuah panggilan masuk mengabarkan kepadaku bahwa ayah telah tiada. Teman karibnya menelponku, mengabarkan tentang ini juga tentang Tuan yang hatinya sangat sedih karena ini.
Picture by : Google |
"Hai ayah, sampaikan salamku kepada Allah, kepada Rasulullah, juga kepada orang-orang yang kau temui di surga sana. Aku mencintaimu meski kita belum benar-benar bertemu. Semoga surga menjadi ujung dari ini semua. Selamat jalan ayah, sampai jumpa"
Aku terkejut, tapi rasa itu terlalu kecil dibandingkan dengan kalutku yang tak kunjung menemukan arti. Panggilanku belum juga berhasil terjawab. Padahal sudah hampir adzan magrib. Aku pikir, prosesi pemakaman ayah sudah seharusnya selesai. Tapi tuan, dia kemana? Dia bagaimana? Dia sedang apa? Kenapa panggilanku tidak kunjung dijawabnya? Tuan, apa dia baik-baik saja?
Entahlah, sepertinya aku butuh mengadu kepada-Nya untuk mencari ketenangan diri. Ponselku ku letakkan begitu saja di atas tempat tidurku dan kemudian aku bergegas menuju tempat ambil air wudhu. Aku berniat sambil mencuci kedua tanganku, kemudian membasuh wajahku dan menyelesaikan proses wudluku. Adzan magrib telah selesai bertepatan dengan selesainya wudluku.
Dan aku menunaikan kewajibanku. Menyelesaikan 3 rekaat di pergantian antara terang dan petang yang telah datang. Aku panjatkan banyak doa panjang di setiap sujudku, memohon agar bisa mendengar kabar perihal tuan yang seharian menghilang. Aku juga ingin sekali mendengar kabar ayah sampai akhirnya tiada.
Tangisku mereda, persis setelah kata Aamiin terucap olehku di doa terakhirku. Aku berpasrah diri kepada-Nya dan meyakini bahwa apa yang terjadi adalah kehendak yang terbaik dari-Nya.
Masih berkemul dengan mukena berwarna biru terang pemberian mamak, aku beranjak menuju arah ponselku. Aku meraih ponselku kembali dan kemudian mencoba melakukan panggilan keluar lagi kepada tuan.
"Assalamualaikum beb" sapaku dengan girang.
Tapi hening, tidak ada suara. Dia diam, padahal layar ponselku menandakan bahwa panggilanku sudah masuk. "Hai tuan, adakah kau disana? Kenapa tidak menjawab salamku? Apakah ternyata itu bukan kau?" kataku tak henti menerka.
"Beb, assalamualaikum. Beb..... mas...... hallo......" kataku mencoba lagi.
Sedetik, dua detik, tiga detik, dan aku geram. Pikiranku semakin kalut entah mengkhawatirkan apa. Lelaki itu, sedang apa dia? Kenapa tak juga menjawab sapaku?
"Ya udah deh, kamu tenangin diri dulu. Nanti kalau udah lega, kabari aku ya. Maaf sudah mengganggu" kataku menyerah.
Tapi tiba-tiba terdengar suara isakan tangis. Seperti ada yang ingin disampaikan tapi belum bisa. Aku belum benar-benar menutup panggilanku. Mendengar suaranya hatiku menjadi sedikit lega. Setidaknya aku masih bisa memastikan bahwa yang mengangkat panggilanku adalah benar-benar dia.
"Waalaikumusalam........ beb" katanya menjawab.
"Alhamdulillah" sambil mengelus dada.
"Beb" sambil menahan isak tangis.
"Dalem"
"Maaf ya, lama"
"Iya nggak papa. Aku ngerti kok"
Isak tangis itu terdengar lagi. Aku tiba-tiba panik, bingung akan mengambil langkah apa. Sebenarnya aku ingin sekali mendatanginya, tapi belum bisa. Ada yang harus aku selesaikan. Oh ayah, kenapa tidak menungguku saja si? Kenapa tidak melakukan nego dengan malaikat yang mendatangimu? Harusnya kita bertemu dulu. Ah bicara apa aku? Ngawur.
"Beb, are you okay?" kataku memastikan.
"He em. Sedikit" katanya singkat.
"Ada yang mau diceritain ke aku nggak beb?" kataku mencoba mencairkan suasana.
"Belum ada"
"Ya udah, istirahat dulu gih. Aku tutup telponnya ya. Jangan lupa makan. Oh iya, sekalian titip salam buat Bunda ya. Bilangin, maaf belum bisa dateng ke sana"
"Beb"
"Iya"
"Jangan ditutup ya telponnya"
"Abis kamu cueknya kambuh si"
"Takut ketahuan kamu si"
"Ketahuan apa?"
"Ketahuan kalo aku abis nangis"
"Ya Allah, cah lucu"
Seketika aku tertawa kecil. "Cah Lucu". Biasanya dua kata itu sering dilontarkannya kepadaku, apalagi ketika aku sedang kacau-kacaunya dan salah menduga sesuatu.
"Masih sedih tha beb?" kataku
"Sedikit"
"Ya udah kelarin dulu sana gih"
Sekedip, dua kedip, sekian kedip, kenapa tidak ada suara lagi? Aku diam dan menyibukkan diri dengan menerka-nerka sesuatu yang terjadi kepadanya.
"Beb......... beb .......... mas ........... hallo ........ beneran mau ngelarin kesedihan nih?" kataku menebak
Tapi tidak ada suara. Lelaki itu kemana? Sedang apa dia? Kenapa tidak ada suara? Apa dia ketiduran? Apa dia sedang sholat? Apa dia sedang mengerjaiku dan tertawa puas melihatku bertanya-tanya begini? Ah apa-apaan aku ini.
"Beb ..... hallo...... ngomong kali ih. Beb ........"
Tiba-tiba ada suara.
"Hallo beb"
"Hmm"
"Maaf ya lama"
"Hmmm"
"Abis dari kamar mandi soalnya. Perutku tiba-tiba mules"
"Astagfirullahaladzim Ya Rabb. Pantesan dipanggil-panggil enggak respon. Kesel"
Dia memang sering begitu. Tiba-tiba hilang dan kembali dengan alasan yang menurutku lucu tapi tetap membuatku kesal. Aku sering dibuatnya kesal sekaligus tertawa membayangkan tingkahnya yang menyebalkan.
"Iya maaf, mau pamit ga sempet beb"
Aku diam, menikmati kesal dan lucu yang berbaur menjadi satu. Rasanya ingin sekali ku cubit lengannya dan kemudian memukulinya dengan penuh cinta. Lelaki itu, kenapa membuatku random begini?
"Mata empat"
"Ya"
"Mata empat"
"Apa?"
"Mata empat"
"Dalem"
"Mata empat"
"Iya mas"
"Mata empat"
"Apa sih beb?"
"Ya udah"
"Dasar annoying"
"Cuma kangen"
"Apaan?"
"Beneran"
Lagi, aku dibuatnya kesal lagi. Tapi ya gitu, aku tak pernah berhasil mengendalikan diri. Aku selalu ingin menjadi jawaban atas apa yang menjadi pertanyaannya, aku selalu ingin menjadi sesuatu yang melengkapinya.
"Udah ga sedih lagi nih ceritanya"
"Enggak. Kan udah berhasil bikin kamu kesel"
"Mas....."
"Enggak sayang, bercanda kok"
"Alhamdulillah. Emang kudu begitu. Cowok emang kudu tegar, nggak boleh cengeng. Jangan sedih lagi ya beb. Ntar kalo kamu sedih, aku, bunda, dan semuanya ikutan sedih gimana dong? Ikhlasin aja, insyaallah ayah udah tenang di alam sana"
"Sendiko dawuh nyai"
"Aku ngomong beneran tau beb"
"Iya paham. Insyaallah, abis ini aku ga akan sedih lagi"
"Aku cuma bisa ngingetin beb, maaf belum bisa lebih"
"Udah kok beb, udah lebih dari cukup. Makasi ya"
"Bunda lagi apa beb?" kataku menggeser topik
"Lagi kruntelan di ruang sebelah sama adek. Tadi udah seharian kruntelan sama aku, sekarang gantian"
"Ihh pengen ikutan"
"Sini sama aku aja. Kalo sama mereka engap, kan mereka berbanyak"
"Nonononono"
"Wkwkwkwk"
Suasana rumahnya sudah agak sepi, mungkin karena baru saja magrib. Jadi para tamu mungkin menunggu waktu untuk datang setelahnya. Atau memang kebiasaan di tempat kami yang berbeda.
"Beb"
"Apa sayang?"
"Udah ga sedih kan?"
"Insyaallah"
"Kamu ga mau cerita ke aku tentang ayah beb?"
"Cerita apa?"
"Ayah sakit apa beb?"
"Ayah pergi abis subuhan berjamaah pagi tadi. Ayah yang imamin, pas tahajudan juga. Sebenernya ayah sakit parah, udah lama, dan ga ada yang ngasih tahu aku. Ayah juga kelihatan baik-baik aja setiap ketemu sama aku. Kaya biasa gitu, aku ga nyangka ayah sepintar ini biar buat aku ga khawatir. Aku sempet marah ke bunda dan ke semuanya. Kenapa harus ditutupin dari aku coba?" katanya panjang.
"Masyaallah ayah. Mereka ga mau kamu khawatir beb. Udah ah marahnya. Ya?" kataku menenangkan.
Lagi lagi aku tersentuh. Entah energi apa yang baru sampai kepadaku, di tempatku merebah sekarang aku hanya membayangkan sosok ayah yang begitu hangat. Ah lelaki itu, kenapa harus pergi secepat ini. Aku juga menjadi menggebu-nggebu membayangkan berada diantara keluarga tuan. Bersamanya, bersama bunda, saudara-saudaranya. Hei, kapan kita benar akan bertemu?
"Tapi kan?"
"Tapi kan kamu juga sering kaya gitu. Enggak jujur ke bunda sama ayah. Kemarin kamu jatuh diem aja kan? Banyak juga kan yang kamu tutupin ke beliau?"
"I iya hehe"
"Adil kan? Udah ah. Aku ga mau denger kamu kesel lagi. Jelek taukk"
"Iya, insyaallah"
"Jadi telpon semalem pas kamu pamit pulang itu gara-gara ini?" kataku menebak
"Sebenernya enggak si. Bunda beneran cuma bilang kangen dan minta aku pulang. Bahkan bunda ga bilang apapun ke aku, termasuk soal ayah. Sebenernya aku cuma ngikutin kata hati aja si, tapi ternyata ya begini kenyataan yang harus aku hadapi"
"Allahu akbar beb. Kebetulan yang sangat indah. Ya udah, kamu istirahat gih. Aku tutup telponnya ya" kataku pamit
"Lhah, udahan nih kangennya?"
"Hah, aku cuma khawatir ya. Seharian ga ada kabar ih" kataku terheran
"Hehe, ntar aku beliin burger kesukaanmu deh, biar aku dimaafin kamu"
"Wegah. Tapi kalau kamu beliin tiket umroh bisa ku pertimbangkan si. Hehe"
"Insyaallah, doain aku terus ya sayang"
Adzan isya' berkumandangan. Aku memutuskan akan menutup panggilanku dan menyelesaikan kewajibanku kepada Rabb-ku. Mukena yang masih hangat menyelimutiku dari semenjak magrib tadi aku lepas dan kemudian aku bergegas menuju sebuah keran di sisi kanan kamarku. Rasanya baru sebentar berdialog dengannya, padahal sudah lebih dari setengah jam. Mungkin memang benar kata orang-orang, cinta selalu membawa suasana yang berbeda. Haha.
"Insyaallah. Isyaan dulu yuk, disini udah adzan" kataku
"Doain ayah ya beb. Doain biar bisa ketemu kita di surga"
"Bentar deh, emang kamu bakal masuk surga beb? PeDe sekali anda?"
"Tergantung"
"Kok?"
"Tergantung gimana kamu jadi istri lah. Kalau kamu banyak dosa ya nasib" katanya meledek.
"Naudzubillah. Enggak. No. Jangan" kataku ketakutan
"Wkwkwk makanya, jangan nakal"
"Insyaallah beb. Ya udah tutup telponnya. Udah di tunggu ayah tuh"
"Ayah? Nunggu? Nunggu siapa beb?"
"Nunggu doa dari anak lelakinya yang sholeh. Buruan sholat"
"Hahaha cah lucu. Ya udah, assalamualaikum mata empat"
"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh (Tuan)"
Dan setidaknya malam ini aku sudah mendengar suara Tuan. Setidaknya apa yang seharian menjadi tanda tanyaku sudah terjawab. Lega rasanya, aku pikir tidurku malam ini akan nyenyak.
Aku tidak tahu bagaimana skenario hidup yang dibuat-Nya untuk Tuan. Tapi setiap aku ulangi cerita ini dari apa yang sudah terjadi mulai dari semalam, rasanya begitu indah. Seperti sebuah kebetulan, tapi benar inilah takdir-Nya.
Ayah, ayahku yang sudah lebih dulu berpulang kepada-Nya. Selamat malam ayah, terimakasih sudah pernah menjadi bumbu-bumbu sedap disela-sela percakapanku dengan anak lelaki ayah. Anak ayah lucu, tapi biasa aja. Enggak seganteng Kenny Austin di sinetron "Cahaya Terindah" yang hampir tak pernah ku lewatkan setiap sore. Tapi ayah, dia selalu bisa membuatku senyum-senyum sendiri meski harus kesal juga. Ayah, apa ayah selucu anak ayah itu? Ah ayah, harusnya ayah bercanda dulu denganku barang sekali atau sekian kali. Tapi ya sudahlah, sepertinya ayah lebih sayang ayah.
Sampai jumpa di surganya Allah ayah. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa ayah, menerima amal ibadah ayah, mengindahkan alam kubur ayah, dan menempatkan ayah disisi terbaik-Nya. Aku sayang ayah.
--------------------------------------------------------
Salam Literasi
"Takut ketahuan kamu si"
"Ketahuan apa?"
"Ketahuan kalo aku abis nangis"
"Ya Allah, cah lucu"
Seketika aku tertawa kecil. "Cah Lucu". Biasanya dua kata itu sering dilontarkannya kepadaku, apalagi ketika aku sedang kacau-kacaunya dan salah menduga sesuatu.
"Masih sedih tha beb?" kataku
"Sedikit"
"Ya udah kelarin dulu sana gih"
Sekedip, dua kedip, sekian kedip, kenapa tidak ada suara lagi? Aku diam dan menyibukkan diri dengan menerka-nerka sesuatu yang terjadi kepadanya.
"Beb......... beb .......... mas ........... hallo ........ beneran mau ngelarin kesedihan nih?" kataku menebak
Tapi tidak ada suara. Lelaki itu kemana? Sedang apa dia? Kenapa tidak ada suara? Apa dia ketiduran? Apa dia sedang sholat? Apa dia sedang mengerjaiku dan tertawa puas melihatku bertanya-tanya begini? Ah apa-apaan aku ini.
"Beb ..... hallo...... ngomong kali ih. Beb ........"
Tiba-tiba ada suara.
"Hallo beb"
"Hmm"
"Maaf ya lama"
"Hmmm"
"Abis dari kamar mandi soalnya. Perutku tiba-tiba mules"
"Astagfirullahaladzim Ya Rabb. Pantesan dipanggil-panggil enggak respon. Kesel"
Dia memang sering begitu. Tiba-tiba hilang dan kembali dengan alasan yang menurutku lucu tapi tetap membuatku kesal. Aku sering dibuatnya kesal sekaligus tertawa membayangkan tingkahnya yang menyebalkan.
"Iya maaf, mau pamit ga sempet beb"
Aku diam, menikmati kesal dan lucu yang berbaur menjadi satu. Rasanya ingin sekali ku cubit lengannya dan kemudian memukulinya dengan penuh cinta. Lelaki itu, kenapa membuatku random begini?
"Mata empat"
"Ya"
"Mata empat"
"Apa?"
"Mata empat"
"Dalem"
"Mata empat"
"Iya mas"
"Mata empat"
"Apa sih beb?"
"Ya udah"
"Dasar annoying"
"Cuma kangen"
"Apaan?"
"Beneran"
Lagi, aku dibuatnya kesal lagi. Tapi ya gitu, aku tak pernah berhasil mengendalikan diri. Aku selalu ingin menjadi jawaban atas apa yang menjadi pertanyaannya, aku selalu ingin menjadi sesuatu yang melengkapinya.
"Udah ga sedih lagi nih ceritanya"
"Enggak. Kan udah berhasil bikin kamu kesel"
"Mas....."
"Enggak sayang, bercanda kok"
"Alhamdulillah. Emang kudu begitu. Cowok emang kudu tegar, nggak boleh cengeng. Jangan sedih lagi ya beb. Ntar kalo kamu sedih, aku, bunda, dan semuanya ikutan sedih gimana dong? Ikhlasin aja, insyaallah ayah udah tenang di alam sana"
"Sendiko dawuh nyai"
"Aku ngomong beneran tau beb"
"Iya paham. Insyaallah, abis ini aku ga akan sedih lagi"
"Aku cuma bisa ngingetin beb, maaf belum bisa lebih"
"Udah kok beb, udah lebih dari cukup. Makasi ya"
"Bunda lagi apa beb?" kataku menggeser topik
"Lagi kruntelan di ruang sebelah sama adek. Tadi udah seharian kruntelan sama aku, sekarang gantian"
"Ihh pengen ikutan"
"Sini sama aku aja. Kalo sama mereka engap, kan mereka berbanyak"
"Nonononono"
"Wkwkwkwk"
Suasana rumahnya sudah agak sepi, mungkin karena baru saja magrib. Jadi para tamu mungkin menunggu waktu untuk datang setelahnya. Atau memang kebiasaan di tempat kami yang berbeda.
"Beb"
"Apa sayang?"
"Udah ga sedih kan?"
"Insyaallah"
"Kamu ga mau cerita ke aku tentang ayah beb?"
"Cerita apa?"
"Ayah sakit apa beb?"
"Ayah pergi abis subuhan berjamaah pagi tadi. Ayah yang imamin, pas tahajudan juga. Sebenernya ayah sakit parah, udah lama, dan ga ada yang ngasih tahu aku. Ayah juga kelihatan baik-baik aja setiap ketemu sama aku. Kaya biasa gitu, aku ga nyangka ayah sepintar ini biar buat aku ga khawatir. Aku sempet marah ke bunda dan ke semuanya. Kenapa harus ditutupin dari aku coba?" katanya panjang.
"Masyaallah ayah. Mereka ga mau kamu khawatir beb. Udah ah marahnya. Ya?" kataku menenangkan.
Lagi lagi aku tersentuh. Entah energi apa yang baru sampai kepadaku, di tempatku merebah sekarang aku hanya membayangkan sosok ayah yang begitu hangat. Ah lelaki itu, kenapa harus pergi secepat ini. Aku juga menjadi menggebu-nggebu membayangkan berada diantara keluarga tuan. Bersamanya, bersama bunda, saudara-saudaranya. Hei, kapan kita benar akan bertemu?
"Tapi kan?"
"Tapi kan kamu juga sering kaya gitu. Enggak jujur ke bunda sama ayah. Kemarin kamu jatuh diem aja kan? Banyak juga kan yang kamu tutupin ke beliau?"
"I iya hehe"
"Adil kan? Udah ah. Aku ga mau denger kamu kesel lagi. Jelek taukk"
"Iya, insyaallah"
"Jadi telpon semalem pas kamu pamit pulang itu gara-gara ini?" kataku menebak
"Sebenernya enggak si. Bunda beneran cuma bilang kangen dan minta aku pulang. Bahkan bunda ga bilang apapun ke aku, termasuk soal ayah. Sebenernya aku cuma ngikutin kata hati aja si, tapi ternyata ya begini kenyataan yang harus aku hadapi"
"Allahu akbar beb. Kebetulan yang sangat indah. Ya udah, kamu istirahat gih. Aku tutup telponnya ya" kataku pamit
"Lhah, udahan nih kangennya?"
"Hah, aku cuma khawatir ya. Seharian ga ada kabar ih" kataku terheran
"Hehe, ntar aku beliin burger kesukaanmu deh, biar aku dimaafin kamu"
"Wegah. Tapi kalau kamu beliin tiket umroh bisa ku pertimbangkan si. Hehe"
"Insyaallah, doain aku terus ya sayang"
Adzan isya' berkumandangan. Aku memutuskan akan menutup panggilanku dan menyelesaikan kewajibanku kepada Rabb-ku. Mukena yang masih hangat menyelimutiku dari semenjak magrib tadi aku lepas dan kemudian aku bergegas menuju sebuah keran di sisi kanan kamarku. Rasanya baru sebentar berdialog dengannya, padahal sudah lebih dari setengah jam. Mungkin memang benar kata orang-orang, cinta selalu membawa suasana yang berbeda. Haha.
"Insyaallah. Isyaan dulu yuk, disini udah adzan" kataku
"Doain ayah ya beb. Doain biar bisa ketemu kita di surga"
"Bentar deh, emang kamu bakal masuk surga beb? PeDe sekali anda?"
"Tergantung"
"Kok?"
"Tergantung gimana kamu jadi istri lah. Kalau kamu banyak dosa ya nasib" katanya meledek.
"Naudzubillah. Enggak. No. Jangan" kataku ketakutan
"Wkwkwk makanya, jangan nakal"
"Insyaallah beb. Ya udah tutup telponnya. Udah di tunggu ayah tuh"
"Ayah? Nunggu? Nunggu siapa beb?"
"Nunggu doa dari anak lelakinya yang sholeh. Buruan sholat"
"Hahaha cah lucu. Ya udah, assalamualaikum mata empat"
"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh (Tuan)"
Dan setidaknya malam ini aku sudah mendengar suara Tuan. Setidaknya apa yang seharian menjadi tanda tanyaku sudah terjawab. Lega rasanya, aku pikir tidurku malam ini akan nyenyak.
Aku tidak tahu bagaimana skenario hidup yang dibuat-Nya untuk Tuan. Tapi setiap aku ulangi cerita ini dari apa yang sudah terjadi mulai dari semalam, rasanya begitu indah. Seperti sebuah kebetulan, tapi benar inilah takdir-Nya.
Ayah, ayahku yang sudah lebih dulu berpulang kepada-Nya. Selamat malam ayah, terimakasih sudah pernah menjadi bumbu-bumbu sedap disela-sela percakapanku dengan anak lelaki ayah. Anak ayah lucu, tapi biasa aja. Enggak seganteng Kenny Austin di sinetron "Cahaya Terindah" yang hampir tak pernah ku lewatkan setiap sore. Tapi ayah, dia selalu bisa membuatku senyum-senyum sendiri meski harus kesal juga. Ayah, apa ayah selucu anak ayah itu? Ah ayah, harusnya ayah bercanda dulu denganku barang sekali atau sekian kali. Tapi ya sudahlah, sepertinya ayah lebih sayang ayah.
Sampai jumpa di surganya Allah ayah. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa ayah, menerima amal ibadah ayah, mengindahkan alam kubur ayah, dan menempatkan ayah disisi terbaik-Nya. Aku sayang ayah.
--------------------------------------------------------
Salam Literasi