Jumat, 23 Agustus 2019

Waktu Ayah Pergi

Seharian aku tak tenang, dia hilang seharian tanpa memberi kabar setelah semalam mengabarkan kepadaku bahwa dia akan pulang ke kampung halaman. Mendadak memang. Dia bilang tiba-tiba ingin pulang. Padahal sebelumnya dia bilang beberapa waktu ini akan sibuk karena pekerjaannya.

"Malem beb"

"Malem beb. Kok berisik si, lagi di jalan ya?" tanyaku

"Iya nih, lagi buru-buru"

"Mau kemana beb?"

"Aku mau pulang"

"Pulang ke kosan?"

"Pulang ke rumah bunda dong sayang"

"Lhoh kok tiba-tiba si beb. Katamu kemarin bakal sibuk?"

"Iya nih. Tiba-tiba pengen pulang, bunda kangen katanya"

"Dasar. Tapi beneran cuma gara-gara itu beb?"

"Iya sayang. Udah dulu ya. Pesawatku udah mau take off nih. Besok ku telfon lagi"

"Terus kerjaanmu?"

"Bunda lebih dari segalanya. Rejeki ga akan lari kemana kan beb? Kalaupun aku kena pecat, aku akan cari yang lain"

"Iya bener. Ya udah hati-hati ya beb. Titip salam buat Bunda. Kabarin kalau udah sampai"

Begitu kira-kira percakapan singkatku semalam sebelum kepulangannya. Sebenarnya tidurku semalam tidak begitu nyenyak. Seperti ada sesuatu yang ramai di kepalaku, tapi aku sendiri kurang tahu apa itu. Pikirku tak jauh dari Tuan yang tiba-tiba berpamitan pulang secara tiba-tiba. "Sebenarnya ada apa? Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku?" kataku membatin.

Dan sekarang, pandangku tak lepas dari layar ponsel yang setia digenggamanku sedari tadi. Entah sudah berapa kali panggilan keluar terhitung di log panggilan ponselku. Aku bahkan tidak sempat mengeceknya. Kalutku membesar setelah pagi tadi sebuah panggilan masuk mengabarkan kepadaku bahwa ayah telah tiada. Teman karibnya menelponku, mengabarkan tentang ini juga tentang Tuan yang hatinya sangat sedih karena ini.

Picture by : Google
Ayah? Lelaki itu, lelaki yang akan jadi ayahku juga. Lelaki yang diceritakan tuan beberapa kali kepadaku itu telah tiada. Lelaki yang terdengar begitu hebat kepribadiannya. Lelaki yang diceritakan sangat mencintai istrinya, anak-anaknya, juga keluarganya. Lelaki yang sempat membuatku iri karena banyak hal baik yang ada pada dirinya. Lelaki yang akhir-akhir ini aku idam-idamkan sebagai calon ayah mertuaku, kakek dari anak-anakku. Lelaki itu telah begitu cepat pergi. Padahal aku belum sempat benar-benar berkenalan, atau sekedar berdialog, atau mewujudkan mimpi-mimpi baru dengan beliau.

"Hai ayah, sampaikan salamku kepada Allah, kepada Rasulullah, juga kepada orang-orang yang kau temui di surga sana. Aku mencintaimu meski kita belum benar-benar bertemu. Semoga surga menjadi ujung dari ini semua. Selamat jalan ayah, sampai jumpa"

Aku terkejut, tapi rasa itu terlalu kecil dibandingkan dengan kalutku yang tak kunjung menemukan arti. Panggilanku belum juga berhasil terjawab. Padahal sudah hampir adzan magrib. Aku pikir, prosesi pemakaman ayah sudah seharusnya selesai. Tapi tuan, dia kemana? Dia bagaimana? Dia sedang apa? Kenapa panggilanku tidak kunjung dijawabnya? Tuan, apa dia baik-baik saja?

Entahlah, sepertinya aku butuh mengadu kepada-Nya untuk mencari ketenangan diri. Ponselku ku letakkan begitu saja di atas tempat tidurku dan kemudian aku bergegas menuju tempat ambil air wudhu. Aku berniat sambil mencuci kedua tanganku, kemudian membasuh wajahku dan menyelesaikan proses wudluku. Adzan magrib telah selesai bertepatan dengan selesainya wudluku.

Dan aku menunaikan kewajibanku. Menyelesaikan 3 rekaat di pergantian antara terang dan petang yang telah datang. Aku panjatkan banyak doa panjang di setiap sujudku, memohon agar bisa mendengar kabar perihal tuan yang seharian menghilang. Aku juga ingin sekali mendengar kabar ayah sampai akhirnya tiada.

Tangisku mereda, persis setelah kata Aamiin terucap olehku di doa terakhirku. Aku berpasrah diri kepada-Nya dan meyakini bahwa apa yang terjadi adalah kehendak yang terbaik dari-Nya.
Masih berkemul dengan mukena berwarna biru terang pemberian mamak, aku beranjak menuju arah ponselku. Aku meraih ponselku kembali dan kemudian mencoba melakukan panggilan keluar lagi kepada tuan.

"Assalamualaikum beb" sapaku dengan girang.

Tapi hening, tidak ada suara. Dia diam, padahal layar ponselku menandakan bahwa panggilanku sudah masuk. "Hai tuan, adakah kau disana? Kenapa tidak menjawab salamku? Apakah ternyata itu bukan kau?" kataku tak henti menerka.

"Beb, assalamualaikum. Beb..... mas...... hallo......" kataku mencoba lagi.

Sedetik, dua detik, tiga detik, dan aku geram. Pikiranku semakin kalut entah mengkhawatirkan apa. Lelaki itu, sedang apa dia? Kenapa tak juga menjawab sapaku?

"Ya udah deh, kamu tenangin diri dulu. Nanti kalau udah lega, kabari aku ya. Maaf sudah mengganggu" kataku menyerah.

Tapi tiba-tiba terdengar suara isakan tangis. Seperti ada yang ingin disampaikan tapi belum bisa. Aku belum benar-benar menutup panggilanku. Mendengar suaranya hatiku menjadi sedikit lega. Setidaknya aku masih bisa memastikan bahwa yang mengangkat panggilanku adalah benar-benar dia.

"Waalaikumusalam........ beb" katanya menjawab.

"Alhamdulillah" sambil mengelus dada.

"Beb" sambil menahan isak tangis.

"Dalem"

"Maaf ya, lama"

"Iya nggak papa. Aku ngerti kok"

Isak tangis itu terdengar lagi. Aku tiba-tiba panik, bingung akan mengambil langkah apa. Sebenarnya aku ingin sekali mendatanginya, tapi belum bisa. Ada yang harus aku selesaikan. Oh ayah, kenapa tidak menungguku saja si? Kenapa tidak melakukan nego dengan malaikat yang mendatangimu? Harusnya kita bertemu dulu. Ah bicara apa aku? Ngawur.

"Beb, are you okay?" kataku memastikan.

"He em. Sedikit" katanya singkat.

"Ada yang mau diceritain ke aku nggak beb?" kataku mencoba mencairkan suasana.

"Belum ada"

"Ya udah, istirahat dulu gih. Aku tutup telponnya ya. Jangan lupa makan. Oh iya, sekalian titip salam buat Bunda ya. Bilangin, maaf belum bisa dateng ke sana"

"Beb"

"Iya"

"Jangan ditutup ya telponnya"

"Abis kamu cueknya kambuh si"

"Takut ketahuan kamu si"

"Ketahuan apa?"

"Ketahuan kalo aku abis nangis"

"Ya Allah, cah lucu"

Seketika aku tertawa kecil. "Cah Lucu". Biasanya dua kata itu sering dilontarkannya kepadaku, apalagi ketika aku sedang kacau-kacaunya dan salah menduga sesuatu.

"Masih sedih tha beb?" kataku

"Sedikit"

"Ya udah kelarin dulu sana gih"

Sekedip, dua kedip, sekian kedip, kenapa tidak ada suara lagi? Aku diam dan menyibukkan diri dengan menerka-nerka sesuatu yang terjadi kepadanya.

"Beb......... beb .......... mas ........... hallo ........ beneran mau ngelarin kesedihan nih?" kataku menebak

Tapi tidak ada suara. Lelaki itu kemana? Sedang apa dia? Kenapa tidak ada suara? Apa dia ketiduran? Apa dia sedang sholat? Apa dia sedang mengerjaiku dan tertawa puas melihatku bertanya-tanya begini? Ah apa-apaan aku ini.

"Beb ..... hallo...... ngomong kali ih. Beb ........"

Tiba-tiba ada suara.

"Hallo beb"

"Hmm"

"Maaf ya lama"

"Hmmm"

"Abis dari kamar mandi soalnya. Perutku tiba-tiba mules"

"Astagfirullahaladzim Ya Rabb. Pantesan dipanggil-panggil enggak respon. Kesel"

Dia memang sering begitu. Tiba-tiba hilang dan kembali dengan alasan yang menurutku lucu tapi tetap membuatku kesal. Aku sering dibuatnya kesal sekaligus tertawa membayangkan tingkahnya yang menyebalkan.

"Iya maaf, mau pamit ga sempet beb"

Aku diam, menikmati kesal dan lucu yang berbaur menjadi satu. Rasanya ingin sekali ku cubit lengannya dan kemudian memukulinya dengan penuh cinta. Lelaki itu, kenapa membuatku random begini?

"Mata empat"

"Ya"

"Mata empat"

"Apa?"

"Mata empat"

"Dalem"

"Mata empat"

"Iya mas"

"Mata empat"

"Apa sih beb?"

"Ya udah"

"Dasar annoying"

"Cuma kangen"

"Apaan?"

"Beneran"

Lagi, aku dibuatnya kesal lagi. Tapi ya gitu, aku tak pernah berhasil mengendalikan diri. Aku selalu ingin menjadi jawaban atas apa yang menjadi pertanyaannya, aku selalu ingin menjadi sesuatu yang melengkapinya.

"Udah ga sedih lagi nih ceritanya"

"Enggak. Kan udah berhasil bikin kamu kesel"

"Mas....."

"Enggak sayang, bercanda kok"

"Alhamdulillah. Emang kudu begitu. Cowok emang kudu tegar, nggak boleh cengeng. Jangan sedih lagi ya beb. Ntar kalo kamu sedih, aku, bunda, dan semuanya ikutan sedih gimana dong? Ikhlasin aja, insyaallah ayah udah tenang di alam sana"

"Sendiko dawuh nyai"

"Aku ngomong beneran tau beb"

"Iya paham. Insyaallah, abis ini aku ga akan sedih lagi"

"Aku cuma bisa ngingetin beb, maaf belum bisa lebih"

"Udah kok beb, udah lebih dari cukup. Makasi ya"

"Bunda lagi apa beb?" kataku menggeser topik

"Lagi kruntelan di ruang sebelah sama adek. Tadi udah seharian kruntelan sama aku, sekarang gantian"

"Ihh pengen ikutan"

"Sini sama aku aja. Kalo sama mereka engap, kan mereka berbanyak"

"Nonononono"

"Wkwkwkwk"

Suasana rumahnya sudah agak sepi, mungkin karena baru saja magrib. Jadi para tamu mungkin menunggu waktu untuk datang setelahnya. Atau memang kebiasaan di tempat kami yang berbeda.

"Beb"

"Apa sayang?"

"Udah ga sedih kan?"

"Insyaallah"

"Kamu ga mau cerita ke aku tentang ayah beb?"

"Cerita apa?"

"Ayah sakit apa beb?"

"Ayah pergi abis subuhan berjamaah pagi tadi. Ayah yang imamin, pas tahajudan juga. Sebenernya ayah sakit parah, udah lama, dan ga ada yang ngasih tahu aku. Ayah juga kelihatan baik-baik aja setiap ketemu sama aku. Kaya biasa gitu, aku ga nyangka ayah sepintar ini biar buat aku ga khawatir. Aku sempet marah ke bunda dan ke semuanya. Kenapa harus ditutupin dari aku coba?" katanya panjang.

"Masyaallah ayah. Mereka ga mau kamu khawatir beb. Udah ah marahnya. Ya?" kataku menenangkan.

Lagi lagi aku tersentuh. Entah energi apa yang baru sampai kepadaku, di tempatku merebah sekarang aku hanya membayangkan sosok ayah yang begitu hangat. Ah lelaki itu, kenapa harus pergi secepat ini. Aku juga menjadi menggebu-nggebu membayangkan berada diantara keluarga tuan. Bersamanya, bersama bunda, saudara-saudaranya. Hei, kapan kita benar akan bertemu?

"Tapi kan?"

"Tapi kan kamu juga sering kaya gitu. Enggak jujur ke bunda sama ayah. Kemarin kamu jatuh diem aja kan? Banyak juga kan yang kamu tutupin ke beliau?"

"I iya hehe"

"Adil kan? Udah ah. Aku ga mau denger kamu kesel lagi. Jelek taukk"

"Iya, insyaallah"

"Jadi telpon semalem pas kamu pamit pulang itu gara-gara ini?" kataku menebak

"Sebenernya enggak si. Bunda beneran cuma bilang kangen dan minta aku pulang. Bahkan bunda ga bilang apapun ke aku, termasuk soal ayah. Sebenernya aku cuma ngikutin kata hati aja si, tapi ternyata ya begini kenyataan yang harus aku hadapi"

"Allahu akbar beb. Kebetulan yang sangat indah. Ya udah, kamu istirahat gih. Aku tutup telponnya ya" kataku pamit

"Lhah, udahan nih kangennya?"

"Hah, aku cuma khawatir ya. Seharian ga ada kabar ih" kataku terheran

"Hehe, ntar aku beliin burger kesukaanmu deh, biar aku dimaafin kamu"

"Wegah. Tapi kalau kamu beliin tiket umroh bisa ku pertimbangkan si. Hehe"

"Insyaallah, doain aku terus ya sayang"

Adzan isya' berkumandangan. Aku memutuskan akan menutup panggilanku dan menyelesaikan kewajibanku kepada Rabb-ku. Mukena yang masih hangat menyelimutiku dari semenjak magrib tadi aku lepas dan kemudian aku bergegas menuju sebuah keran di sisi kanan kamarku. Rasanya baru sebentar berdialog dengannya, padahal sudah lebih dari setengah jam. Mungkin memang benar kata orang-orang, cinta selalu membawa suasana yang berbeda. Haha.

"Insyaallah. Isyaan dulu yuk, disini udah adzan" kataku

"Doain ayah ya beb. Doain biar bisa ketemu kita di surga"

"Bentar deh, emang kamu bakal masuk surga beb? PeDe sekali anda?"

"Tergantung"

"Kok?"

"Tergantung gimana kamu jadi istri lah. Kalau kamu banyak dosa ya nasib" katanya meledek.

"Naudzubillah. Enggak. No. Jangan" kataku ketakutan

"Wkwkwk makanya, jangan nakal"

"Insyaallah beb. Ya udah tutup telponnya. Udah di tunggu ayah tuh"

"Ayah? Nunggu? Nunggu siapa beb?"

"Nunggu doa dari anak lelakinya yang sholeh. Buruan sholat"

"Hahaha cah lucu. Ya udah, assalamualaikum mata empat"

"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh (Tuan)"

Dan setidaknya malam ini aku sudah mendengar suara Tuan. Setidaknya apa yang seharian menjadi tanda tanyaku sudah terjawab. Lega rasanya, aku pikir tidurku malam ini akan nyenyak.
Aku tidak tahu bagaimana skenario hidup yang dibuat-Nya untuk Tuan. Tapi setiap aku ulangi cerita ini dari apa yang sudah terjadi mulai dari semalam, rasanya begitu indah. Seperti sebuah kebetulan, tapi benar inilah takdir-Nya.

Ayah, ayahku yang sudah lebih dulu berpulang kepada-Nya. Selamat malam ayah, terimakasih sudah pernah menjadi bumbu-bumbu sedap disela-sela percakapanku dengan anak lelaki ayah. Anak ayah lucu, tapi biasa aja. Enggak seganteng Kenny Austin di sinetron "Cahaya Terindah" yang hampir tak pernah ku lewatkan setiap sore. Tapi ayah, dia selalu bisa membuatku senyum-senyum sendiri meski harus kesal juga. Ayah, apa ayah selucu anak ayah itu? Ah ayah, harusnya ayah bercanda dulu denganku barang sekali atau sekian kali. Tapi ya sudahlah, sepertinya ayah lebih sayang ayah.

Sampai jumpa di surganya Allah ayah. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa ayah, menerima amal ibadah ayah, mengindahkan alam kubur ayah, dan menempatkan ayah disisi terbaik-Nya. Aku sayang ayah.

--------------------------------------------------------

Salam Literasi

Sabtu, 17 Agustus 2019

Diantara Makkah dan Paris

Malamku dingin, ditemani dengan gelap yang menerangi. Ku tatap bulan purnama malam ini, sambil ku sampaikan beberapa sajak kerinduanku untuknya. Kekasihku yang sedang dalam perjalanan menujuku. Kedua mataku sejenak terpejam. Ku rasakan dekap yang semakin menghangatkanku.
Dia datang, kekasihku datang. Dia ada dihadapanku. Membelaiku dan memelukku dengan cinta dan kasih sayang yang dimilikinya untukku.

"Hai mata empatku" katanya berbisik

Dan aku mulai membuka kedua mataku. Tanganku seperti merengkuh. Tapi kosong, kekasihku pergi barang sekedipan mata.

"Ah harusnya tadi aku tidak berkedip" kataku menyesal.

Kemudian aku kembali menatap langit yang dihiasi oleh cahaya bulan purnama. Malam itu dia terlihat sangat cantik. Aku sampai takut tersaingi.

......intro sebuah lagu tiba-tiba berbunyi..... 
"lekuk indah hadirkan pesona, kemulyaan bagi yang memandang............ " sebuah panggilan masuk yang sengaja ku atur menggunakan  mode getar lengkap dengan nada dering lagu "Karena Wanita" karya Ada Band membuyarkan lamunanku.

Senyumku melebar. Mataku berbinar dan hatiku seketika bahagia. Ponselku berdering, sebuah nama terlihat dilayar gelap yang tiba-tiba menjadi terang seketika.

"Assalamualaikum....... beb" kataku setelah menggeser simbol hijau dilayar ponselku.

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh mata empatku" katanya membalas.

Rasanya seperti mimpi. Sekian detik sebelum ini aku tak pernah berpikiran ponselku akan seberguna ini. Dia apalagi, aku sudah merelakan menjadi yang kedua setelah pekerjaannya. Tapi tidak begitu dengannya, setiap aku bilang begitu dia selalu memarahiku.
Oh tidak, dia lembut. Semarah apapun dia, ucapnya selalu menenangkanku. Dan setiap begitu, aku selalu bicara dengan diriku sendiri bahwa aku adalah wanita yang paling beruntung yang diijinkan memilikinya, aku harus menjaganya, dan aku harus jadi terbaik untuknya. Iya, semoga saja aku bisa.

"Beb, kok lagi nelpon si? Sibuk banget ya hari ini? Kamu udah makan kan? Udah sholat belum? Bunda udah ditelpon?" kataku tak henti.

"Hei, aku tahu kalau kamu kangen, tapi tanyanya satu-satu dong sayang. Aku kan bingung jawabnya" katanya membalas.

Aku selalu begitu. Ditakdirkan tumbuh menjadi pribadi yang cerewet membuatku sering keblabasan dalam bertanya. Bukan bermaksud posesif kepadanya, aku hanya ingin memastikan keadaanya saja. Walapun akhirnya aku jadi tidak enak hati karena sudah membuatnya tidak nyaman di awal percakapan yang sudah seharian aku tunggu.

"Iya, maaf beb" kataku menyesal.

"Iya sayang. Aku sibuk, baru aja kelar makan, isyaan udah, subuhan belum. Abis adzannya ku tunggu-tunggu ga nyampe-nyampe si. Hehe" katanya melucu.

Dia selalu berhasil mengalihkan penyesalanku. Aku tertaw kecil mendengar ocehannya. Aku tahu dia selalu berusaha menjadikanku baik-baik saja dan juga selalu nyaman berada di dekatnya. Oh Allah, aku ingin selamanya begini.

"Bunda?" tanyaku

"Bunda sehat kok" jawabnya

"Bukan itu. Kamu udah nelpon Bunda kan?"

"Udah dong. Baru aja kelar, makanya aku telat nelpon kamu"

"Iyalah, tau diri aja akutuu" kataku minder.

"Bundaku tetep akan jadi nomer satu, meskipun kita udah nikah kan beb?"

"Iya beb, kamu bener. Dan jangan lupa aku yang kedua, anak perempuan kita akan jadi yang ketiga, saudara perempuanmu urutan setelahnya, dan cukup. Aku tidak ingin ada yang lainnya. Aku ingin jadi istri satu-satunya. Ingat ya" kataku panjang.

"Insyaallah. Semoga Allah kasih istiqomah ya" katanya.

"Harus. Harus beb" kataku dengan nada memaksa.

Aku sering ketakutan membicarakan ini. Berulang kali aku mencoba menepis, berulang kali aku coba membuang ketakutan ini dan berulang kali pula aku menangis, memeluk ketakutanku sendiri.
Besar dengan rasa trauma menjadikanku lemah dalam hal ini. Aku takut menjadi yang menciptakan kekalutan di diri anak-anakku kelak. Aku tidak mau apa yang aku alami terjadi pula di anak-anak ku. Sakit ini biar aku yang rasa, anak-anakku biar tinggal bahagianya saja.

Aku selalu meronta kepada Allah, agar kelak aku bisa dipertemukan dengan orang terbaik yang bisa mengobati luka masa laluku dan kemudian menjadi sumber bahagiaku juga anak-anak ku kelak. Aku ingin apa yang aku impikan dimasa kecilku bisa terwujud, meskipun bukan aku lagi yang menjalani, melainkan anak-anakku. Aku ingin memberikan kebahagiaan yang penuh kepada mereka, termasuk melihat ayah ibunya bahagia bersama. Ya, semoga kekasihku akan benar-benar menjadi orang yang tepat untuk membantuku mewujudkan itu.

"Bunda bilang titip salam buat calon mantu" katanya kepadaku.

"Beneran apa boongan neh?" kataku memastikan.

"Apapun yang berkaitan sama Bunda insyaallah bener sayang"

Bunda. Wanita itu, calon ibuku. Aku selalu berharap kelak ketika waktu itu benar-benar tiba, aku ingin sekali menjadi dekat dengannya, menjadi putri kesayangannya dan bersama-sama menjadi sumber bahagia untuk putranya, lelaki yang telah menjadi kekasihku.

"Mata empat"

"Iya mas"

"Bulannya bulet banget, kek mukamu pasti kan?"

"Apaan sih mas? Nggak lucu tauk"

"Masih badmood nih ceritanya?"

Aku selalu begini. Memanggilnya dengan sebutan mas ketika suasana hatiku sedang kacau. Dia juga, hanya memanggil namaku ketika suasana hatinya sedang kacau. Perubahan itu seperti menjadi tanda bahwa kami sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Tapi kami akan kembali menggunakan panggilan sayang ketika suasana hati kami sudah sama-sama kembali membaik. Kami tak keberatan, setidaknya tidak ada kata kasar yang terucap diantara kami.

---------------------

Dan sementara itu, aku masih diam, masih bingung dengan perasaanku sendiri. Rasanya tidak enak hati, aku yang berfikiran begini, tapi dia yang harus menerima kekacauanku ini. Oh tuan maafkan aku.

"Mata empat"

"Iya beb"

"Alhamdulillah"

"Apa? Bentuk bulannya beneran sama kek mukaku ya?"

"Bukan sayang, alhamdulillah karena kamu udah manggil beb lagi. Aku kangen"

Aku hanya tersenyum sambil terus mengucap syukur. Malam ini, ada bunga yang mekar begitu indahnya di dadaku. Lelaki itu, bisakah selamanya begini? Dan sebenarnya aku selalu menanyakan ini kepada diriku sendiri, meskipun akhirnya tak pernah ada jawaban yang pasti. Meskipun akhirnya hanya ada sekian kalimat penenang yang sebenarnya ku buat sendiri untuk kegundahanku ini.

"Mata empat"

"Dalem"

Wong jowo, kejawennya kumat. Sebenarnya aku dan kekasihku ini sangat lancar berbahasa jawa, tapi entah kenapa setiap kami berdialog selalu bahasa persatuan yang kami pakai. Mungkin akan jadi berbeda ketika kami sudah memiliki anak. Bagaimanapun juga mereka harus familiar dengan bahasa asal ayah ibunya. Kakek dan neneknya dan semua saudara-saudaranya tidak boleh kerepotan ketika berdialog dengan mereka.

"Kalau Allah kasih kesempatan, kamu mau aku ajak kemana beb?" katanya mencoba mengalihkan.


Picture by : Pinterest
"Aku ingin ke Paris. 'The City of Lights'. Aku ingin berjalan berdua denganmu, menikmati segelas greentea hangat, menyaksikan sunrise dan senja yang berganti peran, lalu menari bersamamu di bawah menara eiffel. Aku juga ingin menikmati pameran karya seni, dan merapalkan banyak ingin di jembatan harapan. Aku ingin merasakan romantisme kota itu. Pasti menyenangkan, ya kan beb?" kataku menjawab.

Ya benar, Paris adalah kota impianku. Sejak dulu, sejak umurku masih abege, sejak seragam sekolahku masih putih biru. Romansa romantisme yang aku saksikan setelah membaca dan menyaksikan kisah orang-orang, membuatku menaruh banyak harapan untuk bisa sampai ke sana.

"Tapi aku tidak ingin mengajakmu kesana sayang" katanya.

"Tapi kan......." kataku memotong

Picture by : Pinterest
"Kita ke Makkah dulu ya. Kita ibadah bareng di sana. Berjalan berdua mengelilingi kakbah, merapalkan banyak doa untuk kita dan keluarga, dan melakukan apa saja berdua.
Aku tidak punya hal-hal romantis seperti yang barusan kamu sebutin. Tapi beb, insyaallah kita akan tetep bahagia bersama di sana" katanya melanjutkan.

Malamku tiba-tiba hening. Aku diam. Menimbang antara Paris dan Makkah.  Dia benar, rukun islamku sudah seharusnya dilengkapi lebih dulu. Oh Allah setiap bersamanya rasanya surga-Mu semakin dekat. Mungkinkah dia benar-benar jawaban atas doa-doa panjang yang tak pernah henti ku panjatkan kepada-Mu?

Dan entah kapan akan benar-benar sampai ke sana, tapi semenjak itu Paris telah menjadi kota impian urutan kedua setelah Makkah.

"Aamiin Ya Rabb" kataku mendukung.

"Kamu mau kan?" katanya memastikan.

"Insyaallah beb" kataku mengiyakan.

"Semoga Allah mengijabah ya"

"Aamiin ya Rabbal Alamiin. Tapi beb........"

"Iya, tapi apa?"

"Aku ingin juga ke Paris. Kita akan kesana juga kan?" kataku agak memaksa.

"Iya, insyaallah. Setelah selesai ke Makkah ya sayang. Semoga Allah kasih rezeki ke kita" katanya.

"Keliling Indonesia juga kan beb" kataku menambahkan.

"Iya calon istriku yang ternyata banyak sekali mimpinya. Semoga aku akan jadi yang beruntung yang bisa bantu kamu mewujudkan mimpi-mimpimu ya"

"Haha maaf ya beb"

"Nggak papa, biar aku tambah semangat kerja juga. Makasih ya"

Dan malamku berakhir dengan dialog indahku bersamanya, kekasihku, calon imamku, calon penanggung jawabku, ayah dari anak-anakku. Semoga Allah mendengarkan cita-cita luhur kita.

Dan aku mengucapkan selamat malam kepadanya diujung malam itu, lengkap dengan terimakasih atas impian besar yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku.
Dia membalas ucapanku dan menambahkan beberapa kecup jauh yang berhasil menidurkanku malam itu. Dan aku terlelap bersama dengan sisa kenanganku dengannya.

-------------------------

Malam ini aku bertemu kembali dengannya, lewat dialog lama yang kembali singgah diingatanku.  Satu per satu layar berganti dan menyajikan chat lamaku dengannya. Aku tersenyum, kemudian bersedih, dan beberapa kali menangis. Beberapa doa juga aku titipkan untuknya, untuk bunda, juga untuk mimpi-mimpi yang sempat terabaikan. Lantunan Al-Fatihah yang ku ucapkan dengan cukup lantang ini, semoga akan sampai kepada mereka semua yang aku sayangi.

Malam ini aku merindukannya. Dan sembari mulai memejamkan kedua mataku, tanpa sadar aku mulai berbisik lirih.

"Tuan, jadi kapan kita berdua anak benar-benar kesana?" kataku entah kepada siapa.


__________________

Salam literasi


Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....