Jumat, 25 Oktober 2019

Si Cantik, Penghuni Balkon Lantai Atas

Aku baru saja sampai di depan gerbang kosku. Seseorang memanggilku "Hai phen".

Seorang perempuan sebayaku melambaikan tangan dari balkon lantai paling atas. Dia berdua dengan teman sekamarku. Mereka tersenyum kepadaku.

"Oh hai mak" kataku.

"Tunggu, aku butuh bantuanmu. Sebentar, aku turun" katanya tergesa.

Elma (begini aku memanggilnya akrab) berjalan setengah lari menuruni anak tangga menujuku. Rahma (teman sekamarku) masih memandangiku sambil tersenyum dari atas balkon.

"Rapi sekali. Mau kemana dia?" kataku membatin.

Elma baru saja membuka gerbang kos dan berlari ke arahku "Antarkan aku ke Tembalang Stationary ya phen. Ada yg ingin ku beli disana".

"Oke, ayo cuss" kataku.

"Sebentar, aku kunci gerbang dulu" katanya.

Aku memutar arah motor dan kami berdua berangkat. Waktu itu sudah sore, bahkan menjelang magrib. Kebetulan hari itu kuliahku masuk siang, jadi sore baru selesai. Maklum, kuliah di Politeknik jauh berbeda di Universitas. Jam kuliah sama saja seperti jam sekolah anak SMA. Aku hampir tidak menemukan perbedaanya, kecuali statusku yang semula siswa menjadi mahasiswa. Haha.

"Rahma mau kemana mak?" kataku kepo.

"Rahma? Dia belajar di kamar. Besok ada kuis katanya" jawabnya.

"Bercanda kamu mak. Tadi dia di balkon bareng kamu. Rapi banget, ku kira mau kemana" kataku heran.

"Ada tuh kamu yg ngelawak. Aku di balkon sendirian yo, Rahma belajar di kamar. Aku dari sana sebelum meneriakimu" katanya panjang.

"Enggak yo, tadi dia di sampingmu tauk mak. Senyum-senyum gitu ke aku, mana cantik banget lagi" kataku ngeyel.

"Ya Allah phen, ngapain aku boong si" katanya menyerah.

"Lhah terus tadi yang aku lihat siapa dong mak?" kataku bertanya-tanya.

"Jangan-jangan.........." katanya menggoda.

"Stop, diam kau" kataku ketakutan.

"Hahaha enggak enggak phen, bercanda tauk"

Tak butuh waktu lama untuk sampai di tempat yang Elma maksud. Dia masuk sendiri ke Tembalang Stationary, sedangkan aku memutuskan menunggu di parkiran sambil terus mencari jawaban atas pertanyaanku tadi.

"Dihh, kalau bukan Rahma jadi siapa tadi yang ku lihat?" kataku sebal.

Elma kembali setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan. Beberapa lembar kertas berwarna, spidol, dan alat tulis apa entah. Dia memang suka sekali berkreasi dengan kertas-kertas berwarna kesayangannya. Kamarnya ramai sekali, madingnya apalagi. Andai kamarku adalah kamar yang ku tempati sendiri, akan ku buta kamarku lebih ramai dari kamarnya.

Dari Tembalang Stationary, kami langsung pulang. Dia membuka gerbang setelah kami sampai di depan kos dan aku memakirkan motorku. Setelah terparkir, aku langsung naik menuju lantai paling atas. Kamarku ada di lantai 4 paling pojok, di dekat dapur. Kamar paling luas yang menjadi kamar satu-satunya di kosku yang dihuni sekamar berdua.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam, tumben udah pulang phen?" tanyanya.

"Semprul lu. Eh bear, kamu tadi di balkon rapi amat mau kemana emang?"

"Di balkon? Enggak. Aku di kamar dari sejak pulang kuliah"

"Seriusan? Gak boong kan?" kataku ketakutan.

"Yoi, pusing tauk besok ada kuis" katanya sambat.

"Terus tadi yg aku lihat siapa dong bear? Perawakannya cantik, rapi, lemu, senyumnya duh, mirip kek kamu. Seriusan" kataku menjelaskan.

"Halu kamu phen"

"Asemm ya, seriusan tauk bear, kamu gak percaya?"

"Bukannya enggak percaya pear, tapi emang aku dari tadi di kamar dan enggak kemana-kemana"

"Ahh tauk ahh"

Dia tersenyum, dan aku pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Jadi siapa yg ku lihat tadi?" kataku menggerutu. Bulu kudukku berdiri mempertanyakan ini.

"Kenapa tho dek?" tanya seseorang.

Aku akrab memanggilnya dengan nama Mbak Vio. Mahasiswa jurusan sipil universitas sebelah yang lebih tua 2 tingkat diatasku. Kamarnya disebelah kamarku persis, aku sering berbagi cerita sama dia, tapi sepertinya belum tentang ini.

"Masak nih ya, tadi pas aku baru sampe depan kos kan Elma manggil aku dari balkon ya mbak ya. Nah aku tuh liat Rahma juga disampingnya dia. Mereka berdua senyum tuh ke aku. Terus aku nganter Elma ke Tembalang Stationary. Pas diperjalanan aku tanyalah ke Elma, "Rahma mau ke mana mak, kok rapi banget?" Eh kata Elma malah Rahma di kamar lagi belajar. Padahal nih jelas-jelas aku tuh liat Rahma disampingnya Elma, mana dia cantik banget tauk mbak." kataku panjang.

Mbak Vio ketawa sambil meniriskan tempe goreng buatannya. Aku masih kebingungan dengan semua yang terjadi. Ahhh ada apa dengan hari itu?

"Kok kamu malah ketawa si Mbak?" tanyaku kesal.

"Enggak papa, lanjutin ceritanya"

"Iya gitu, terus kan aku kepo ya mbak. Sampe kamar aku tanya ke Rahma, eh dia bilang dia emang dari pulang kuliah di kamar, belajar. Lhah, terus yang aku lihat tadi siapa dong mbak? Masak iya aku halu?" kataku merendah.

"Wkwkwk kamu ada-ada aja dek."

"Ihh merinding tauk mbak"

"Udah biasa aja. Embaknya emang lagi pengen ngelihatin wujudnya ke kamu paling" katanya memulai cerita.

"Ih seriusan mbak? Nggak usah nakut-nakutin deh ah. Nggak lucu taukk" kataku sebal.

Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah panikku. Kemudian Mbak Vio mulai menjawab semua pertanyaanku.

"Di lantai atas emang ada semacam penunggunya dek, lebih disekitaran tempat jemuran tapi." katanya singkat.

"Mbak Vio emang bisa lihat kaya gituan?"

"Cuma bisa ngerasain hawanya aja si, enggak mau juga lah ngelihat yang begituan. Mending nggak usah. Haha"

"Bentar-bentar, di jemuran mbak? Jadi kalo aku nyuci malem-malem? Kalo aku pas pulang tengah malem? Ihhh serem" kataku sambil membayangkan.

"Iya, kamu ditemenin embaknya (mungkin)."

"Ihh mbak Vio rese ih" kataku sambil mencubit lengannya.

"Enggak-enggak dek, embaknya baik kok. Emang lagi pengen nongol aja kali tuh. Haha" katanya tertawa.

"Udah ah mau mandi. Mbak Vio jangan kemana-mana ya, tungguin aku sampe kelar." kataku sambil menuju kamar mandi.

Tidak ada cerita lanjutan tentang siapa sosok yang menampakkan dirinya mirip Rahma tapi lebih cantik itu. Mbak Vio tidak tahu dan tidak mau menanyakan tentang siapa sosok itu kepada teman ngobrolnya di kos, sebelum aku dan Rahma ada disana. Tapi dia bilang, embaknya baik hati, selagi kita enggak ngganggu. Sebenarnya sebelum kejadian itu memang tidak pernah ada kejadian apa-apa.

Mungkin hanya kebetulan atau mungkin memang benar kata mbak Vio, sosok itu sedang ingin menampakkan dirinya ke hadapanku. Untungnya pas nampak pas lagi cantik pake banget. Nggak kebayang gimana rasanya ngelihat yang wujudnya absurd kaya yang kebanyakan orang ceriatin.

Tapi ya kenapa harus aku? Entahlah.
.
.
(Sebuah cerita pendek yang terjadi sekitar tahun 2015 di sebuah kos kelas menengah yang berlokasi di belakang Stove Sindicate, Ngesrep Timur, Tembalang, Semarang)

Senin, 21 Oktober 2019

Kepada Entah yang Gemar Menjelma

Picture by : Google
Hari ini secerah hari-hari lalu. Langit menyapa dengan sangat biru. Udara sejuk suasana pegunungan menyegarkan jiwa-jiwa yang terbangun dari mimpi semalam. Kupu-kupu berbalut mahkota berwarna biru terbang menuju kembang mawar merah yang mekar di halaman kantor. Seunting senyum terlukis indah di bibir mungil seorang perempuan berwujud aku.

Tak lupa yang ku ingat selalu, panjatan rasa syukur yang begitu besar kepada Rabb-ku, Dzat Yang Maha Segalanya. Kepada-Nya aku tak henti berharap, memupuk banyak kata semoga meski memaksa diri pasrah terhadap takdir yang dipilihkan-Nya untukku yang hanya sebatang kara.

Burung-burung ramai menari. Di atas langit, atap duniaku yang begitu luas itu. Di luas alas sebuah pandang yang silau membiru, mereka berbondong-bondong, bersuara gaduh seperti ingin mengabarkan sesuatu. Pandangku rancu, kosong, jiwaku seolah pergi meninggalkan raga yang melemah ditinggalkan kekasihnya. Senyumku hilang, terbawa terbang burung-burung yang tak ku ketahui jenisnya itu.

"Ada apa gerangan?" kataku berbisik pilu.

Kepalaku terasa berat. Ku rebahkan perlahan. Ku pejamkan kedua mataku sekejap, tapi tiba-tiba basah. Air mataku luruh tanpa terasa. Tanganku bergegas menyeka, aku tak ingin ada siapapun mempertanyakan penyebabnya.

Sebuah lagu mengalun indah menemani lamunanku di siang yang sepertinya terik ini. Aku bahkan tak benar-benar merasakannya. Suasana ruang kerjaku terlalu nyaman untuk ku tinggalkan demi sekedar memastikan ini. Aku melanjutkan rebahku.

Air mataku kembali luruh, kali ini tak hanya kedua mataku yang basah karenanya, bagian wajah sebelah kiri juga meja kerjaku ikut larut menikmatinya. Aku menangis kecil, meratapi apa entah. Bibirku tak henti bergumam. Lafadz Lahaulaawalaaquwwataillabillahil'aliyiladzim tak berhenti ku ucap semenjak kedua mataku ku pejamkan paksa. Setidaknya ini adalah bentuk pasrahku kepada Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Mengetahui Segalanya.

Seorang perempuan seumuran denganku melintasiku dengan sumringah.

"Aku sedang rindu, tapi aku tak tahu untuk siapa itu" kataku spontan.

"Hah, gimana?" katanya tersedak. Air putih dimulutnya tumpah, aku hampir saja ikut menikmatinya.

"Aku sedang rindu, tapi aku tak tahu untuk siapa itu" kataku mengulang. Aku bahkan tak berganti posisi sama sekali dari posisiku sebelumnya.

"Dihh aneh" katanya heran.

"Hahhhaa" sahutku sambil tertawa kecil.

"Ada tuh kalo kangen ya tahu siapa yang dituju kali pen" katanya menjelaskan.

"Kata siapa? Aku enggak tuh" kataku ngeyel. Kali ini aku mengangkat kepalaku dan mulai membenahi posisi dudukku.

"Lhah terus?"

"Ya aku nggak tahu. Gini aja, ngalir kek air" kataku bingung.

Lalu perempuan itu pergi, kembali ke meja kerjanya dengan membawa segelas air putih yang baru saja diambilnya dari dapur kantor. Raut wajahnya mengundang sejuta tanya, sedang aku berlaku sebaliknya. Isi kepalaku mengundang sejuta jawab.

"Akan kepada siapa rinduku ini akan pulang?" kataku berbisik.

Dan aku sedang tidak ingin melakukan atau menginginkan apapun juga siapapun. Pekerjaan yang berbaris rapi dihadapanku sama sekali tak membangunkan gairahku untuk segera menyelesaikannya. Teh hangat di pojok kiri meja kerjaku apalagi, semut-semut mungil itu telah lebih dulu menikmatinya. Bahkan langit biru tak berhasil membujukku agar aku segera mengeluarkan ponsel kesayanganku, dan kemudian membuka fitur kamera lalu melakukan posting di sosial media. Untuk apa? Tak berguna.

Langit biru itu, ahh biar dia memandangiku dari jauh. Biar aku memandangnya lebih jauh, biar kami saling pandang dan saling bertemu diantara apa-apa yang mempertemukan kami. Karena jiwa yang satu akan saling bertemu. Begitupun aku dan langit biru itu. Tapi aku, apakah dia adalah jiwaku? Apakah dia adalah jawaban atas tanyaku? Atau apakah dia adalah saksi atas kerinduanku? Atau apakah, ahh harus berapa apakah lagi yang harus aku utarakan untuk menjawab ini semua?

Dan tidak ada yang menjawab, tidak ada yang bisa menjawab, juga tidak ada yang perlu menjawab.
Semua membisu.
Rinduku membeku.
Aku pilu.
.
.
.
(Kudus, Oktober 2019)

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....