Jumat, 07 Februari 2020

Ketika Kita Tidak Saling Menemukan (Lagi)

Kata kata telah rusak, tidak lagi berbentuk, dan tidak ada lagi yang sudi menjamah. Sebab perannya sudah berubah. Jelmanya telah berubah menjadi api yang saling membakar satu sama lain. Rasanya tidak ada lagi makna dari dialog yang mulai kehilangan rumahnya. Tembok-tembok telah meninggi. Aku merasakan sekat ini semakin ada dan menjadikan kita semakin jauh. Dadaku rasanya penuh, kepalaku pening, aku berjalan pasrah ke tempat biasanya aku merebah.

"Aku benci begini, aku benci jarak, aku benci diam, aku benci kehilangan, aku benci kamu yang tega melakukan, aku benci kita yang tidak bisa saling menemukan" kataku menggerutu.

Pintu-pintu semakin tertutup. Kita mulai kehilangan kewarasan, berteman dengan keheningan, dan mulai mencari pelampiasan lain agar tidak merasa kesepian. Tak ada lagi yang tersisa, meski hanya sekedar menyelesaikan ujung pembicaraan. Jiwa-jiwa kita mulai mati. Dan ya aku pikir kita layak disebut sekarat. Kita telah lebih dulu jatuh pada apa yang masing-masing menjadikan kita angkuh. Kita terjerat, kita tenggelam dalam lautan emosi yang berat.

Oh tidak adakah celah untuk kita duduk melingkar bersama, mengurai sekian tanda tanya, dan kemudian saling memperebutkan sesi untuk menjawabnya?
Tidak adakah lagi ruang di masing-masing hati kita yang sempat larut dalam satu kasih sayang yang sama ini?
Tidak adakah?
Hei.
Jawablah.
Aku mohon jawablah
Aku bertanya kepadamu.
Atau ya kepada siapa saja kalian yang telah sudi membaca ini.

Terlampau kering air mataku meratapi kehilangan ini. Kehilangan yang bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa kembali menemukan. Sudah lebih dari sekali, aku takut kita tidak bisa kembali lagi. Dan ternyata, masing-masing dari kita sudah lama pergi. Kita bahkan telah meninggalkan apa yang belum selesai di antara kita. Aku yang salah (ya mungkin), tapi kau juga (ya tentu saja), atau malah kita yang sama-sama tak mengakui itu? Ya, begini mungkin lebih tepat. Tapi apapun itu, harusnya kita tetap harus saling menemukan.

Setiap kita adalah petarung. Setiap kita adalah pemenang. Tapi seiring dengan itu, begitulah setiap kita, terlampau bahagia sebagai seorang pecundang yang tidak pernah mengakui kebenarannya. Aku begitu. Aku tidak pernah malu mengakui itu. Aku melakukan itu demi kebahagiaanku. Atau, hei, apa kau juga seperti itu? Haha dasar pecundang.


Hei, kenapa menjadi sesulit ini? Kataku ingin terus melaju, tapi melihatmu tidak lagi menjadikanku begitu. Aku tidak bisa begini. Bertahan dengan diam dan sekian banyak tanda tanya yang tergantung di kepala. Oh aku tidak sekuat itu. Aku tidak setuju dengan kemauanmu yang bersikap seolah-olah seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Bukan begini jiwa seorang pemenang. Pemenang sejati tidak pernah lari dari apa yang menjadikannya tidak enak hati. Dia bertanggung jawab. Dia rela melakukan apa saja bahkan ketika dia tahu bahwa dia harus terluka.

Aku menyadari ketidaknyamananmu. Aku menghargai caramu melindungi dirimu. Aku menghargai keputusanmu. Aku sadar kau berhak penuh atas hidupmu. Tapi aku tidak selalu suka caramu membungkus lika-liku yang datang di kehidupanmu.

Kita sama, berkemungkinan membahagiakan dan ya tentu saja sebaliknya. Kita sama, sudah sepatutnya saling mengingatkan. Kita sama, kita berhak atas apa saja. Kita sama, harusnya kita bisa duduk bersama, menceritakan semuanya, dan menikmati apa saja bersama.

Aku ingin kembali, menghidupkan rumah kita lagi dengan cahaya yang masing-masing kita punya. Aku ingin melihat air mata bahagia, senyum yang apa adanya, caci maki yang menjadikan masing-masing dari kita saling terbuka, juga rencana yang beberapa kali hanya jadi rencana. Aku ingin kembali dekat. Aku ingin segera pulang. 

Terbukalah, terbukalah duhai pintu-pintu rapuh yang sempat kehilangan kunci untuk membukanya.
Terbukalah, terbukalah duhai hati-hati yang sempat mati tanpa meninggalkan arti.
Terbukalah, terbukalah duhai ruang berfikir yang menjadikan jiwa-jiwa tuannya hangat dipeluk gengsi.
Terbukalah, terbukalah pintu surgaku.

Mendekatlah. Kembalilah. Cukupkanlah segala lelah yang sempat singgah di antara kita. Kita harus kembali. Kita harus memperbaiki jiwa kita. Kita harus mengulangnya. Ya tentu saja menjadikan setelahnya lebih baik dari sebelumnya. Lalu kemungkinan aku akan menjatuhkanmu dan kamu akan menjatuhkanku. Ya tentu saja, kita terpaksa harus menikmatinya (jika ternyata harus ada).
Kita harus saling menemukan.
Kita harus bahagia.


2 komentar:

  1. Bahagia pasti akan datang, di suatu hari nanti yang kita sendiri tak menduganya. Tapi karena keterbatasan kitalah sehingga tak mampu memprediksikannya. Yang jelas semua akan terjawab oleh waktu.

    BalasHapus
  2. Oh nice "kita harus saling menemukan.
    Kita harus bahagia"

    BalasHapus

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....