Angin malam masih sama, berhembus kemana-mana dengan kondisi yang sama. Dingin, begitulah rasanya semenjak sore tadi. Sekarang aku sedang berada di tepi jalan, sedang menikmati sushi dan segelas green tea bersama gadis cantik teman masa kecilku. Dibatas kota kretek tercinta kami, kami sering berbagi apa saja yang kami punya. Uang, sepotong roti, isi novel, kisah, dan apa saja. Dia masih sama, perempuan, agak tinggi daripada aku, dan tidak lebih tua daripada aku. Hampir mirip, kami sama-sama memakai kacamata dan sering foto berdua dengan pose yang sama. Gaya bicara dan style baju juga hampir sama. Ya beginilah, gayaku sering ditirunya dan kadang aku juga melakukannya.
Malam ini adalah malam minggu pertama di bulan oktober. Seperti biasa, kami pergi bersama menuju salah satu sudut kota untuk sekedar menikmati makan bersama. Tidak ada yang istimewa, hanya makan saja. Tidak lama, hanya beberapa jam saja. Pun tidak jauh, hanya di dalam kota saja.
Sekarang giliran aku yang mentraktir dia. Minggu lalu sudah dia, aku pikir aku harus tau diri, jadi kali ini aku tidak mau merepotkannya. Kebetulan beberapa waktu yang lalu gaji bulanan sudah masuk ke kantongku. Kebetulan jalan-jalan kali ini juga sudah masuk agenda, jadi anggaran dana sudah terancang dengan baik. Semoga keadaan tak membuatku khilaf berlebih.
Seperti biasa, kami beradu argumen sebelum akhirnya memilih tempat mana yang akan kami kunjungi.
"Jadi kita jadi kemana nih?" tanyaku memulai percakapan
"Terserah, aku manut laa" katanya pasrah
"Pilih gih, aku sedang ingin memberikan pilihan kepadamu" kataku menegaskan
"Hmmm ke sushi, ke ikki, ke jank-jank, kfc, sumur apa kemana ya?" katanya
"Terserah, kang ojeknya sekarang kan kamu. Pokoknya sekarang aku sedang tidak ingin memilih. Titikk"" kataku lagi
"Ya udah deh, ayo naik" katanya
"Jadi kemana emang?" tanyaku
"Naik aja dulu, nanti juga tau
Akhirnya kami berangkat tanpa tau tujuan. Tidak hanya sekali, kami seperti ini berkali-kali dan tetap pulang dengan kondisi yang menyenangkan hati. Ada saja yang menyatukan kami, padahal sangat banyak perbedaan diantara kami. Keluarga, teman, pendidikan, kerjaan, masa depan dambaan dan apa saja. Aku banyak merasa beruntung daripada dia dalam beberapa hal, tapi kadang aku juga merasa tak seberuntung dia. Dia sama, merasakan yang sama sepertiku, tapi dalam hal yang lain.
Kadang kami saling menertawakan keluhan kami masing-masing. Dia mengeluh aku ketawa, aku ketawa dia mengeluh. Ya begini ini, harus ada yang mempu menampung keluh. Aku bersyukur, masih diamanahi untuk bisa memilikinya. Dia hanya satu di dunia, tidak ada duplikat dan tidak bisa diduplikat. Tapi dia bisa bekembang biak. Kelak akan ada ponakan-ponakan sholeh sholehah yang akan dia persembahkan untukku. Anak-anaknya akan menjadi keponakanku dan aku akan memiliki peran sebagai bibi.
Terlalu banyak yang aku anggap bukan apa-apa dari ceritanya daripada apa saja yang pernah aku alami. Setelah melewati garis takdir sampai detik ini, aku merasa menjadi sangat kuat apalagi hanya sekedar menghadapi ini itu. Allah telah mengajarkanku sesuatu, bahwa tidak ada yang tidak bisa dilewati hamba-Nya selagi hamba itu mau berjuang dan menyerahkan segalanya kepada-Nya tanpa bertanya kenapa. Aku masih belajar bagaimana menjadi baik, menjadi pribadi yang lembut, berhati peri, dan menjadi hamba yang taat. Aku masih mencari pintu surgaku, aku selalu meminta kepada Rabbi supaya aku dimampukan menemukan beberapa cara untuk bisa berhasil ke surga firdaus. Jalan menuju surga tak terhitung banyaknya, aku ingin satu saja untuk bisa menuju sana. Ya, satu untukku, satu untuk Bapak, satu untuk Mamak, satu untuk Enang, satu untuk Suami, beberapa untuk putra putriku, dan beberapa lagi untuk sahabat surgaku.
Tidak banyak bahasan berfaedah yang kami bicarakan sembari mendengarkan keluhan masing-masing. Tapi selalu ada satu bahasan yang entah kenapa selalu kami bicarakan. Tidak sengaja, tapi selalu berjaya.
"Mereka kemarin piknik ke Bandung ya, rame banget, jadi pengen deh"
"Istigfar ehhh"
"Pengen ke Bandung lhoh, bagus, seger, ijo, adem, bagus deh pokoknya. Kamu si belum pernah hmmm"
"Ohhh kirain hahaha"
"Kirain apa? Bilang ke aku cepet"
"Nggak ah, takut kamu seneng"
"Woooo" (sambil nonyor helm dia)
Awal bahasan yang seru bukan? Bahkan tanpa menyebut inisial nama, kami sudah sangat mengerti dengan semua itu. Aneh, tapi ya begitu adanya.
Sekarang kami sudah sampai di Eijitai, tempat makan bermenu sushi kesukaan kami. Tidak mewah, tidak mahal, pun tidak mengecewakan. Tepi jalan menuju batas kota sangat memanjakan kami menikmati apapun yang ada.
"Bong"
"Oeeyyy"
"Gantengnya bong, lihat dong lihat"
"Paan seh? (belum noleh, masih asyik ngegame)
"Lihat dulu dong, keburu nyesel cepet"
"Nggak penting awas ya"
"Ketagihan awas ya"
Aku memalingkan pandanganku ke layar HP nya. Aku mulai tidak kuat menahan malu, aku mulai tertawa dan mulai melihat wajah illfellnya.
"Senyum-senyum wooooo"
"Rame cuy, pengen nyusul. Lihatin lagi dong akakak"
"Tuuu kan ketagihan kan hmmm"
"Ya Allah, aku tuu nggak kuat tahu. Nggak kuat buka sendiri, kuota ada tapi signalnya subhanallah"
"Alesan ya alesan"
"Kagak boss, beneran"
Aku butuh merayunya lagi, lebih dari sekali, dan harus bekali-kali. Tapi aku berhasil, aku menang, dan aku melihat postingan itu lagi. Ya, aku sudah lihai mengatasi ini semua dan dia sudah terlalu luluh dengan rayuanku.
"Cuy"
"Oeyyyy"
"Cuy"
"Hmmmm"
"Cuy"
"Apaan si bong?"
"Kamu ga kangen sesuatu?"
(Dia senyum-senyum sampe mringis) "Hmmmm"
"Oke stop, kesimpulan sudah ku ambil. Fiks kamu kangen"
"Idihhh kalau ngomong suka kebeneran sii"
"Ya dong. Aku gitu. Pengamat ulungmu"
"Ahhh i-bong sweet deh. Peluk dulu, sini peluk"
"No thanks, kamu bau polusi, jauh jauh luuu"
"Ya udah, aku meluk yang lain aja deh"
"Mau meluk siapa coba. Meluk tiang, apa meluk pohon? Haaaa?"
"Meluk kenangan terindah dong hahaha"
Kami tertawa bersama tanpa mempedulikan sesama dan mengkhayalkan sesuatu yang sama. Kalau ada kata-kata yang sering terkesan mempermalukan diri sendiri, itulah kami. Saling merendah diantara sesuatu yang rendah.
"Biasanya jam segini dia nelpon ya kan? Sambat capek terus minta di elus-elus jauh gitu"
"Biasanya jam segini dia cerita sama nanya seharian ngapain aja"
"Biasanya jam segini dia ngomongin masa depan sambil ngayal yang bukan-bukan gitu"
"Yang bukan-bukan katamu. Hmmm bener-bener-bener"
"Aku suka kangen diceritain tentang ayah bundanya, mereka lucu, sweett dan hmmm pokoknya buat aku jatuh cinta gitu deh. Sangat menginspirasi sekali. Andaiiiiiiii"
"Stopp aku tau yang ada di isi kepalamu. Stopp aku bilang stopp"
"Idih belum kelar mblo"
"Biarin mblo. Aku kangen ditenangin, dia dewasa, aku suka"
"Aku pernah kali ditelpon jam 3 pagi, dikecup-kecup keningku sampe aku bangun. Katanya "bangun beb, tahajuddan dulu gih". Aku udah melek padahal tapi aku belagak masih merem gitu, katanya lagi "besok nii ya, kalau dah beneran jadi istri, kamu aku bangunin nggak bangun-bangun, bakalan aku kecup sampe kamu bangun, terus kita tahajud bareng deh". Dan aku cuma senyum-senyum hmmmm. Baper uee baper"
"Udah bong, nggak kuat ngakak, udah"
"Akakak suka kebayang lagi, tapi suka sadar diri kalau ini cuma sebuah ilusi. Perih cuy perih"
"Masa lalu biarlah masa lalu"
"Bad voice. Diem luuu"
"Idihh jujur amat si"
"Biarin. Udah, abisin cepet"
"Kenyang bong. Bantuin"
"Segini kagak abis, hmmm sini deh aku bantuin. Tapi lain kali abisin sendiri ya, kecuali kalo kamu kekenyangan boleh minta bantuanku lagi"
"Yeeee maunya hmmm"
Akan ada bahasan yang sama. Seperti yang ku ceritakan, entah awal membahas apa, hembusan angin tetap mengarah kearah yang sama. Sudah mencoba menghindar, tapi rasanya berat, kami masih saja terjebak di kisah yang lama.
Hidangan pesanan kami sudah tinggal piring, sumpit dan gelas kosong. Kami beranjak pergi dari sana dan kemudian memutuskan untuk pulang. Angin tetap begini, berhembus kemana saja dan mendinginkan suasana.
"Ngomong-ngomong nih ya, kok kita jadi ngebahas ini lagi si?"
"Tau tuu, kamu si suka kangen hhhmm"
"Kamu tuu suka pasang umpan, kan aku jadi kepancing akakak"
"Bakal ada kisah lanjutan nggak ya kira-kira?"
"Insyaallah, aku bantu deh. Bantu doa akakak"
Kami saling memandang, saling menenangkan, saling menertawakan dan saling mendoakan. Sambil saling bully, sambil saling usil-usilan, sambil saling berpelukan. Ahhhhhh
"Kira-kira aku sama Mas itu bakal ketemu nggak ya cuy?"
"Insyaallah bong. Aku selalu doain kamu biar Allah ngasih kesempatan kalian ketemu. Kan kalau kalian ketemu, aku juga bakal ketemu sama Mas hmmm"
"Aamiin Ya Allah. Makasih lhoh cuy, kamu baik hati deh"
"Ya dong, siapa dulu dong temennya?"
"Akulah, siapa lagi coba"
"Kamu, iya kamu. Tapi bukan kamu"
"Bukan kamu tapi dia"
"Dah stop, mamakku dah di depan rumah tuu. Turun gih"
"Lhoh udah sampe ternyata, padahal baru aja merem"
"Merem sambil senyum-senyum"
"Sambil ngayal yang indah-indah. Masyallah nikmatnya"
"Udah stop, pulang dulu ya. Kapan-kapan ngayal bareng lagi"
"Oke deh, ati-ati temen ngayal"
"Assalamualaikum bong"
"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh cuy"
Kami melanjutkan khayalan kami masing-masing. Di ruang sendiri dan dengan diri sendiri sambil beteman amunisi pribadi. Sebotol minuman (air putih kadang, atau sirup, atau teh, atau apa saja yang ada di rumah) dengan ditemani ragam cemilan dan seduhan air mata sebagai simbol kepasrahan dan harapan.
"Ya Allah, ijabahlah doa hambaMu yang cantik ini Ya Allah, yang masih berlumur dosa dan mengharap dengan sangat penerimaan maaf dari-Mu"