Selasa, 31 Maret 2020

Sudah Pukul 2 dan Aku Belum Berdua

Diketuk, pintu keheningan terjaga. Suara tuan tampan menggema di kedua telinga. Membuka ruang-ruang bicara, tempat segala tanya berkelebat tanpa berkemungkinan menemukan jawabnya. Entah siapa gerangan, aku remang memandang dan tidak berhasil menemukan.

Pukul 2 dini hari aku bertanya-tanya. "Ada apa?"

Menatap foto-foto lama, dijawabnya. "Tidak ada siapa-siapa"

Mencoba hilang kembali, aku tenggelam. "Sudah pukul 2 dan aku belum berdua"

Sekotak harapan muncul dari ruang-ruang diri yang mulai enggan membuka pintu. Senyumku mengembang, mengiringi rapal doa sambil mengusahakan menangis. Semoga Yang Maha Mempertemukan segera mengijinkan.

Sepanjang waktu ku ketuk hatinya. Ku bisikkan lembut di kedua telinganya dari jauh. Sebuah tanya yang entah kapan akan ku dapatkan jawabnya. "Akankah benar kau orangnya?"

Merubah posisi tidurku, aku menatap jelas gambar dirinya di antara foto yang berjajar di dinding kamar. Tidak ada suara. ku tekan tombol kipas angin di nomor 2. Agak dingin, tapi aku menikmatinya. Aku baik-baik saja.

"Tidak apa-apa. Kau masih bisa menatap bulan sabit di kejahuan sana" kata pikiranku meraung dibenak yang enggan terbaca maksudnya.

Langit begitu biru, berbaur dengan gelap. Muram, membentuk keindahan bagi yang menganggapnya indah. Aku mencoba melupakan dengan memutuskan menghitung bintang-bintang. Satu, lima, seratus, tiga ribu, delapan puluh rib.... mataku berkedip. Aku hilang ingatan, angka terakhir tidak lagi terbaca. Akhirnya aku berhasil melupakan, tapi tidak dengan kemelut perasaan.

"Sejauh apapun kau, kedua mataku tak pernah bisa meninggalkanmu. Ku pandang apa saja yang ku pandang tentangmu. Sesuatu yang lama ku tahu, yang mulai ku tahu, dan tentu saja yang belum ku tahu." kataku kepada langit. Paras tampannya begitu hangat ku pandang. Aku suka memandang langit malam-malam.

"Sama seperti biasa, kau begitu tampan Tuan" imbuhku.

Satu rekaman setia menggema di kedua telingaku. Setiap malam suara nyaringnya membangunkanku. Berdering begitu syahdu di waktu malas seperti ini. Sering ku ulang, sampai habis replaynya. Dia begitu dekat, mendekapku didingin malam yang kadang menjadikanku enggan membuka mata. Kita dekat, tidak terhalang lagi oleh sekat.

"Andai kau benar ada di sini" kataku menyerah.

Kedua mataku hampir selalu basah setiap mengingatnya. Mengingat ketidakberanianku untuk bicara jujur kepadanya. Segalanya tentang cinta, tidak pernah menjadi mudah untukku. Andai dia tahu bagaimana rasanya, seperti memaksa menggenggam sebuah pisau tanpa penghalau. Tanganku berdarah, tapi aku tidak bisa begitu saja melepaskannya. Aku terjebak, dia telah menjadikanku terjebak. Bagaimana bisa? Dia bahkan tidak pernah melakukan apa-apa kepadaku. Aku ingin lupa, aku ingin lari dari ini semua. Menjaganya dengan cinta yang entah sampai kapan akan menjadi rahasia.

"Bagaimana caranya?" tanyaku.

Sajak-sajak usangku adalah teman setiaku. Rumah ternyaman untuk membicarakan apa saja tentangnya. Meski terlalu sering berantakan, membacanya berulang seperti sedang melalui jalanan panjang menujunya. Aku tak ingin berhenti. Aku ingin selalu merangkai aksara menjadi sekian banyak kata yang bahkan aku sendiri kadang tidak bisa memahami artinya. Sudah ku bilang sebelumnya, segalanya tentang cinta tidak pernah menjadi mudah untukku.

"Sudah hampir pukul 3 dan aku masih belum berdua" kataku mengingat yang tadi.

Putus asa ke berapa entah. Aku tersesat, berkerumun dengan ekspektasi yang semakin membumbung. Memupuk percaya terhadap apa-apa yang belum tentu nyata, aku malah semakin tidak percaya diri. Dingin sekali, aku keluar dari kamar mandi. 5 menit yang lalu aku memaksa diri beranjak dari tempat tidurku. Ketidakkaruan di dini hari selalu membawaku menghadap kepada-Nya, Dzat Yang Maha Memiliki. 2 rekaat sudah lebih cukup daripada hanya sekedar rebahan sambil mempertanyakan ketidakpastian. Oh tidak, aku ingin selalu datang dalam keadaan apa saja. Bahagia, sebaliknya, diantaranya, aku ingin selalu datang kepada-Nya. Aku ingin menjadi hamba yang tahu diri. Hanya itu, ya tentu.

"Sudah lebih dari pukul 3. Tak apa aku belum berdua, asal tidak berhadapan dengan corona" kataku diakhir doa.

Virus tak beradab. Menerobos ketahanan tubuh juga kecongkahan dan kecerobohan orang-orang yang dengan percaya diri bersikap abai terhadapnya. Datang tidak pernah permisi, menyakiti, dan tidak pernah merasa salah sampai sejauh ini. Entah sudah hari ke berapa. Sengaja, aku tidak menghitung waktu untuk sesuatu yang berhasil menjadikanku ketakutan akhir-akhir ini. Orang-orang sibuk mencari perlindungan diri. Beberapa saling melindungi, beberapa sibuk saling memaki, beberapa sibuk menuruti ego sendiri. Aku tidak tahu harus bagaimana, selain mawas diri. Tidak ada yang tahu akan menjadi seperti akhirnya. Kita harus melakukan yang terbaik demi bisa melewati ini semua. Kita bisa, kita akan bisa. Semuanya akan baik-baik saja.

Doa-doa terapal begitu riuh. Harap demi harap menemukan gilirannya untuk terucap. Mohon ampunan atas segala dosa, mohon kebaikan dunia dan akhirat, mohon sampai di surga dunia dan akhirat, mohon pertemuan dengan-Nya, dan mohon-mohon yang lainnya termasuk tentang cinta terpanjat begitu sungguh. Aku selalu merasa lega setiap berhasil melakukan ini. Seperti ruang-ruang di hati bersih kembali. Aku tenang sekali menjalani hari-hari.

"Cukup untuk malam ini. Besok kita ketemu lagi ya?" kataku sembari membereskan sajadah dan mukena.

"Sepakat, tidurlah sejenak. Ku temukan kau dengan bahagia" kata siapa entah. Seperti ada yang berbisik, aku merasakannya beberapa detik.

"Tapi aku belum ingin mati" kataku terakhir.

Lelap kembali, aku tertidur lagi setelahnya. Rasanya nyenyak sekali. Aku terbangun, tepat setelah alarm subuh di ponselku berdering. Senyumku mengembang, pertemuan terakhirku dengannya begitu membahagiakan. Tuan baru saja melambaikan tangan kepadaku. Tidur singkatku begitu terasa sempurna. Aku ingin sekali mengulangnya lagi.

"Sampai jumpa Tuan. Sampai jumpa di jam-jam rawan seperti yang barusan ini" kataku senyum-senyum.

Pukul 2 sudah 3 jam yang lalu berlalu. Pukul 2 telah menjadi saksi bisu. Pukul 2 menjadi waktu pencarianku. Pukul 2 adalah waktu pertemuanku dengan-Nya, juga denganmu. Adalah kau, sebuah hal yang menyadarkanku bahwa ternyata aku belum berdua.

Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja.

Sabtu, 21 Maret 2020

Romantika Orang Dewasa (2)

Gelap, sambaran kilat, dan cahaya lilin yang mulai goyah tertiup angin. Ya malam ini begitu lengkap. Aku sangat menikmatinya dengan sebuah percakapan singkat bersama sosok sebaya di kejahuan sana. Masih sama-sama di bumi. Kami hanya berjarak beberapa kilometer saja. Teman lama, tapi agak spesial. Tentu saja, tidak semua orang bisa jadi temanku. Aku kan juga spesial. Haha.

"Emang paling enak tuh jadi anak kecil" gumam Dara.

Ya, kenal saja dia Dara. Perempuan, cantik, agak tinggi daripada aku (mungkin), setipe denganku. Tapi sudah tidak jomlo, hanya saja belum menikah, juga tidak suka jadi dewasa, kecuali terpaksa.

"Ya, emang enak jadi kamu" kataku.

"Hah, kok aku?" tanya Dara bingung.

"Aku juga si. Kita sama".

"Kamu aneh".

"Setiap kita adalah anak kecil" terangku.

Aku dan dia sedang curhat-curhatan seperti biasa. Menceritakan segala kerumitan hidup yang akhir-akhir ini terjadi. Sebentar tertawa, sebentar menggerutu, sebentar menangis, sebentar mengandai-andai, sebentar lagi jadi gila bisa-bisa. Wkwkwk.
Diujung pergantian hari yang tak kunjung nyala listrik itu, kami saling bercerita dan saling menertawakan.


"Tapi kita sudah tua" sesal Dara.

"Ya, kamu benar"

"Secepat ini ya rasanya?"

"Sudahlah. Biar tambah tua asal kita tetap menjadi muda" kataku membela.

"Maksudmu?" katanya bingung.

"Raga boleh menua buk, tapi tidak dengan jiwa muda. Paham kan?" kataku menjelaskan.

"Ya, aku mencoba" katanya pendek.

Tidak semua hal harus dimengerti saat itu juga. Kadang kami hanya bilang "ya, aku mencoba" sebagai tanda lampu hijau atas apa yang sedang kami bahas. Tidak masalah kalau ternyata ditengah-tengah percakapan, kami kembali lagi ke topik lawas yang sebelumnya masih berusaha kami mengerti. Tidak terlalu buruk, kami terbiasa melakoninya begitu.

"Kamu pernah marah karena sesuatu yang nggak kamu suka?" tanyaku.

"Kenapa? Itu hakku"

"Dan aku tidak sedang membahas itu. Bapak/ibumu pernah marah karena menyuruhmu ini itu tapi kamu tidak sempurna menurutinya?" tanyaku lagi.

Berfikir lama, Dara mencoba memahami pertanyaanku. Menjadi dewasa memang sesusah itu. Perlu lebih banyak mikir dan nimbang perasaan banyak orang, demi tetap membuat keadaan tetap baik-baik saja. Padahal kadang diri sendiri malah jadi korban. Haha, lucu. Aku benci melakoninya.

"Sering" katanya hati-hati.

"Tepat. Begitulah anak kecil"

"Maksudmu?"

"Tidak dewasa"

"Harusnya?"

"Harusnya tidak usah marah. Harusnya sadar lah, apa-apa diluar diri nggak bisa terus-terusan jadi apa yang benar-benar mereka mau. Kamu juga, aku juga, kita sama. Kita harus sadar itu" jelasku.

"Ya, aku setuju denganmu"

"Dan setiap kita adalah anak kecil yang....."

"Yang bertumbuh dewasa"

"Yang terpaksa tumbuh dalam diri yang dituntut dewasa"

"Aku tidak percaya, tapi aku pikir kamu benar"

"Hahaha" kami tertawa bersama.

Sadar diri bahwa kami dan juga kita tentunya akan selamanya jadi anak kecil yang ternyata harus terjebak dalam tubuh orang-orang dewasa.
Terjebak? Baiklah ini tidak terlalu buruk. Kita pasti bisa melewati babak ini dengan sebaik-baiknya, meski dengan sambatan yang sejadi-jadinya. Tidak apa-apa. Kita memang membutuhkannya.

"Woo dasar cah cilik" kataku mengejek.

"Tos dulu lah kita" katanya mencari bala.

"Jadi besok kalo aku nesu-nesu, kamu udah paham apa alasannya ya?" kataku mencari celah.

"Pinter amat buk nyari pembelaan" katanya memojokkanku.

Ahhh modusku gagal. Ternyata dia tahu apa maksudku.

"Woo ya jelas, CAH CILIK gitu haha"

"Kamu sadar sesuatu?"

"Hidup ini terlalu sayang untuk tidak ditertawakan"

"Kamu lucu"

"Kamu juga"

"Dia, mereka juga"

"Kita sama"

"Manusia"

"Hahaha"

Berakhirlah malam itu dengan akhir percakapan yang tak pernah berujung. Gelap sering kali mengundang kantuk. Aku mulai lelap, ditemani dengan segala mimpi dan juga harapan yang masih berlaku dibenakku. Begitu juga Dara. Tapi mungkin juga tidak, dia tidak juga merasa pening meski harus terjaga sampai pagi. Aku tidak bisa, aku belum bisa menjadi dewasa. Dia juga, tapi dalam hal yang lainnya. Kamu juga, kita hanya perlu rela mengakui saja.

Ya sudah, tidak usah dipikirkan. Aku pamit dulu ya. Sampai jumpa di cerita romantika orang dewasa selanjutnya.
Salam Literasi.

Selasa, 10 Maret 2020

Romantika Orang Dewasa (1)

Apa kabar masa kecilmu? Adakah yang kau ingat darinya? Sebuah masa dimana kita begitu bebas, lepas, tak terbeban, dan menangis dengan lebih beralasan. Tidak ada ketakutan, tidak ada kekhawatiran yang benar-benar berarti. Kita nyaman sekali menikmati sebuah pelukan.

Semalam seorang teman menghubungiku via whatsapp. Teman lama, tapi masih sering bareng, ya alhamdulillah. Disampaikanlah kepadaku sekian banyak sambatan-sambatan wajar yang aku pikir setiap manusia berkemungkinan merasakannya. Tentang usia, cita-cita, dan apa saja yang berhubungan dengan proses mendewasa.
Rasanya berat sekali membahas ini. Aku pikir aku tidak menyukai bab ini. Sebenarnya sejauh ini aku hanya menikmati babak ini sebagai sesuatu yang terpaksa aku lakoni. Selebihnya aku lebih suka menjalani hidup sebagai anak kecil yang manja. Ya tentu saja.

Dulu kecil aku tak tak pernah benar-benar merasakan luka. Jatuhku menjadi sesuatu yang biasa. Aku tidak pernah malu menangis juga merengek begitu hebat karena kesakitan, padahal hanya buset sedikit di kedua lutut, atau goresan kecil di tangan, atau luka jahit sebanyak 5 buah di kepala karena tertimpa pembatas bambu yang besar berikut penumpangnya. Aku ingat benar bagaimana kejadiannya. Aku juga bisa menceritakannya. Tapi rasanya biasa saja. Aku sudah tidak lagi mempedulikannya.

Sekarang sudah tidak bisa lagi begitu. Dulu kecil aku bermain api, tersulut lelehan plastik, melepuh, dan terluka, aku tetap mengenang bekas luka itu sebagai kebahagiaan. Tapi setelah beranjak dewasa, apa-apa yang terjadi malah menjadikanku merasakan beragam luka. Yang nyata berbekas, yang tidak terlihat mata, yang orang-orang pedulikan, yang orang-orang acuhkan, yang sudah terjadi atau yang bahkan belum terjadi. Semuanya terasa menakutkan. Semuanya terasa menyakitkan. Kamu merasakan juga tidak?

Sama sepertiku, temanku juga merasakan hal serupa. Orang-orang seumuranku mungkin juga memikirkan hal yang sama. Kita sadar berbeda, tapi seketika ketakutan menyadarinya. Kita yakin akan bahagia, tapi tidak pernah mau menikmati proses harunya. Kita merasakan banyak luka, tapi malah abai mengobatinya. Kita sempat membayangkan bahagia menjadi dewasa, tapi tidak dengan kenyataannya. Selalu ada hal yang menjadikan kita tidak tahu, sekalipun percaya diri telah membumbung sebegitu jauh.

"Udah aku bilang, aku tidak seperti yang lainnya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa." katanya dipesan whatsapp yang baru saja dikirimkan kepadaku. Aku tersenyum, menebak ada apa dibalik pesan itu.

"Ya, teruskan" kataku mencoba mendengarkan.

"Bukan aku tidak bersyukur. Tapi...... aku ingin dimengerti setelah aku menjelaskan ini" katanya melanjutkan.

"Masih ada lagi?"

"Sebenarnya aku malas menjelaskan ini. Tapi kalau nggak dijelasin, nggak bakal ada yang tahu juga apa yang tak rasain" katanya menyudahi.

Siapa yang tahu akan seperti apa kita di detik-detik yang terus berjalan ini? Aku selalu menanyakan hal serupa setiap mencoba mengerti seseorang yang sudi menjadikanku pendengar atas kisah-kisah yang telah dialaminya. Aku tidak butuh jawaban atas itu, aku hanya perlu tahu bahwa setiap orang berhak merasa dan melakukan apapun yang dia suka. Aku tidak selalu menerima semuanya, aku hanya sedang mencoba menjadi pribadi yang lebih dewasa meski sebenarnya aku sama sekali tidak ingin melakukannya.

"Ternyata serepot ini ya jadi dewasa? Dulu mau bahagia gampang banget. Sekarang semuanya jadi susah dan mahal (ya tentu saja)." kataku membalas.

"Kenapa baru kerasa sekarang si?" katanya kesal.

"Dipikir-pikir kita dulu sombong banget ya tee jadi anak kecil?"

"Gaya banget pengen cepet gedhe, ngerasa bisa jadi apapun, padahal realitanya nggak semanis itu buk."

"Dulu kecil aku sering berkhayal jadi orang dewasa. Enak kali ya? Cantik, punya duit sendiri, bisa pergi kesana kemari, bisa beli ini itu, jadi sarjana, kencan bersama kekasih hati, dan apalagi? Aku sedih mengingat mimpiku ini. Aku tidak menyadari bahwa semakin banyak yang kita inginkan akan semakin besar tanggung jawab yang harus kita emban." kataku panjang.

"Sedih banget aku ingat khayalanmu"

"Ngenes banget aku tahu sambatanmu"

"Pelukan jauh aja yukk yukk"

Mungkin waktu itu kami sedang sama-sama merebah, terpejam, dan tentu saja meratapi semua-muanya di tempat yang berbeda. Ditemani hujan gerimis yang tak kunjung berhenti, kami saling memeluk diri sendiri.

"Misuh dong misuh. Wkwkwk" kataku menggoda.

"Yukkkkk" ajaknya.

"Astagfirullahaladzim" seru kami bersamaan"

Dan kami tertawa bersama. Menertawakan apa entah. Tapi kami sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Kami memang pintar sekali mengada-ada.

"Kamu ingat tee?"

"Apa bong?"

"Dulu pas masih krucil-krucil, kita manjat pohon jambu punya tetangga aja udah seneng banget. Kamu di ranting sebelah sana, aku di ranting sebelah sini, si siapa aja si yang ada di tengah-tengah? Siapa juga yang tinggal nangkepin hasil petikan di bawah? Seasyik itu ternyata kita dulu."

"Belajar kelompok. Mainan kursi puter. Ke sawah. Sepedahan keliling kampung buat nyari daun menjari, menyirip, mengapalah itu. Sesederhana itu kita dulu. Ayo dong kita ulang. Aku kangen tauk."

"Tida sopan kamu ya"

"Apa si?"

"Make sepeda nggak bilang-bilang. Untung dulu aku masih kecil, nangis bombai begitu juga nggak kerasa malu"

"Wwkwkwk maafkan aku. Aku khilaf dan terburu-buru waktu itu"

"Dengan senang hati tuan putri"

Sudah hampir tengah malam, dan kami menutupnya dengan sambatan seseru itu. Sekalian menemaninya begadang, padahal sebenarnya kepalaku sudah nyut-nyutan karena ngantuk tak tertahankan.

"Jadi dewasa ternyata nggak semenarik itu ya tee?"

"Nyesel pernah pengen cepet-cepet nyampe di titik ini"

"Betewe tee, ayo kita jadikan jurnal saja"

"Apa?"

"Buat warning buat anak cucu kita nanti"

"Good idea. Cuss"

"Jadi dewasa itu menyebalkan. Dulu pas kecil aku rajin nyusun cita-cita, sekarang kenyataannya beda. Aku dipaksa rela menerima, padahal jelas-jelas aku ingin lari dari semua itu"

"Aku? Aku ingin jadi anak kecil lagi. Enak, tanpa beban. Kenapa si dulu pas jamannya kita belum ada ponsel? Harusnya sekarang kita bisa mandangin masa lalu kita di foto-foto jadul itu"

"Aku capek memulai terus. Aku ingin ketemu teman-teman lamaku, tapi semakin hari orang-orang baru malah masuk gitu aja ke kehidupanku. Kecuali kamu, dan si A, si R, si siapa lagi sih? Bentar aku itung dulu."

"Haha. Kenyataan pahit. Kita akan ada dimasa yang ketika kita punya banyak waktu luang, kita tidak punya uang. Tapi ketika kita punya uang, kita tidak punya waktu luang."

"Orang-orang dewasa suka banget menilai. Tapi setengah mati menolak ketika dinilai. Ya, kita adalah hakim yang egois di semesta raya."

"Mereka suka salah menilai diri mereka. Maksud hati bijaksana, tapi malah kenanya menghakimi. Menyakitkan sekali."

"Kita harus berhati-hati atas itu."

"Kadang aku khawatir berlebihan. Mempertanyakan akan berujung seperti apa kelak. Tentang karier, keluarga, pasangan, kehidupan sosial, dan apa saja yang tiba-tiba melintas di kepala"

"Kita rentan sekali diperbudak perasaan. Mari kita lawannnnnn"

"Hahaha manusiawi bong"

"Dewasa menjadikanku terbatas dalam berbicara. Termasuk bilang suka ke dia. Ah andai"

"Mon maap, ada yang perlu saya bantu bong?"

"No thanks, aku punya banyak cara untuk tetap mengatakannya meski tidak langsung kepadanya."

"Aku bangga punya teman sepertimu"

"Harus, tapi aku sedang tidak punya cukup uang untuk bisa membelikanmu ice cream glico"

"Haha dasar orang dewasa. Apa-apa mesti kepikirannya ke isi dompet."

"Aku juga semakin malu ketika sadar kemampuan masakku terbatas di bhan masakan telur, mie, tepung, dan sossis. Aku butuh bisa melakukan hal yang lebih dari itu, demi memanjakan diriku di hari libur."

"Dewasa memaksa kita keluar dari zona nyaman. Tapi ya bagaimana lagi, dewasa juga bagian dari siklus hidup."

"Tambah umur, tambah bikin takut mati. Aku suka mikir aja gitu "Kalau tiba-tiba aku pergi, bakal ada yang nangis enggak ya? Nangis yang beneran karena kehilangan, bukan yang dipaksain keluar air mata." "

"Jadi orang dewasa butuh berkali-kali llipat rela. Rela menerima, rela memaafkan, rela menjalankan apa yang menjadi jatah dari-Nya"

"Besok anak-anak kita jangan disuruh cepet-cepet jadi dewasa ya tee. Ingetin kalau aku lupa."

"Iya, biar kita aja yang banyak tagihan, mereka ntar-ntar aja deh ya."

"Janji ya tee?"

"Apa bong?"

"Kita selalu berhak dan sudah semestinya akan menjadi diri kita sendiri, meskipun kelak hidup kita bukan hanya tentang kita lagi."

"Tapi bong........."

"Ya tee...."

"Kita perlu waktu belajar itu sepanjang waktu"

"Nggak papa. Sekarang kita istirahat aja dulu."

Kedua mataku sudah menggelayut. Kepalaku semakin pening. Bukan karena memikirkan bagaimana menjadi dewasa yang berhasil lagi, aku benar-benar butuh tidur. Tapi aku belum menemukan celah bagaimana menghentikan dialog berat ini.

"Kamu udah ngantuk ya bong?"

"Pening banget kepalaku tee"

"Ya udah lanjut besok lagi deh, atau pas kita ketemu. Bahas beginian sambil mamam glico enak kali ya bong?"

Aku tidak kuat lagi. Chat terakhirnya ku balas pagi setelah aku terbangun.

"Baiqqq, insyaallah nyonyah (emot senyum)" kataku.

Menjadi tua memang pasti, menjadi dewasa juga memang pilihan. Tapi meskipun begitu, jangan pernah melepaskan jiwa mudamu wahai orang-orang dewasa. Jangan melupakan hal-hal sederhana di balik tekanan hidup yang semakin menjadi-jadi. Jangan pernah menghentikan jiwa liarmu untuk tetap terus berpetualang. Tetaplah terus bertanya, tentang apa saja. Teruslah mencari tahu jawabannya.

Karena kita tidak tahu ada banyak misteri lagi yang ada di kehidupan setiap orang dewasa. Kita juga tidak tahu lagi akan seperti apa kita akan menjalani dan memilih siapapun sebagai dia yang akan kita ajak berbagi. Tapi semoga setiap orang dewasa bisa benar-benar dewasa membawa dirinya dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, dan dalam keadaan apapun.

Bicara tentang dewasa, bicara tentang cara memaknai hidup, juga mengembangkan diri, dan menyiapkan diri supaya siap jatuh bangun menjalani apa saja yang menjadi ketentuan-Nya. Jangan lagi berfikir menyerah, jangan lagi berfikir tidak bisa menyelesaikannya, jangan lagi berhenti, berjalanlah terus sampai kepada apa yang dimaksudkan-Nya untuk kita. Kita bisa, kita pasti bisa jadi dewasa, kita pasti bisa melewati semuanya.


Salam Literasi.

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....