Diketuk, pintu keheningan terjaga. Suara tuan tampan menggema di kedua telinga. Membuka ruang-ruang bicara, tempat segala tanya berkelebat tanpa berkemungkinan menemukan jawabnya. Entah siapa gerangan, aku remang memandang dan tidak berhasil menemukan.
Pukul 2 dini hari aku bertanya-tanya. "Ada apa?"
Menatap foto-foto lama, dijawabnya. "Tidak ada siapa-siapa"
Mencoba hilang kembali, aku tenggelam. "Sudah pukul 2 dan aku belum berdua"
Mencoba hilang kembali, aku tenggelam. "Sudah pukul 2 dan aku belum berdua"
Sekotak harapan muncul dari ruang-ruang diri yang mulai enggan membuka pintu. Senyumku mengembang, mengiringi rapal doa sambil mengusahakan menangis. Semoga Yang Maha Mempertemukan segera mengijinkan.
Sepanjang waktu ku ketuk hatinya. Ku bisikkan lembut di kedua telinganya dari jauh. Sebuah tanya yang entah kapan akan ku dapatkan jawabnya. "Akankah benar kau orangnya?"
Merubah posisi tidurku, aku menatap jelas gambar dirinya di antara foto yang berjajar di dinding kamar. Tidak ada suara. ku tekan tombol kipas angin di nomor 2. Agak dingin, tapi aku menikmatinya. Aku baik-baik saja.
"Tidak apa-apa. Kau masih bisa menatap bulan sabit di kejahuan sana" kata pikiranku meraung dibenak yang enggan terbaca maksudnya.
Langit begitu biru, berbaur dengan gelap. Muram, membentuk keindahan bagi yang menganggapnya indah. Aku mencoba melupakan dengan memutuskan menghitung bintang-bintang. Satu, lima, seratus, tiga ribu, delapan puluh rib.... mataku berkedip. Aku hilang ingatan, angka terakhir tidak lagi terbaca. Akhirnya aku berhasil melupakan, tapi tidak dengan kemelut perasaan.
"Sejauh apapun kau, kedua mataku tak pernah bisa meninggalkanmu. Ku pandang apa saja yang ku pandang tentangmu. Sesuatu yang lama ku tahu, yang mulai ku tahu, dan tentu saja yang belum ku tahu." kataku kepada langit. Paras tampannya begitu hangat ku pandang. Aku suka memandang langit malam-malam.
"Sama seperti biasa, kau begitu tampan Tuan" imbuhku.
Satu rekaman setia menggema di kedua telingaku. Setiap malam suara nyaringnya membangunkanku. Berdering begitu syahdu di waktu malas seperti ini. Sering ku ulang, sampai habis replaynya. Dia begitu dekat, mendekapku didingin malam yang kadang menjadikanku enggan membuka mata. Kita dekat, tidak terhalang lagi oleh sekat.
"Andai kau benar ada di sini" kataku menyerah.
Kedua mataku hampir selalu basah setiap mengingatnya. Mengingat ketidakberanianku untuk bicara jujur kepadanya. Segalanya tentang cinta, tidak pernah menjadi mudah untukku. Andai dia tahu bagaimana rasanya, seperti memaksa menggenggam sebuah pisau tanpa penghalau. Tanganku berdarah, tapi aku tidak bisa begitu saja melepaskannya. Aku terjebak, dia telah menjadikanku terjebak. Bagaimana bisa? Dia bahkan tidak pernah melakukan apa-apa kepadaku. Aku ingin lupa, aku ingin lari dari ini semua. Menjaganya dengan cinta yang entah sampai kapan akan menjadi rahasia.
"Bagaimana caranya?" tanyaku.
Sajak-sajak usangku adalah teman setiaku. Rumah ternyaman untuk membicarakan apa saja tentangnya. Meski terlalu sering berantakan, membacanya berulang seperti sedang melalui jalanan panjang menujunya. Aku tak ingin berhenti. Aku ingin selalu merangkai aksara menjadi sekian banyak kata yang bahkan aku sendiri kadang tidak bisa memahami artinya. Sudah ku bilang sebelumnya, segalanya tentang cinta tidak pernah menjadi mudah untukku.
"Sudah hampir pukul 3 dan aku masih belum berdua" kataku mengingat yang tadi.
Putus asa ke berapa entah. Aku tersesat, berkerumun dengan ekspektasi yang semakin membumbung. Memupuk percaya terhadap apa-apa yang belum tentu nyata, aku malah semakin tidak percaya diri. Dingin sekali, aku keluar dari kamar mandi. 5 menit yang lalu aku memaksa diri beranjak dari tempat tidurku. Ketidakkaruan di dini hari selalu membawaku menghadap kepada-Nya, Dzat Yang Maha Memiliki. 2 rekaat sudah lebih cukup daripada hanya sekedar rebahan sambil mempertanyakan ketidakpastian. Oh tidak, aku ingin selalu datang dalam keadaan apa saja. Bahagia, sebaliknya, diantaranya, aku ingin selalu datang kepada-Nya. Aku ingin menjadi hamba yang tahu diri. Hanya itu, ya tentu.
"Sudah lebih dari pukul 3. Tak apa aku belum berdua, asal tidak berhadapan dengan corona" kataku diakhir doa.
Virus tak beradab. Menerobos ketahanan tubuh juga kecongkahan dan kecerobohan orang-orang yang dengan percaya diri bersikap abai terhadapnya. Datang tidak pernah permisi, menyakiti, dan tidak pernah merasa salah sampai sejauh ini. Entah sudah hari ke berapa. Sengaja, aku tidak menghitung waktu untuk sesuatu yang berhasil menjadikanku ketakutan akhir-akhir ini. Orang-orang sibuk mencari perlindungan diri. Beberapa saling melindungi, beberapa sibuk saling memaki, beberapa sibuk menuruti ego sendiri. Aku tidak tahu harus bagaimana, selain mawas diri. Tidak ada yang tahu akan menjadi seperti akhirnya. Kita harus melakukan yang terbaik demi bisa melewati ini semua. Kita bisa, kita akan bisa. Semuanya akan baik-baik saja.
Doa-doa terapal begitu riuh. Harap demi harap menemukan gilirannya untuk terucap. Mohon ampunan atas segala dosa, mohon kebaikan dunia dan akhirat, mohon sampai di surga dunia dan akhirat, mohon pertemuan dengan-Nya, dan mohon-mohon yang lainnya termasuk tentang cinta terpanjat begitu sungguh. Aku selalu merasa lega setiap berhasil melakukan ini. Seperti ruang-ruang di hati bersih kembali. Aku tenang sekali menjalani hari-hari.
"Cukup untuk malam ini. Besok kita ketemu lagi ya?" kataku sembari membereskan sajadah dan mukena.
"Sepakat, tidurlah sejenak. Ku temukan kau dengan bahagia" kata siapa entah. Seperti ada yang berbisik, aku merasakannya beberapa detik.
"Tapi aku belum ingin mati" kataku terakhir.
Lelap kembali, aku tertidur lagi setelahnya. Rasanya nyenyak sekali. Aku terbangun, tepat setelah alarm subuh di ponselku berdering. Senyumku mengembang, pertemuan terakhirku dengannya begitu membahagiakan. Tuan baru saja melambaikan tangan kepadaku. Tidur singkatku begitu terasa sempurna. Aku ingin sekali mengulangnya lagi.
"Sampai jumpa Tuan. Sampai jumpa di jam-jam rawan seperti yang barusan ini" kataku senyum-senyum.
Pukul 2 sudah 3 jam yang lalu berlalu. Pukul 2 telah menjadi saksi bisu. Pukul 2 menjadi waktu pencarianku. Pukul 2 adalah waktu pertemuanku dengan-Nya, juga denganmu. Adalah kau, sebuah hal yang menyadarkanku bahwa ternyata aku belum berdua.
Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja.
Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja.