Jumat, 31 Desember 2021

Menyambut Tahun Baru

Hari ini dan sejak saat itu, anak kecil ini bernafas, bergerak, juga jatuh dan bangun, tapi begitu saja sepertinya dia tidak cukup layak dikatakan untuk hidup. Di perjalanan panjang yang menyesatkan itu, dia telah banyak mencintai, menangis, melakukan kesalahan, menyesal, menderita, bangkit, tertawa, tercengang, dan (masih) tumbuh.

Entah bagaimana, tubuh anak kecil ini rentan sekali jatuh. Isi kepalanya gemar sekali kusut. Pikiran-pikiran seperti gampang sekali dipeluk kecewa. Separuh dirinya seperti telah hilang, tapi hidupnya masih (tetap) disini.

Berlanjut.

Hari ini, anak kecil ini memecat linglungnya. Sejak hari ini dan sekali lagi, terimakasih diumbarnya untuk siapapun juga apapun. Sejak hari ini dan seterusnya, anak kecil ini akan mengambil alih hidupnya yang tentu saja akan banyak kejutan. Sejak hari ini, dia sepakat memulai lagi. Belajar untuk selesai, tidak marah, tidak repot, lebih peduli dengan diri sendiri, tidak membiarkan dirinya merasa sendiri lagi, stabil lahir dan batin, senang, tenang, bangga, terurai, dan benar-benar hidup.

Anak kecil ini, bukan ingin menjadi pribadi yang lain. Hanya saja dia akan belajar lagi dan lagi menjadi yang lebih terkendali, lebih membuka mata, hati, juga ruang dalam diri. Sebab esok akan datang lagi, maksudnya ehmmm ciiee ciiee.

Ya, mungkin itu akan menjadi yang lebih.
Lebih sering.
Lebih rinci.
Lebih memabukkan.

Enjoy.

Minggu, 29 Agustus 2021

M(asih)elaju

Masa demi masa, semua berlalu dan aku? Sebisaku, aku berusaha menjadi biasa saja. Tidak bahagia, tidak bersedih, tidak juga di antara keduanya. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku pikir dengan begini saja aku...... cukup. Waw, rasanya aku akan butuh waktu yang lebih banyak untuk sekedar melamun dan melerai pikiran-pikiran yang lagi-lagi kacau balau.

Aku memandang sekitaran. Di atas sana langit sedang biru-birunya. Dan orang-orang sedang sibuk-sibuknya berlalu lalang. Satu per satu dari mereka melaju bersama kereta yang mereka tumpangi. Rasanya cepat sekali sampainya. Aku melihat satu per satu dari mereka turun dari kereta mereka masing-masing. Aku terdiam, bergumam saja dengan sebab-sebab yang kupaksa ada sebagai jawaban dari tanya-tanya yang berkerumun di dalam isi kepala.

"Mungkin begitulah dia ada sebagai bahan uji." kataku asal.

Dan di tempatku berdiri kini, aku sedang memandang iri lengkap dengan jenuh kenyataan-kenyataan yang ada. Orang-orang dan kota baru itu, kereta-kereta sedang menuju dan telah sampai di tempat tujuan. Dan aku? Aku dan kota entah yang mana yang akan mejadi tempatku berlabuh, keretaku masih dan terus saja melaju. Terasa lambat jalannya, tapi mungkin begitulah akhirnya dia menjadi tepat. Oh ya tentu saja. Tentu saja aku juga akan sampai. Tentu saja aku akan melewati ini, apapun itu. Aku hanya harus mengeluh tentang ini lebih dulu. Jadi beri aku ruang yang penuh. Sekalipun lagi-lagi aku merasa sedang terjebak di antara harus terus berjalan atau kenapa aku harus repot-repot melakoni ini. Oh aku merasa seperti sedang menjadi racun untuk diriku sendiri. Aku meminta maaf berulang kali kepada diriku sendiri atas ini, tapi aku tidak juga kunjung menghentikannya. Tapi sungguh, aku hanya berharap bisa menikmati omong kosong ini dengan seseorang tanpa pernah merasa mengganggunya kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun.

Orang-orang datang dan pergi. Hari ini mereka datang mengetuk pintu, lalu singgah, dan bergegas pergi dikemudian hari. Seperti terburu-buru mengejar sesuatu, tapi apa? Oh bukan, aku bukan tidak bahagia menyaksikan panggung mereka begitu megah. Aku hanya sedikit bingung, kenapa rasanya waktu semua orang berjalan, tapi tidak denganku? Waktuku kadang serasa berhenti, kadang berjalan lambat, kadang malah terasa begitu berat. Rasanya sulit sekali mengejar orang-orang itu. Aku takut, aku takut hanya aku yang masih berdiri di sini, tertinggal, dan sendiri.

Oh Allah, mohon jauhkan aku dari hati yang akan menjadi rusak lalu menjadi terlalu membenci. Bawa aku pergi jauh dari perasaan yang sulit menerima.

Tapi tidakkah sama? Tidakkah memang begitu sesuatu-sesuatu yang belum berhasil sampai kepada kita? Jalanan yang lebih panjang dan berliku itu, oh haruskah? Hei, tapi bagaimana bisa aku merasakan seperti aku saja yang paling menderita? Padahal disana, entah dimana, pasti selalu ada mereka yang lebih lelah, lebih pusing, dan lebih segalanya dariku.

Sering setiap iri itu datang, aku berkali-kali bertanya dengan diriku sendiri,

"Jadi bagian pahit mana lagi yang belum aku tahu dari lika-liku kehidupan mereka?".

Sesekali seperti itu berhasil menghentikanku bertanya, sesekali aku mengulang tanya, sesekali sisanya aku tidak tahu harus bagaimana. Begitukah cara hidup bertaruh? Diantara untung dan buntung, diantara menang dan kalah, diantara itu semua, aku hanya ingin menjadi yang tidak menyerah dan tetap bertahan, meski aku hanya akan menjadi yang paling fasih membaca kesedihan dan kemudian hilang dengan kata-kata. 

Aku benci mengulangnya, tapi bagaimana bisa aku lupa bahwa aku pernah sampai disuatu tujuan yang tentu saja orang lain lebih cepat sampai tujuan dan aku tidak? Jalanan yang lebih panjang dan berliku itu, ah aku ingat betul bagaimana aku selalu merasa terluka karena tidak kunjung sampai. Putus asa demi putus asa mengetuk. Hampir saja aku membukakan pintu itu. Untung saja sesuatu itu lebih cepat sampai kugenggam daripada kedua tangan yang mulai dijabat keputus-asaan. Ujung itu, ya sebelum ujung itu, hampir saja aku menyerah. Memang benar, keajaiban demi keajaiban selalu ada ketika kita benar-benar berpasrah setelah menempuh perjalanan panjang atas sesuatu.

Ketakutan-ketakutan menjelma seperti kutukan. Perjalanan-perjalanan seperti semakin habis dimakan waktu. Dia terus berjalan, terus saja tanpa peduli diri kita siap atau tidak, lelah atau tidak, kuat atau tidak, atau bahkan sudah sembuh atau belum. Oh atau aku saja yang terlalu keras meraba bahagia? Atau aku terlalu naif memandang dunia? Oh aku, kenapa selalu ada dari dirimu yang belum bisa kutaklukkan? Oh aku, tidak bisakah kita tenang sebentar saja? Lalu mari kita lakukan hal-hal kecil terlebih dulu, jalan kaki saja. Atau kita bisa naik mobil. Kita bahkan tidak perlu naik kereta cepat seperti orang-orang itu. Kita ciptakan ritme kita sendiri. Kita nikmati setiap kemacetan atau apapun yang terjadi di depan sana.

Tidak lupa bersyukur. Sungguh kita tidak perlu lagi merawat sakit kepala karena kecepatan kereta orang-orang. Sungguh kita hanya perlu terus maju dan tentu saja lakukan itu, sampai selesai, sampai kita sendiri tidak sadar kita sudah mendapatkan yang lebih dari apa yang sebelumnya kita ingin. Sungguh kita hanya perlu menerima bahwa tidak semua hal itu baik dan membahagiakan. Mari lebih bersiap-siap menyambut baik hari-hari yang berkemungkinan jadi buruk, menyambut diri kita yang berbuat kesalahan, menyambut kita yang gagal. Sepasang kaki ini semoga semakin kuat berpijak di jalanan yang mungkin lebih berliku dan memutar dan terjal. Tubuh yang semakin rapuh ini semoga semakin gagah berkelahi demi sanggup berdiri untuk menghadapi hari yang baru.

Sungguh semua hal tidak harus sesuai dan itu tidak apa-apa.




Sabtu, 24 Juli 2021

Selamat Pagi Kekasih

"Selamat pagi, kekasih".

Bunga-bungaku yang mekar mewangi di taman hatiku. Pelipur lara bagi setiap sakit yang gemar hilang bentuknya.

"Selamat pagi, kekasih".

Selamat menyambut hari yang berkemungkinan babak belur. Selamat berjalan lebih jauh. Selamat saja pagi ini dariku. Aku harap begini saja kamu sudah senang. Sebab kita masih jauh, bahkan untuk sekedar berebut menu sarapan pagi. Jadi apa rasa kopi favoritmu? Hitam, luwak, atau americano? Katakan saja kepadaku jika kamu sudah sampai.

Jadi, apa kabarmu? Dijawab apa adanya saja. Sebab hari-hari sudah terbayang lelah daripada harus kamu tambah dengan sandiwara. Ya aku pikir daripada repot begitu, lebih baik kita menyibukkan diri dengan menulis takdir-takdir yang kita ingini. Bukan, ini bukan untuk menuntut Yang Maha Cinta. Tapi ya siapa tahu, kemauan kita adalah juga kemauan-Nya. Tanganku juga tanganmu ini kan bisa jadi ajaib. Ya, kenapa kita tidak yakin atas itu?

Hidup ini adalah sebuah kesempurnaan yang tidak sempurna. Begitulah kita menjalaninya. Begitulah kamu datang menjelma. Dan begitulah aku datang menjelma. Kita adalah musik-musik yang tidak sempurna. Tapi tenang saja, kita tetap bisa menari-nari di atas segalanya. Ya tentu saja dengan bahagia yang mungkin harus kita paksakan ada. Hei sepertinya kita harus segera memulainya, kekasih. Maksudku cerita kita sebagai sepasang kekasih. Sebagai sebuah ruang yang berisi segalanya untuk selama-lamanya.

Ide bagus bukan?

Aku tahu kamu bukan orang yang gemar jail. Kamu mungkin adalah sebuah perkampungan padat penduduk yang sangat sunyi. Tapi tolong sudahi, sebab aku ingin kamu yang jail meski hanya denganku saja. Humor ini harus kita yang menciptakan, biar kita juga bisa jauh menikmati badai-badai yang datang. Dan kita akan bersama menikmati sapa-sapa mesra setelah membuka mata di pagi hari, menikmati kopi hitam favoritmu dan matcha ala-ala favoritku, lalu kita bersiap legowo mengurai mimpi-mimpi yang akan kita pijaki sehari penuh setiap hari. Jangan lupa kita bersulang untuk satu hari penuh yang rahasia itu. Sebab kita adalah kekasih. Ya, aku pikir sepasang kekasih sudah selayaknya merayakan apapun berdua, termasuk kesedihan, termasuk kebingungan, termasuk tumbuh kembang bersama dan apa-apa yang bahkan belum kita tahu benar-benar lakonnya.

Aku ini mungkin hanya sesuatu yang seorang manusia, perempuan, kecil, dan jauh dari kata ideal. Kamu mungkin sama, hanya saja aku belum melihat celahnya. Tapi aku dan kamu adalah rumah. Dan sungguh perkara-perkara yang tidak sederhana itu harus kita selesaikan. Maka dari itu, mari saling sudi untuk pulang dan mari kita rayakan hingar bingar rumah tangga yang suka meletus tiba-tiba berdua. Waw aku benar-benar sudah ingin banyak berbicara kepadamu tanpa perlu merasa bahwa aku telah mengganggumu sepanjang waktu kekasih. Bagaimana menurutmu?

Hei, kekasih. Ini bahkan hari minggu. Waktunya rekreasi. Mari wisata ke tempat kerjaku saja kekasih. Hari ini aku sedang tidak WFH, jadi mari ikut denganku agar aku dan kamu tetap bisa berdua. Tapi harusnya....harusnya kita sudah menikmati perburuan kecil itu ya kekasih? Atau boleh juga kita rencanakan pemotretan pastwed ala-ala monocrom. Atau kamu mau kita berbaur dengan tradisi kental jawa? Atau kita bisa bergaya apa saja di tepi pantai atau di antara pemandangan alam? Atau kita bisa mengambil konsep berkebun bersama. Atau kita ke pasar malam saja? Atau dua-duaan di studio potho milik siapa? Ya yang penting kita berdua. Yang penting kamu bersedia dulu untuk kujaga kekasih. Begitupun dengan aku kepadamu. Dan kita tidak akan jadi yang pernah selesai sekalipun telah lewat tenggang waktunya.

Langit tampak semakin membiru kekasih. Tidakkah diantara gulungan awan-awan itu aku dan kamu telah lebih dulu bertemu? Dan begitulah Yang Maha Mempertemukan menciptakan kita. Dan pada apa saja kita telah menjelma, tiap-tiap langkah, tiap-tiap puisi, dan tiap-tiap kicau burung adalah sesuatu yang tidak harus kita mengerti. Seperti itu, seperti omong kosongku ini. Mengalir , menyentuhmu bahkan jika ternyata kamu tidak menyadari semua itu dan aku tidak menyadari telah melakukan itu.

Jangan terbuai kekasih. Aku bahkan bukan seorang pecinta yang mahir. Kamu bahkan tidak enak hati kepada siapa saja yang menaruh hati padamu. Tidak apa-apa kekasih, yang penting masing-masing dari kita tetap waras. Kamu tidak harus berjanji, tapi berhati-hatilah di perjalananmu yang panjang itu. Sebab di tempat kerja itu aku menunggu. Sebab mulai pagi ini dan pagi-pagi setelah ini,  kamu sudah harus menyapaku. Atau tidak usah saja. Biar aku saja yang menyapamu.

"Selamat pagi, kekasih"

Selamat lagi dari kekasihmu ini.

Salam sayang.

Sabtu, 10 Juli 2021

Dear, Bulan Sabit...

Tuan
Tuan...
Orang-orang bisa begitu saja tampak dan benar-benar membosankan. Menari-nari mereka dengan omong kosong yang meriah. Dan begitulah musik yang tidak sempurna itu menggelar pestanya. Jadi, mari gemuruhkan tepuk tangan demi siapapun. Setidaknya mereka sudah bekerja keras dan tentu bersusah payah, bahkan untuk sesuatu yang menurut kita berantakan atau malah tidak berguna. Termasuk ini, termasuk aku, termasuk kamu, termasuk kita yang tidak sadar ketagihan jatuh berkali-kali.

Tuan
Tuan...
Kadang kita perlu menyelam, lebih dalam, sampai tenggelam, dan bahkan berkarat. Isyarat-isyarat kadang datang dalam wujud yang tidak kita suka. Dan kita rentan menyambutnya dengan sesuatu yang kekanak-kanakan. Sepenggal makna, aku pikir aku juga sama sepertimu. Jabat erat tanganku tuan. Kita sama-sama tidak mahir dalam hal ini.

Tuan
Tuan...
Hari demi hari berlalu. Dan tepat sedetik yang lalu, aku telah mendidih. Berteriak aku, berlari aku menujumu, berbisik sesuatu aku kepadamu. Menurutmu, apakah aku berhasil sampai kepadamu?

Tuan
Tuan...
Terlihatkah ini di kedua matamu? Adalah aku yang sedang berdandan dihadapanmu. Cerminku adalah kau. Tempat segala kata-kata terlahir. Tempat segala cukup mahir memeluk. Tempat asing yang tiba-tiba saja jadi rumah.

Tuan
Tuan...
Bagaimana kalau besok kita bertemu? Lalu dalam keyakinan itu, mari kita bersulang. Pakai air putih saja tidak apa-apa. Asal salah satu tanganmu menggenggam tanganku. Aku tidak perlu matcha favoritku. Sudah kukatakan kepadamu bahwa kau adalah segala cukup untukku.

Tuan
Tuan...
Barangkali kita butuh detik yang menjelma jadi lebih banyak untuk sekedar mengosongkan ruang yang riuhnya merongrong. Barangkali kita butuh saling melihat, kemudian jadi sembuh dari pura-pura yang gemar kehilangan logika. Maka dari itu, lekaslah sampai kepadaku tuan. Dan jangan lagi lari. Menderitalah bersamaku sampai aku sembuh, sampai kau sembuh, sampai kita berdua jadi obat satu-satu.

Tuan
Tuan...
Besok atau nanti kupanggil lagi namamu. Lirih, tapi semoga kau mendengarnya. Sebab begitulah cara cinta mulai bekerja. Sebab begitulah aku memulai berani lagi. Sampai jumpa obat kalutku. Sayang kamu dari jauh, bulan sabitku.

Sabtu, 17 April 2021

Ancak

Cepat sekali. Dikejar apa entah. Waktu lari-lari. Melompat kesana-kemari. Tanpa pernah memberi arti. Oh atau hanya aku saja yang belum mengerti? Ah, dunia ini. Tak bisa aku meraba jalan-jalan yang akan dilaluinya.

Di balik jendela, aku hanya melihat sepasang mataku yang sayu. Melukis aku akan banyak hal pada langit yang biru. Luka kuurai. Senyum kusemai. Meski layu, bunga hati kupaksa mekar. Perasaaan-perasaan penuh ingin, terus datang mengetuk. Sepanjang waktu, aku mencoba membuka pintu untuknya. Semuanya, tanpa terkecuali. Aku ingin jadi tuan rumah yang baik.

Egoku kududukkan manis di beranda rumahku. Lumayan, hujan seharian menyuguhkan pelangi yang berlatar belakang senja yang tidak begitu jingga. Bincang yang sepertinya basi kusuguhkan untuknya. Tentu saja lengkap dengan tanda tanya-tanda tanya yang semakin lama semakin mahal jawabnya. Sudah lama ia merasa sendiri. Tenangnya pergi entah kemana. Hanya ada air mata yang ia tinggalkan sebagai jaminan.

"Pelan-pelan saja, bisa tidak? Satu per satu. Nafas dulu yang panjang. Jangan buru-buru hilang"

Dia mulai menggerutu. Dan aku mulai tertawa. Lalu angin-angin malam mulai menemaninya duduk memangku senja.

"Tidak usah jadi yang istimewa. Sederhana juga bisa jadi mulia" katanya.

Saben hari aku menatap harap. Membayangkan tiap detik yang berjalan menjadi saksi betapa baiknya aku menjalani hari-hari. Saben hari aku melambungkan dan membisikkan banyak doa, berharap bisa dengan baik menjaga diri. Saben hari aku berjalan dengan teka-teki yang kadang ingin kutertawakan setelahnya. Setelah sampai di ujung yang tetap menjadikanku baik-baik saja. Meskipun diiringi banyak bualan. Meskipun didekap erat ketakutan. Meskipun aku, sempat tak baik-baik saja.

"Hari ini adalah hari ini. Besok belum tentu ada hari seperti ini. Jadi, mari jalani. Apapun yang terjadi, jalani. Kalau senang, berbahagialah. Kalau sedih, berbahagialah. Sebab setidaknya, kita semua masih terbukti ada"

Begitulah mantra yang sering mengunci tekadku setiap sepasang mataku membalas senyum matahari pagi. Meski kadang hilang fungsi, setidaknya niat dari hati sudah pernah ada dalam diri. Toh hidup ini hanya perkara beruntung dan tidak beruntung. Juga perkara cara menyelami sudut pandang. Karena tiada beda bagi masa lalu, masa kini, dan masa depan. Mereka adalah perjalanan dan kita semua adalah pejalan yang melintasinya.

Dan begitulah waktu memberikan perjalanan kepada kita. Dan begitulah waktu mengantarkan kita kepada realita. Dan begitulah waktu mengetuk ruang terdalam dari jiwa kita yang kadang hilang bentuk, bahkan untuk sekedar menjadi rumah untuk diri sendiri.

Semua hal akan berakhir menjadi biasa. Semua hari dan apapun yang terjadi akan baik-baik saja. Ya, tentu saja terjemahkan sendiri arti "baik" untukmu. Jadi jangan lupa bersulang dengan kesempatan-kesempatan yang masih ada. Sesekali menarilah bersamanya. Sekian kali kuingatkan lagi, jangan lupa jadi bahagia meski hanya karena hal-hal sederhana.

Sedih itu biasa. Yang luar biasa itu sedih tapi dinikmati jadi bahagia. Sebab setiap hal berjalan. Sebab setiap kita adalah pejalan. Sebab setiap kita dalam perjalanan. Sebab setiap perjalanan adalah kesempatan. Dan setiap kesempatan adalah penmbelajaran.

Ya hanya begitu. Hanya itu. Jalani saja sampai waktu menemukan ujungnya dan kita selesai.

Jumat, 12 Februari 2021

Review Buku : "Segala-galanya Ambyar"

Akhirnya, selesai juga membaca buku kedua karya Mark Manson. "Segala-galanya Ambyar (Everything is Fuck)", begitulah judulnya. Lagi-lagi Mark Manson mengingatkan kepada pembacanya bahwa penderitaan dan kesedihan datang untuk dihadapi, bukan untuk ditinggal lari. Buku ini berisi tentang bagaimana menyikapi sebuah harapan dan sekaligus menjadi peringatan agar kita tidak tenggelam dalam pengaruh narsisisme manusia.

Seperti di judul buku sebelumnya, Mark Manson banyak menyuguhkan contoh real atas pemikiran-pemikiran yang dimiliknya. Wiotld Pilecki, seorang perwira perang Polandia yang akhirnya dijatuhi hukuman mati karena keahliannya jadi mata-mata terendus lawan menjadi cerita pembuka di buku ini. Dia berani, memiliki harapan tinggi, dan sekaligus harus mati karena membela negaranya sendiri. Dia tidak pernah menyesali perbuatannya dan malah menutup pidatonya dengan kalimat heroik "Aku telah mencoba untuk menjalani hidupku sebaik mungkin, maka menjelang ajalku kini yang kurasakan justru kegembiraan, bukan ketakutan". Waw, dahsyat. Begitulah harapan bekerja. Dia bermakna, setidaknya untuk terus menjalani kehidupan. Setidaknya ada 3 hal yang dibutuhkan untuk membangun dan merawat sebuah harapan, yaitu kesadaran akan kendali, kepercayaan akan nilai, dan sebuah komunitas.

Cerita kedua datang dari seorang Elliot. Seorang eksekutif di sebuah perusahaan besar yang jenaka dan disayangi istri, anak-anak, teman-teman, dan semua orang yang ada disekitarnya. Tapi belakangan dia didiagnosa terkena tumor otak. Dokter bedah telah mengambil tumornya, dia sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa, tapi situasi malah bertambah buruk. Kinerjanya turun, dia dipecat, diceraikan istrinya, dan ditinggalkan anak-anaknya. Ya, semua kekacauan ini berangkat dari operasi pegangkatan tumor yang dijalaninya. Kendali diri seorang Elliot hilang. Dia tidak lagi bisa berempati dan merasa. Frontal lobotomy yang dijalaninya telah mengubah orang yang sakit jiwa menjadi idiot. Karena itulah maka Tom Waits lebih memilih menyukai hobby minum daripada tidak memiliki gairah sama sekali,. Dia merasa lebih baik menemukan harapan di tempat sederhana daripada tidak sama sekali. Karena menurutnya tanpa gejolak hati yang liar, kita menjadi hampa.

Disinilah pentingnya menyelaraskan antara otak pemikir dan otak perasa. Kamu sudah tahu tentang ini? Bahwa diri kita adalah ibarat mobil badut. Otak perasa adalah sopir kita dan otak pemikir adalah navigatornya. Otak perasa menghasilkan emosi-emosi yang membuat kita tergerak untuk bertindak dan otak pemikirlah yang menyarankan tindakan itu harus dilakukan. Ya benar, hanya menyarankan. Sebab tidak selamanya otak pemikir bisa mengendalikan otak perasa. Lalu bagaimana caranya? Penulis ini bilang kita bisa memulainya melalui empati dan perasaan-perasaan. Dan jangan pernah berkelahi dengan otak perasa atau dia akan menjadi semakin kusut dan menjadi-jadi. Dan tentu saja kita tidak akan menang melawannya.

Oh ya, memang hidup ini sulit dan tidak bisa ditebak. Begitupun dengan pejalan dan perjalanannya yang semakin memuakkan. Sadar atau tidak, kita telah ditakdirkan untuk selalu bertikai hanya karena perbedaan-perbedaan kecil. Lalu kita (sering) tidak membenahi masalah sendiri dan malah menyalahkan orang lain. Kita selalu butuh menganggap bahwa diri kita ini penting. Ya, kenapa tidak? Beginilah awal mula moralitas tuan dan moralitas budak merebak.

"Amorfati" (mencintai nasib) adalah formula milik Nietzsche untuk bisa menjadi manusia yang besar. Dia menerima dan mencintai apapun yang ada di hidupnya dengan tanpa syarat. Katanya "Aku mencintai mereka yang tidak tahu cara untuk hidup. Karena merekalah orang-orang yang sukses menyeberang."

Manusia tumbuh dengan urutan kesadaran. Urutan kesadaran pertama adalah fase anak. Fase dimana eksplorasi sedang gencar-gencarnya dilakukan. Tidak peduli dengan pandangan orang lain, inginnya hanya senang dan senang. Lalu lanjut ke fase remaja. Fase yang menjunjung tinggi nilai transaksional. Fase dimana kita mengerti bahwa rasa sakit merupakan pertukaran yang harus diterima demi meraih sebuah tujuan. Lalu berlanjut ke tingkatan terakhir dan paling penting, yaitu fase dewasa. Sebuah fase dimana kita hanya perlu melakukan apa yang benar dengan sebaik-baiknya untuk sebuah alasan sederhana tanpa mencari imbalan dan tanpa mempedulikan apapun konsekuensinya. Beginilah seharusnya pandangan tentang kemanusiaan berjalan. Bukan sebagai sarana, tapi sebagai tujuan yang berdiri sendiri. Disinilah sarana belajar kita untuk menjadi lebih bijaksana membawa diri kita menuju kedewasaan yang sesungguhnya.

Penderitaan akan selalu ada. Penderitaan adalah pengalaman. Dan menjadi kebal karenanya adalah sebuah pilihan. Karena hidup dengan baik bukan berarti menolak penderitaan, tapi menderita untuk alasan-alasan yang benar supaya kita bisa belajar menderita secara tepat.

"Anda diminta untuk terus berlatih sampai bosan. Terimalah kebosanan itu. Peluklah kebosanan itu. Cintailah kebosanan itu."

Kualitas kehidupan tergantung dengan kualitas karakter. Dan kualitas karakter tergantung dengan hubungan tuan bersama deritanya. Itulah kenapa kita tidak boleh lari penderitaan dan malah harus bersentuhan dengannya lalu menemukan makna dan nilai didalamnya.

"Penderitaan itu mungkin menjadi semakin mendingan, barangkali berubah bentuk, barangkali semakin bisa dihadapi hari demi hari. Namun, dia selalu ada. Penderitaan adalah bagian dari kita. Penderitaan adalah kita."

Paradoks kemajuan telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa semakin baik kondisi yang kita dapatkan, semakin cemas dan putus asa diri kita. Orang-orang banyak mengenal ini sebagai Efek Titik Biru. Sejatinya setiap kita bersifat emosional, hanya saja banyak diantara kita yang lihai menyembunyikannya. Jangan pernah menertawakan ini, atau ini akan semakin memperjelas bahwa anda termasuk salah satunya. Ah dunia ini, selalu saja digerakkan oleh "perasaan". Dan perasaan senang, tidak akan mengenal kata cukup. Padahal bentuk merdeka yang sejati adalah pembatasan diri. Tapi ya apapun itu, "Tidak perlu mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Cukup hiduplah dengan baik. Jadilah lebih murah hati, lebih tabah, lebih rendah hati, lebih disiplin. Jadilah manusia. Tapi tidak. Jadilah manusia yang lebih baik. Dan barangkali, jika kita mujur, suatu saat kita akan menjadi lebih baik dari sekedar manusia."

Akhirnya sampai juga di paragraf akhir ini. Sampai jumpa di review selanjutnya. Selamat menikmati bacaan berat ini. Aku membutuhkan (mungkin) 6 bulan menyelesaikan 346 halaman buku ini. Agak malas atau memang aku yang lelet memahaminya. Tapi apapun itu, semoga bermanfaat untuk kalian semua.

Salam sayang.

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....