Jumat, 20 Desember 2019

Sudut Ruang Milik Ibuku

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berpelukan dengannya, menceritakan hari-hari paling menyenangkan dan sekaligus melelahkan atau bahkan menyebalkan yang aku lalui di keseharianku. Tapi meski tidak ada pelukan, hari-hariku dengannya tetap penuh dengan cerita-cerita yang kadang menjadikan gaduh diantara kami. Aku kadang tertawa mendengarkan ceritanya, dia kadang marah mendengar ceritaku. Aku hampir tidak pernah benar dihadapannya, dan dia hampir tidak pernah dihadapanku. Beginilah ceritaku bersama ibuku. Ibu yang tak mau ku panggil "ibu" karena dia bukan pegawai kantoran katanya. Ibu yang tak mau ku panggil "mamah" karena dirasa terlalu wah untuknya yang hanya menjadi seorang ibu rumah tangga. Ibuku hanya mau dipanggil "mamak" oleh anak-anaknya, tapi tidak dengan suaminya. Bapakku sering memanggilnya dengan sebutan "mamah". Ya, terakhir kali aku mempermasalahkan ini, ibuku hanya terdiam dan berkata "Bapakmu udah manggil gitu sejak dari sebelum nikah sama mamak tahu?". Oke baiklah, aku menyerah.

Ibuku berbeda dengan ibu-ibu di seluruh dunia. Ibuku dingin luar biasa, saking dinginnya sampai hatiku jadi hangat setiap berhadapan dengannya. Ibuku tak pernah berkata halus, suaranya keras, sudah terlanjur katanya. Ibuku cerewet, bicaranya tak pernah bisa berhenti sebelum kemauannya dipenuhi. Ibuku minim pelukan, aku menangispun ibuku hanya menyuruhku bersabar. Ibuku seorang pembenci, aku pernah mendengarnya menggerutu begitu hebat dan berkata tidak akan memaafkan orang-orang yang menyakitinya. Jalan hidupnya begitu pelik, aku sangat mengerti ini. Tapi aku takut, aku tak ingin menyaksikannya pergi dengan hati yang penuh benci. Aku takut tidak bisa bertemu dengannya lagi di surga-Nya Allah kelak. Ibuku aneh, aku sampai tak habis pikir dengan apa yang menjadi keputusanya atau mungkin dengan sesuatu yang sedang dipikirkannya. Kadang aku lama diam hanya karena terpaksa mengiyakan kemauannya.

Tapi ibuku rajin luar biasa, sebelum subuh dapur dan kamar mandi sudah menjadi peraduannya. Ibuku juga mandiri, tak pernah mencoba merepotkan orang lain termasuk aku sebagai anaknya, kecuali dia sedang benar kerepotan dan terhalang sesuatu. Ibuku juga pekerja keras, meski akhir-akhir ini sering mengeluh capek dan sakit. Aku ingat betul waktu bapak pergi entah kemana, mamak bekerja seorang diri menghidupi aku dan adik kecilku yang gendut waktu itu. Tak pernah peduli kotor, tak pernah peduli cuaca, tak pernah peduli capek, tak pernah peduli malu. Ibuku sanggup melakukannya sendiri, tanpa aku perlu membantu. Ibuku juga perempuan yang kuat, dia tak pernah merasa keberatan meski orang-orang banyak menaruh ketidaksukaan dengannya. Ibuku teramat penyayang, setiap hari selalu ada menu-menu makanan penuh cinta dihidangkannya di atas meja makan. Ibuku lihai mengurai sedih menjadi sesuatu yang menjadikannya kuat, aku tak ingat kapan terakhir kali dia menangis setelah sakit hati yang tidak bisa ditahannya lagi waktu itu. Ibuku sangat ramah, teman-temannya mungkin lebih banyak daripada teman-teman yang aku punya. Setiap pergi mengantarkannya, orang-orang begitu akrab dengannya. Aku merasa beruntung memilikinya.

Picture by : G o o g l e
Aku ingat waktu itu, ketika aku masih menjadi gadis kecilnya. Dia ajak aku kemana dia pergi. Dia gendong aku kemanapun kakinya melangkah. Katanya, aku tidak pernah punya siapa-siapa kecuali dia, bapak, juga seorang perempuan paruh baya lebih tua darinya yang selalu membantu menenangkanku ketika aku menangis. Eyangku atau saudara-saudara ayahku tak perduli denganku, tertawa malah menjadi jalan untuk menganggap aku dan ibuku ada. Mereka lucu, aku berharap besar bisa berhubungan akrab dengan mereka semua. Pagi sekali ibu sering mengajakku naik bis trayek ke daerah dekat kecamatan. Aku begitu hangat digendongnya menuju sebuah wartel untuk mencari atau menyampaikan sesuatu kepada bapak. Aku ingat betul bagaimana segarnya udara pagi itu. Sudah tidak seperti sekarang, sudah terkontaminasi.

Rambutku bagus, panjang sekali, tapi agak mengombak. Ibuku mengepangnya begitu rapi. Dibisikannya doa-doa terbaik yang dimilikinya untukku. Aku begitu merindukan semua ini. Sekedar duduk di depannya dan kemudian menikmati sisir yang digerakkan oleh tangan yang mulai keriput itu. Menjadi anak gadisnya membuatku harus bekerja keras untuk bisa mendapatkan moment itu lagi. Aku bahkan rela tidak memotongkan rambutku ke salon hanya demi mendapatkan belaian lembut darinya di kepalaku yang kadang menjadi sekeras batu ini. Oh aku ingin kembali menjadi gadis kecil itu lagi.

Dan hari ini adalah peringatan hari ibu. Tapi entah kapan aku bisa dengan lantang mengucapkannya kepada ibuku. Mengucapkan selamat ulang tahunpun aku tak pernah. Ibuku bilang tanggal lahirnya yang tertera di KTPnya audah dimanipulasi oleh kakek dan nenekku sewaktu pembuatan akte. Zaman dulu tidak ada pencatatan seperti sekarang ini, bahkan menuliskan apapun oleh mereka adalah dengan cara mengira-ngira.
Ibuku tidak suka sesuatu yang manis. Dia tidak suka sesuatu yang romantis, apalagi diperlakukan dengan begitu istimewa. Ibuku berbeda, aku sudah menjelaskan begitu awal tentang ini kepadamu. Ibuku adalah jiwa yang penuh dengan cinta. Cinta milik ibuku adalah cinta yang berbeda. Berbeda adalah ciri khas ibuku. Ibuku adalah rumah. Rumah bagi jiwa-jiwa yang kadang kosong dan hilang arah.
Walau ibuku adalah rumah yang dingin. Tapi ibuku begitu menghangatkan. Dia adalah sumber dari segala cinta. Cintanya begitu luas dan tak mengenal batas. Sampai jauh aku ingin jatuh begitu dalam kepadanya. Sampai jauh aku ingin terbang begitu tinggi ke arahnya. Sampai jauh aku ingin lari menujunya. Sampai jauh aku ingin selesai dipangkuannya. Sampai jauh, sampai jauh, sampai semua tanda tanya berhenti berseru. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu, IBU. Ijinkan aku memanggilmu "ibu".
Disini, di ruang rahasiaku ini, aku memujamu dengan sungguh.

Selamat hari ibu "Ibu"

Terimakasih untuk apapun yang telah ada. Maaf belum bisa mendengarmu dengan sungguh. Maaf belum bisa memahamimu dengan penuh. Maaf belum bisa jadi yang sepenuhnya kau harapkan. Maaf masih merepotkanmu. Maaf untuk segala salah yang mungkin belum ku sertakan dengan kata maaf yang ku haturkan kepadamu. Satu yang akan menjadi selamanya, kau adalah ibuku dan aku adalah gadis kecilmu. Aku tak akan pernah menjadi dewasa dihadapanmu, aku tahu itu, dan aku yakin kau tak pernah menyadari perlakuanmu padaku atas itu.

You are everything to me mom.
You are my best mother.
I love you so much.

Salam hangat dariku,
Endok

-----------------------------

Salam Literasi


Minggu, 17 November 2019

Tentang Aku dan Sebuah Cermin

Aku termenung menatap bayangan diri. Di depan cerminku aku berdiri, menilai satu per satu kualitas diri. Sesekali terlontar kata-kata penguat diri, tangisku pecah, aku memeluk bayangku sendiri.

"Aku bukan orang yang hobby selingkuh" kataku menjaga jarak. Aku mundur kira-kira 2 langkah dan kemudian kembali menatapnya. "Aku bukan orang yang hobby selingkuh"

"Ya, aku tahu. Kamu bahkan belum pernah memilikinya sebelum aku" katanya mengingatkanku.

"Aku takut meneguk kecewa"

"Dan aku tidak akan pernah melakukan itu"

"Jangan berjanji. Berusahalah"

Aku tak pernah percaya dengan sebuah janji. Rasanya lebih tenang mendengar seseorang mengatakan dirinya akan berusaha, dari pada menebar janji-janji diri yang kebanyakan malah banyak dinodai. Terlalu basi atau lebih tepatnya janji bukan sesuatu yang bernilai spesial lagi. Terlalu banyak yang melakoninya dengan buruk. Aku benci menyaksikan ini.

"Sungguh"

"Aku takut"

"Tidak ada yang menyakitimu"

"Ya, sudah tidak lagi. Dan, semoga tidak akan ada lagi"

"Hei......"

"Tidak ada yang akan benar-benar tahu"

"Lalu?"

"Tidak jadi. Hanya takut sesuatu terulang lagi"

"Tidak akan"

"Ya, semoga kau benar"

Ya, dan aku hampir tidak percaya dengan masa depan. Orang-orang itu? Aku bahkan terlampau egois dan menganggap mereka semua sama. Tidak adil memang, tapi untuk orang-orang yang setipe denganku akan sangat sulit untuk tidak melakukan itu. Kejadian itu begitu menakutkan. Kau yang tidak pernah melakoninya tidak akan tahu benar bagaimana rasanya.

"Percayalah"

"Dan kau?"

"Dan aku?"

"Berjanjilah untuk tidak melakukan itu kepadaku"

Bicara apa aku? Bahkan aku telah secara tidak langsung memintanya berjanji? Padahal, aku sendiri saja sudah tidak percaya janji. Racunku ku teguk sendiri, aku bunuh diri.

"Maksudmu?"

"Bukankah kau adalah cerminan diriku?"

"Tentu saja"

"Bukankah sosok asli dengan sosok yang ada dipantulan cermin itu sama?"

"Tidak ada beda"

"Jadi, kita sepakat?" kataku sambil mengulurkan jabat tangan.

"Untuk?" katanya menyambut uluran jabat tanganku.

"Untuk tetap menjadi bayangan satu sama lain" kataku lirih.

Bagus. Aku telah mengatakannya, tepat di hadapannya. Aku berhasil, aku telah berhasil mengatakannya.

"Aku mendengarnya"

"Harusnya, tidak" kataku menyesal.

"Tapi"

"Apa?"

"Aku tidak akan berjanji. Tapi percayalah, aku akan berusaha"

Ya dia paling tahu apa yang aku mau. Termasuk dengan tidak berjanji perihal apapun. Bukti pertama darinya, dia tidak mengecewakanku. Yang telah ku sampaikan, terpatri benar diingatannya.

"Aku suka itu"

"Aku tahu"

"Dan sekarang?"

"Sekarang? Ada apa?"

"Aku bahagia"

"Aku? Tidak begitu"

"Tapi?"

"Lebih dari apa yang kamu rasakan. Aku beruntung"

Senyumnya begitu manis. Aku terpaut, tenggelam dalam romansa jatuh cinta yang begitu indah. Kalau aku benar berhasil memilikinya, tidak ku biarkan apapun meniadakannya. Senyuman itu, biar jadi alasanku jatuh cinta kepadanya. Kepada dia yang telah berjanji tidak akan pernah berjanji lagi.

"Aku tahu"

"Tapi kamu ragu"

"Sudah tidak lagi. Aku sudah menemukan apa yang aku mau"

Tidak sesempurna yang ku mau, tapi sepertinya dia cukup untuk menjadi apa yang aku butuh. Bukankah ini lebih dari cukup? Tentu saja.

"Kau percaya padaku?"

"Aku berusaha. Dan semoga kau tidak mengecewakanku"

Aku mendekat, dia juga. Kami sama-sama mendekat. Dan peluknya ku rasakan begitu hangat. Aku nyaman merebah ke dada bidangnya.

"Aku butuh doamu"

"Pasti"

"Juga percayamu"

"Itu juga"

"Akankah aku berhasil?"

"Apa?"

"Membahagiakanmu"

"Dan ayah bundamu"

"Tentu"

"Jika kau mau. Allah tahu apa yang menjadi inginmu"

"Terimakasih bidadariku"

"Kembali kasih tuanku"

"Aku mencintaimu"

"Aku lebih mencintaimu karena-Nya"

"Aku tahu aku tidak akan pernah menjadi yang pertama"

"Tak apa, kau tetap yang utama setelah-Nya"

Pelukan itu selesai, tepat setelah kecup lembutnya mendarat di keningku. Tangisku mereda. Lalu aku meringankan langkah. Aku pergi, jauh, semakin jauh dari cerminku. Aku takut, setakut ini untuk membuka lagi ruang percaya. Aku sulit, sesulit itu menutup luka lama, bahkan atas apa saja yang aku sendiri belum pernah melakukannya.

Tapi usai, aku selesai dan berakhir dengan kata rela. Meski ragu, perlahan ruangku terbuka. Aku telah mencoba, aku berlari, aku menyusuri lorong-lorong kehidupan ini, aku mencari bayangku, aku mencarinya, siapa saja yang akan menjadi cintaku.

Oh Tuan, dimanakah kau?

Aku mencarimu.

---------------------------------------------------------

Salam Literasi

Jumat, 25 Oktober 2019

Si Cantik, Penghuni Balkon Lantai Atas

Aku baru saja sampai di depan gerbang kosku. Seseorang memanggilku "Hai phen".

Seorang perempuan sebayaku melambaikan tangan dari balkon lantai paling atas. Dia berdua dengan teman sekamarku. Mereka tersenyum kepadaku.

"Oh hai mak" kataku.

"Tunggu, aku butuh bantuanmu. Sebentar, aku turun" katanya tergesa.

Elma (begini aku memanggilnya akrab) berjalan setengah lari menuruni anak tangga menujuku. Rahma (teman sekamarku) masih memandangiku sambil tersenyum dari atas balkon.

"Rapi sekali. Mau kemana dia?" kataku membatin.

Elma baru saja membuka gerbang kos dan berlari ke arahku "Antarkan aku ke Tembalang Stationary ya phen. Ada yg ingin ku beli disana".

"Oke, ayo cuss" kataku.

"Sebentar, aku kunci gerbang dulu" katanya.

Aku memutar arah motor dan kami berdua berangkat. Waktu itu sudah sore, bahkan menjelang magrib. Kebetulan hari itu kuliahku masuk siang, jadi sore baru selesai. Maklum, kuliah di Politeknik jauh berbeda di Universitas. Jam kuliah sama saja seperti jam sekolah anak SMA. Aku hampir tidak menemukan perbedaanya, kecuali statusku yang semula siswa menjadi mahasiswa. Haha.

"Rahma mau kemana mak?" kataku kepo.

"Rahma? Dia belajar di kamar. Besok ada kuis katanya" jawabnya.

"Bercanda kamu mak. Tadi dia di balkon bareng kamu. Rapi banget, ku kira mau kemana" kataku heran.

"Ada tuh kamu yg ngelawak. Aku di balkon sendirian yo, Rahma belajar di kamar. Aku dari sana sebelum meneriakimu" katanya panjang.

"Enggak yo, tadi dia di sampingmu tauk mak. Senyum-senyum gitu ke aku, mana cantik banget lagi" kataku ngeyel.

"Ya Allah phen, ngapain aku boong si" katanya menyerah.

"Lhah terus tadi yang aku lihat siapa dong mak?" kataku bertanya-tanya.

"Jangan-jangan.........." katanya menggoda.

"Stop, diam kau" kataku ketakutan.

"Hahaha enggak enggak phen, bercanda tauk"

Tak butuh waktu lama untuk sampai di tempat yang Elma maksud. Dia masuk sendiri ke Tembalang Stationary, sedangkan aku memutuskan menunggu di parkiran sambil terus mencari jawaban atas pertanyaanku tadi.

"Dihh, kalau bukan Rahma jadi siapa tadi yang ku lihat?" kataku sebal.

Elma kembali setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan. Beberapa lembar kertas berwarna, spidol, dan alat tulis apa entah. Dia memang suka sekali berkreasi dengan kertas-kertas berwarna kesayangannya. Kamarnya ramai sekali, madingnya apalagi. Andai kamarku adalah kamar yang ku tempati sendiri, akan ku buta kamarku lebih ramai dari kamarnya.

Dari Tembalang Stationary, kami langsung pulang. Dia membuka gerbang setelah kami sampai di depan kos dan aku memakirkan motorku. Setelah terparkir, aku langsung naik menuju lantai paling atas. Kamarku ada di lantai 4 paling pojok, di dekat dapur. Kamar paling luas yang menjadi kamar satu-satunya di kosku yang dihuni sekamar berdua.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam, tumben udah pulang phen?" tanyanya.

"Semprul lu. Eh bear, kamu tadi di balkon rapi amat mau kemana emang?"

"Di balkon? Enggak. Aku di kamar dari sejak pulang kuliah"

"Seriusan? Gak boong kan?" kataku ketakutan.

"Yoi, pusing tauk besok ada kuis" katanya sambat.

"Terus tadi yg aku lihat siapa dong bear? Perawakannya cantik, rapi, lemu, senyumnya duh, mirip kek kamu. Seriusan" kataku menjelaskan.

"Halu kamu phen"

"Asemm ya, seriusan tauk bear, kamu gak percaya?"

"Bukannya enggak percaya pear, tapi emang aku dari tadi di kamar dan enggak kemana-kemana"

"Ahh tauk ahh"

Dia tersenyum, dan aku pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Jadi siapa yg ku lihat tadi?" kataku menggerutu. Bulu kudukku berdiri mempertanyakan ini.

"Kenapa tho dek?" tanya seseorang.

Aku akrab memanggilnya dengan nama Mbak Vio. Mahasiswa jurusan sipil universitas sebelah yang lebih tua 2 tingkat diatasku. Kamarnya disebelah kamarku persis, aku sering berbagi cerita sama dia, tapi sepertinya belum tentang ini.

"Masak nih ya, tadi pas aku baru sampe depan kos kan Elma manggil aku dari balkon ya mbak ya. Nah aku tuh liat Rahma juga disampingnya dia. Mereka berdua senyum tuh ke aku. Terus aku nganter Elma ke Tembalang Stationary. Pas diperjalanan aku tanyalah ke Elma, "Rahma mau ke mana mak, kok rapi banget?" Eh kata Elma malah Rahma di kamar lagi belajar. Padahal nih jelas-jelas aku tuh liat Rahma disampingnya Elma, mana dia cantik banget tauk mbak." kataku panjang.

Mbak Vio ketawa sambil meniriskan tempe goreng buatannya. Aku masih kebingungan dengan semua yang terjadi. Ahhh ada apa dengan hari itu?

"Kok kamu malah ketawa si Mbak?" tanyaku kesal.

"Enggak papa, lanjutin ceritanya"

"Iya gitu, terus kan aku kepo ya mbak. Sampe kamar aku tanya ke Rahma, eh dia bilang dia emang dari pulang kuliah di kamar, belajar. Lhah, terus yang aku lihat tadi siapa dong mbak? Masak iya aku halu?" kataku merendah.

"Wkwkwk kamu ada-ada aja dek."

"Ihh merinding tauk mbak"

"Udah biasa aja. Embaknya emang lagi pengen ngelihatin wujudnya ke kamu paling" katanya memulai cerita.

"Ih seriusan mbak? Nggak usah nakut-nakutin deh ah. Nggak lucu taukk" kataku sebal.

Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah panikku. Kemudian Mbak Vio mulai menjawab semua pertanyaanku.

"Di lantai atas emang ada semacam penunggunya dek, lebih disekitaran tempat jemuran tapi." katanya singkat.

"Mbak Vio emang bisa lihat kaya gituan?"

"Cuma bisa ngerasain hawanya aja si, enggak mau juga lah ngelihat yang begituan. Mending nggak usah. Haha"

"Bentar-bentar, di jemuran mbak? Jadi kalo aku nyuci malem-malem? Kalo aku pas pulang tengah malem? Ihhh serem" kataku sambil membayangkan.

"Iya, kamu ditemenin embaknya (mungkin)."

"Ihh mbak Vio rese ih" kataku sambil mencubit lengannya.

"Enggak-enggak dek, embaknya baik kok. Emang lagi pengen nongol aja kali tuh. Haha" katanya tertawa.

"Udah ah mau mandi. Mbak Vio jangan kemana-mana ya, tungguin aku sampe kelar." kataku sambil menuju kamar mandi.

Tidak ada cerita lanjutan tentang siapa sosok yang menampakkan dirinya mirip Rahma tapi lebih cantik itu. Mbak Vio tidak tahu dan tidak mau menanyakan tentang siapa sosok itu kepada teman ngobrolnya di kos, sebelum aku dan Rahma ada disana. Tapi dia bilang, embaknya baik hati, selagi kita enggak ngganggu. Sebenarnya sebelum kejadian itu memang tidak pernah ada kejadian apa-apa.

Mungkin hanya kebetulan atau mungkin memang benar kata mbak Vio, sosok itu sedang ingin menampakkan dirinya ke hadapanku. Untungnya pas nampak pas lagi cantik pake banget. Nggak kebayang gimana rasanya ngelihat yang wujudnya absurd kaya yang kebanyakan orang ceriatin.

Tapi ya kenapa harus aku? Entahlah.
.
.
(Sebuah cerita pendek yang terjadi sekitar tahun 2015 di sebuah kos kelas menengah yang berlokasi di belakang Stove Sindicate, Ngesrep Timur, Tembalang, Semarang)

Senin, 21 Oktober 2019

Kepada Entah yang Gemar Menjelma

Picture by : Google
Hari ini secerah hari-hari lalu. Langit menyapa dengan sangat biru. Udara sejuk suasana pegunungan menyegarkan jiwa-jiwa yang terbangun dari mimpi semalam. Kupu-kupu berbalut mahkota berwarna biru terbang menuju kembang mawar merah yang mekar di halaman kantor. Seunting senyum terlukis indah di bibir mungil seorang perempuan berwujud aku.

Tak lupa yang ku ingat selalu, panjatan rasa syukur yang begitu besar kepada Rabb-ku, Dzat Yang Maha Segalanya. Kepada-Nya aku tak henti berharap, memupuk banyak kata semoga meski memaksa diri pasrah terhadap takdir yang dipilihkan-Nya untukku yang hanya sebatang kara.

Burung-burung ramai menari. Di atas langit, atap duniaku yang begitu luas itu. Di luas alas sebuah pandang yang silau membiru, mereka berbondong-bondong, bersuara gaduh seperti ingin mengabarkan sesuatu. Pandangku rancu, kosong, jiwaku seolah pergi meninggalkan raga yang melemah ditinggalkan kekasihnya. Senyumku hilang, terbawa terbang burung-burung yang tak ku ketahui jenisnya itu.

"Ada apa gerangan?" kataku berbisik pilu.

Kepalaku terasa berat. Ku rebahkan perlahan. Ku pejamkan kedua mataku sekejap, tapi tiba-tiba basah. Air mataku luruh tanpa terasa. Tanganku bergegas menyeka, aku tak ingin ada siapapun mempertanyakan penyebabnya.

Sebuah lagu mengalun indah menemani lamunanku di siang yang sepertinya terik ini. Aku bahkan tak benar-benar merasakannya. Suasana ruang kerjaku terlalu nyaman untuk ku tinggalkan demi sekedar memastikan ini. Aku melanjutkan rebahku.

Air mataku kembali luruh, kali ini tak hanya kedua mataku yang basah karenanya, bagian wajah sebelah kiri juga meja kerjaku ikut larut menikmatinya. Aku menangis kecil, meratapi apa entah. Bibirku tak henti bergumam. Lafadz Lahaulaawalaaquwwataillabillahil'aliyiladzim tak berhenti ku ucap semenjak kedua mataku ku pejamkan paksa. Setidaknya ini adalah bentuk pasrahku kepada Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Mengetahui Segalanya.

Seorang perempuan seumuran denganku melintasiku dengan sumringah.

"Aku sedang rindu, tapi aku tak tahu untuk siapa itu" kataku spontan.

"Hah, gimana?" katanya tersedak. Air putih dimulutnya tumpah, aku hampir saja ikut menikmatinya.

"Aku sedang rindu, tapi aku tak tahu untuk siapa itu" kataku mengulang. Aku bahkan tak berganti posisi sama sekali dari posisiku sebelumnya.

"Dihh aneh" katanya heran.

"Hahhhaa" sahutku sambil tertawa kecil.

"Ada tuh kalo kangen ya tahu siapa yang dituju kali pen" katanya menjelaskan.

"Kata siapa? Aku enggak tuh" kataku ngeyel. Kali ini aku mengangkat kepalaku dan mulai membenahi posisi dudukku.

"Lhah terus?"

"Ya aku nggak tahu. Gini aja, ngalir kek air" kataku bingung.

Lalu perempuan itu pergi, kembali ke meja kerjanya dengan membawa segelas air putih yang baru saja diambilnya dari dapur kantor. Raut wajahnya mengundang sejuta tanya, sedang aku berlaku sebaliknya. Isi kepalaku mengundang sejuta jawab.

"Akan kepada siapa rinduku ini akan pulang?" kataku berbisik.

Dan aku sedang tidak ingin melakukan atau menginginkan apapun juga siapapun. Pekerjaan yang berbaris rapi dihadapanku sama sekali tak membangunkan gairahku untuk segera menyelesaikannya. Teh hangat di pojok kiri meja kerjaku apalagi, semut-semut mungil itu telah lebih dulu menikmatinya. Bahkan langit biru tak berhasil membujukku agar aku segera mengeluarkan ponsel kesayanganku, dan kemudian membuka fitur kamera lalu melakukan posting di sosial media. Untuk apa? Tak berguna.

Langit biru itu, ahh biar dia memandangiku dari jauh. Biar aku memandangnya lebih jauh, biar kami saling pandang dan saling bertemu diantara apa-apa yang mempertemukan kami. Karena jiwa yang satu akan saling bertemu. Begitupun aku dan langit biru itu. Tapi aku, apakah dia adalah jiwaku? Apakah dia adalah jawaban atas tanyaku? Atau apakah dia adalah saksi atas kerinduanku? Atau apakah, ahh harus berapa apakah lagi yang harus aku utarakan untuk menjawab ini semua?

Dan tidak ada yang menjawab, tidak ada yang bisa menjawab, juga tidak ada yang perlu menjawab.
Semua membisu.
Rinduku membeku.
Aku pilu.
.
.
.
(Kudus, Oktober 2019)

Jumat, 23 Agustus 2019

Waktu Ayah Pergi

Seharian aku tak tenang, dia hilang seharian tanpa memberi kabar setelah semalam mengabarkan kepadaku bahwa dia akan pulang ke kampung halaman. Mendadak memang. Dia bilang tiba-tiba ingin pulang. Padahal sebelumnya dia bilang beberapa waktu ini akan sibuk karena pekerjaannya.

"Malem beb"

"Malem beb. Kok berisik si, lagi di jalan ya?" tanyaku

"Iya nih, lagi buru-buru"

"Mau kemana beb?"

"Aku mau pulang"

"Pulang ke kosan?"

"Pulang ke rumah bunda dong sayang"

"Lhoh kok tiba-tiba si beb. Katamu kemarin bakal sibuk?"

"Iya nih. Tiba-tiba pengen pulang, bunda kangen katanya"

"Dasar. Tapi beneran cuma gara-gara itu beb?"

"Iya sayang. Udah dulu ya. Pesawatku udah mau take off nih. Besok ku telfon lagi"

"Terus kerjaanmu?"

"Bunda lebih dari segalanya. Rejeki ga akan lari kemana kan beb? Kalaupun aku kena pecat, aku akan cari yang lain"

"Iya bener. Ya udah hati-hati ya beb. Titip salam buat Bunda. Kabarin kalau udah sampai"

Begitu kira-kira percakapan singkatku semalam sebelum kepulangannya. Sebenarnya tidurku semalam tidak begitu nyenyak. Seperti ada sesuatu yang ramai di kepalaku, tapi aku sendiri kurang tahu apa itu. Pikirku tak jauh dari Tuan yang tiba-tiba berpamitan pulang secara tiba-tiba. "Sebenarnya ada apa? Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku?" kataku membatin.

Dan sekarang, pandangku tak lepas dari layar ponsel yang setia digenggamanku sedari tadi. Entah sudah berapa kali panggilan keluar terhitung di log panggilan ponselku. Aku bahkan tidak sempat mengeceknya. Kalutku membesar setelah pagi tadi sebuah panggilan masuk mengabarkan kepadaku bahwa ayah telah tiada. Teman karibnya menelponku, mengabarkan tentang ini juga tentang Tuan yang hatinya sangat sedih karena ini.

Picture by : Google
Ayah? Lelaki itu, lelaki yang akan jadi ayahku juga. Lelaki yang diceritakan tuan beberapa kali kepadaku itu telah tiada. Lelaki yang terdengar begitu hebat kepribadiannya. Lelaki yang diceritakan sangat mencintai istrinya, anak-anaknya, juga keluarganya. Lelaki yang sempat membuatku iri karena banyak hal baik yang ada pada dirinya. Lelaki yang akhir-akhir ini aku idam-idamkan sebagai calon ayah mertuaku, kakek dari anak-anakku. Lelaki itu telah begitu cepat pergi. Padahal aku belum sempat benar-benar berkenalan, atau sekedar berdialog, atau mewujudkan mimpi-mimpi baru dengan beliau.

"Hai ayah, sampaikan salamku kepada Allah, kepada Rasulullah, juga kepada orang-orang yang kau temui di surga sana. Aku mencintaimu meski kita belum benar-benar bertemu. Semoga surga menjadi ujung dari ini semua. Selamat jalan ayah, sampai jumpa"

Aku terkejut, tapi rasa itu terlalu kecil dibandingkan dengan kalutku yang tak kunjung menemukan arti. Panggilanku belum juga berhasil terjawab. Padahal sudah hampir adzan magrib. Aku pikir, prosesi pemakaman ayah sudah seharusnya selesai. Tapi tuan, dia kemana? Dia bagaimana? Dia sedang apa? Kenapa panggilanku tidak kunjung dijawabnya? Tuan, apa dia baik-baik saja?

Entahlah, sepertinya aku butuh mengadu kepada-Nya untuk mencari ketenangan diri. Ponselku ku letakkan begitu saja di atas tempat tidurku dan kemudian aku bergegas menuju tempat ambil air wudhu. Aku berniat sambil mencuci kedua tanganku, kemudian membasuh wajahku dan menyelesaikan proses wudluku. Adzan magrib telah selesai bertepatan dengan selesainya wudluku.

Dan aku menunaikan kewajibanku. Menyelesaikan 3 rekaat di pergantian antara terang dan petang yang telah datang. Aku panjatkan banyak doa panjang di setiap sujudku, memohon agar bisa mendengar kabar perihal tuan yang seharian menghilang. Aku juga ingin sekali mendengar kabar ayah sampai akhirnya tiada.

Tangisku mereda, persis setelah kata Aamiin terucap olehku di doa terakhirku. Aku berpasrah diri kepada-Nya dan meyakini bahwa apa yang terjadi adalah kehendak yang terbaik dari-Nya.
Masih berkemul dengan mukena berwarna biru terang pemberian mamak, aku beranjak menuju arah ponselku. Aku meraih ponselku kembali dan kemudian mencoba melakukan panggilan keluar lagi kepada tuan.

"Assalamualaikum beb" sapaku dengan girang.

Tapi hening, tidak ada suara. Dia diam, padahal layar ponselku menandakan bahwa panggilanku sudah masuk. "Hai tuan, adakah kau disana? Kenapa tidak menjawab salamku? Apakah ternyata itu bukan kau?" kataku tak henti menerka.

"Beb, assalamualaikum. Beb..... mas...... hallo......" kataku mencoba lagi.

Sedetik, dua detik, tiga detik, dan aku geram. Pikiranku semakin kalut entah mengkhawatirkan apa. Lelaki itu, sedang apa dia? Kenapa tak juga menjawab sapaku?

"Ya udah deh, kamu tenangin diri dulu. Nanti kalau udah lega, kabari aku ya. Maaf sudah mengganggu" kataku menyerah.

Tapi tiba-tiba terdengar suara isakan tangis. Seperti ada yang ingin disampaikan tapi belum bisa. Aku belum benar-benar menutup panggilanku. Mendengar suaranya hatiku menjadi sedikit lega. Setidaknya aku masih bisa memastikan bahwa yang mengangkat panggilanku adalah benar-benar dia.

"Waalaikumusalam........ beb" katanya menjawab.

"Alhamdulillah" sambil mengelus dada.

"Beb" sambil menahan isak tangis.

"Dalem"

"Maaf ya, lama"

"Iya nggak papa. Aku ngerti kok"

Isak tangis itu terdengar lagi. Aku tiba-tiba panik, bingung akan mengambil langkah apa. Sebenarnya aku ingin sekali mendatanginya, tapi belum bisa. Ada yang harus aku selesaikan. Oh ayah, kenapa tidak menungguku saja si? Kenapa tidak melakukan nego dengan malaikat yang mendatangimu? Harusnya kita bertemu dulu. Ah bicara apa aku? Ngawur.

"Beb, are you okay?" kataku memastikan.

"He em. Sedikit" katanya singkat.

"Ada yang mau diceritain ke aku nggak beb?" kataku mencoba mencairkan suasana.

"Belum ada"

"Ya udah, istirahat dulu gih. Aku tutup telponnya ya. Jangan lupa makan. Oh iya, sekalian titip salam buat Bunda ya. Bilangin, maaf belum bisa dateng ke sana"

"Beb"

"Iya"

"Jangan ditutup ya telponnya"

"Abis kamu cueknya kambuh si"

"Takut ketahuan kamu si"

"Ketahuan apa?"

"Ketahuan kalo aku abis nangis"

"Ya Allah, cah lucu"

Seketika aku tertawa kecil. "Cah Lucu". Biasanya dua kata itu sering dilontarkannya kepadaku, apalagi ketika aku sedang kacau-kacaunya dan salah menduga sesuatu.

"Masih sedih tha beb?" kataku

"Sedikit"

"Ya udah kelarin dulu sana gih"

Sekedip, dua kedip, sekian kedip, kenapa tidak ada suara lagi? Aku diam dan menyibukkan diri dengan menerka-nerka sesuatu yang terjadi kepadanya.

"Beb......... beb .......... mas ........... hallo ........ beneran mau ngelarin kesedihan nih?" kataku menebak

Tapi tidak ada suara. Lelaki itu kemana? Sedang apa dia? Kenapa tidak ada suara? Apa dia ketiduran? Apa dia sedang sholat? Apa dia sedang mengerjaiku dan tertawa puas melihatku bertanya-tanya begini? Ah apa-apaan aku ini.

"Beb ..... hallo...... ngomong kali ih. Beb ........"

Tiba-tiba ada suara.

"Hallo beb"

"Hmm"

"Maaf ya lama"

"Hmmm"

"Abis dari kamar mandi soalnya. Perutku tiba-tiba mules"

"Astagfirullahaladzim Ya Rabb. Pantesan dipanggil-panggil enggak respon. Kesel"

Dia memang sering begitu. Tiba-tiba hilang dan kembali dengan alasan yang menurutku lucu tapi tetap membuatku kesal. Aku sering dibuatnya kesal sekaligus tertawa membayangkan tingkahnya yang menyebalkan.

"Iya maaf, mau pamit ga sempet beb"

Aku diam, menikmati kesal dan lucu yang berbaur menjadi satu. Rasanya ingin sekali ku cubit lengannya dan kemudian memukulinya dengan penuh cinta. Lelaki itu, kenapa membuatku random begini?

"Mata empat"

"Ya"

"Mata empat"

"Apa?"

"Mata empat"

"Dalem"

"Mata empat"

"Iya mas"

"Mata empat"

"Apa sih beb?"

"Ya udah"

"Dasar annoying"

"Cuma kangen"

"Apaan?"

"Beneran"

Lagi, aku dibuatnya kesal lagi. Tapi ya gitu, aku tak pernah berhasil mengendalikan diri. Aku selalu ingin menjadi jawaban atas apa yang menjadi pertanyaannya, aku selalu ingin menjadi sesuatu yang melengkapinya.

"Udah ga sedih lagi nih ceritanya"

"Enggak. Kan udah berhasil bikin kamu kesel"

"Mas....."

"Enggak sayang, bercanda kok"

"Alhamdulillah. Emang kudu begitu. Cowok emang kudu tegar, nggak boleh cengeng. Jangan sedih lagi ya beb. Ntar kalo kamu sedih, aku, bunda, dan semuanya ikutan sedih gimana dong? Ikhlasin aja, insyaallah ayah udah tenang di alam sana"

"Sendiko dawuh nyai"

"Aku ngomong beneran tau beb"

"Iya paham. Insyaallah, abis ini aku ga akan sedih lagi"

"Aku cuma bisa ngingetin beb, maaf belum bisa lebih"

"Udah kok beb, udah lebih dari cukup. Makasi ya"

"Bunda lagi apa beb?" kataku menggeser topik

"Lagi kruntelan di ruang sebelah sama adek. Tadi udah seharian kruntelan sama aku, sekarang gantian"

"Ihh pengen ikutan"

"Sini sama aku aja. Kalo sama mereka engap, kan mereka berbanyak"

"Nonononono"

"Wkwkwkwk"

Suasana rumahnya sudah agak sepi, mungkin karena baru saja magrib. Jadi para tamu mungkin menunggu waktu untuk datang setelahnya. Atau memang kebiasaan di tempat kami yang berbeda.

"Beb"

"Apa sayang?"

"Udah ga sedih kan?"

"Insyaallah"

"Kamu ga mau cerita ke aku tentang ayah beb?"

"Cerita apa?"

"Ayah sakit apa beb?"

"Ayah pergi abis subuhan berjamaah pagi tadi. Ayah yang imamin, pas tahajudan juga. Sebenernya ayah sakit parah, udah lama, dan ga ada yang ngasih tahu aku. Ayah juga kelihatan baik-baik aja setiap ketemu sama aku. Kaya biasa gitu, aku ga nyangka ayah sepintar ini biar buat aku ga khawatir. Aku sempet marah ke bunda dan ke semuanya. Kenapa harus ditutupin dari aku coba?" katanya panjang.

"Masyaallah ayah. Mereka ga mau kamu khawatir beb. Udah ah marahnya. Ya?" kataku menenangkan.

Lagi lagi aku tersentuh. Entah energi apa yang baru sampai kepadaku, di tempatku merebah sekarang aku hanya membayangkan sosok ayah yang begitu hangat. Ah lelaki itu, kenapa harus pergi secepat ini. Aku juga menjadi menggebu-nggebu membayangkan berada diantara keluarga tuan. Bersamanya, bersama bunda, saudara-saudaranya. Hei, kapan kita benar akan bertemu?

"Tapi kan?"

"Tapi kan kamu juga sering kaya gitu. Enggak jujur ke bunda sama ayah. Kemarin kamu jatuh diem aja kan? Banyak juga kan yang kamu tutupin ke beliau?"

"I iya hehe"

"Adil kan? Udah ah. Aku ga mau denger kamu kesel lagi. Jelek taukk"

"Iya, insyaallah"

"Jadi telpon semalem pas kamu pamit pulang itu gara-gara ini?" kataku menebak

"Sebenernya enggak si. Bunda beneran cuma bilang kangen dan minta aku pulang. Bahkan bunda ga bilang apapun ke aku, termasuk soal ayah. Sebenernya aku cuma ngikutin kata hati aja si, tapi ternyata ya begini kenyataan yang harus aku hadapi"

"Allahu akbar beb. Kebetulan yang sangat indah. Ya udah, kamu istirahat gih. Aku tutup telponnya ya" kataku pamit

"Lhah, udahan nih kangennya?"

"Hah, aku cuma khawatir ya. Seharian ga ada kabar ih" kataku terheran

"Hehe, ntar aku beliin burger kesukaanmu deh, biar aku dimaafin kamu"

"Wegah. Tapi kalau kamu beliin tiket umroh bisa ku pertimbangkan si. Hehe"

"Insyaallah, doain aku terus ya sayang"

Adzan isya' berkumandangan. Aku memutuskan akan menutup panggilanku dan menyelesaikan kewajibanku kepada Rabb-ku. Mukena yang masih hangat menyelimutiku dari semenjak magrib tadi aku lepas dan kemudian aku bergegas menuju sebuah keran di sisi kanan kamarku. Rasanya baru sebentar berdialog dengannya, padahal sudah lebih dari setengah jam. Mungkin memang benar kata orang-orang, cinta selalu membawa suasana yang berbeda. Haha.

"Insyaallah. Isyaan dulu yuk, disini udah adzan" kataku

"Doain ayah ya beb. Doain biar bisa ketemu kita di surga"

"Bentar deh, emang kamu bakal masuk surga beb? PeDe sekali anda?"

"Tergantung"

"Kok?"

"Tergantung gimana kamu jadi istri lah. Kalau kamu banyak dosa ya nasib" katanya meledek.

"Naudzubillah. Enggak. No. Jangan" kataku ketakutan

"Wkwkwk makanya, jangan nakal"

"Insyaallah beb. Ya udah tutup telponnya. Udah di tunggu ayah tuh"

"Ayah? Nunggu? Nunggu siapa beb?"

"Nunggu doa dari anak lelakinya yang sholeh. Buruan sholat"

"Hahaha cah lucu. Ya udah, assalamualaikum mata empat"

"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh (Tuan)"

Dan setidaknya malam ini aku sudah mendengar suara Tuan. Setidaknya apa yang seharian menjadi tanda tanyaku sudah terjawab. Lega rasanya, aku pikir tidurku malam ini akan nyenyak.
Aku tidak tahu bagaimana skenario hidup yang dibuat-Nya untuk Tuan. Tapi setiap aku ulangi cerita ini dari apa yang sudah terjadi mulai dari semalam, rasanya begitu indah. Seperti sebuah kebetulan, tapi benar inilah takdir-Nya.

Ayah, ayahku yang sudah lebih dulu berpulang kepada-Nya. Selamat malam ayah, terimakasih sudah pernah menjadi bumbu-bumbu sedap disela-sela percakapanku dengan anak lelaki ayah. Anak ayah lucu, tapi biasa aja. Enggak seganteng Kenny Austin di sinetron "Cahaya Terindah" yang hampir tak pernah ku lewatkan setiap sore. Tapi ayah, dia selalu bisa membuatku senyum-senyum sendiri meski harus kesal juga. Ayah, apa ayah selucu anak ayah itu? Ah ayah, harusnya ayah bercanda dulu denganku barang sekali atau sekian kali. Tapi ya sudahlah, sepertinya ayah lebih sayang ayah.

Sampai jumpa di surganya Allah ayah. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa ayah, menerima amal ibadah ayah, mengindahkan alam kubur ayah, dan menempatkan ayah disisi terbaik-Nya. Aku sayang ayah.

--------------------------------------------------------

Salam Literasi

Sabtu, 17 Agustus 2019

Diantara Makkah dan Paris

Malamku dingin, ditemani dengan gelap yang menerangi. Ku tatap bulan purnama malam ini, sambil ku sampaikan beberapa sajak kerinduanku untuknya. Kekasihku yang sedang dalam perjalanan menujuku. Kedua mataku sejenak terpejam. Ku rasakan dekap yang semakin menghangatkanku.
Dia datang, kekasihku datang. Dia ada dihadapanku. Membelaiku dan memelukku dengan cinta dan kasih sayang yang dimilikinya untukku.

"Hai mata empatku" katanya berbisik

Dan aku mulai membuka kedua mataku. Tanganku seperti merengkuh. Tapi kosong, kekasihku pergi barang sekedipan mata.

"Ah harusnya tadi aku tidak berkedip" kataku menyesal.

Kemudian aku kembali menatap langit yang dihiasi oleh cahaya bulan purnama. Malam itu dia terlihat sangat cantik. Aku sampai takut tersaingi.

......intro sebuah lagu tiba-tiba berbunyi..... 
"lekuk indah hadirkan pesona, kemulyaan bagi yang memandang............ " sebuah panggilan masuk yang sengaja ku atur menggunakan  mode getar lengkap dengan nada dering lagu "Karena Wanita" karya Ada Band membuyarkan lamunanku.

Senyumku melebar. Mataku berbinar dan hatiku seketika bahagia. Ponselku berdering, sebuah nama terlihat dilayar gelap yang tiba-tiba menjadi terang seketika.

"Assalamualaikum....... beb" kataku setelah menggeser simbol hijau dilayar ponselku.

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh mata empatku" katanya membalas.

Rasanya seperti mimpi. Sekian detik sebelum ini aku tak pernah berpikiran ponselku akan seberguna ini. Dia apalagi, aku sudah merelakan menjadi yang kedua setelah pekerjaannya. Tapi tidak begitu dengannya, setiap aku bilang begitu dia selalu memarahiku.
Oh tidak, dia lembut. Semarah apapun dia, ucapnya selalu menenangkanku. Dan setiap begitu, aku selalu bicara dengan diriku sendiri bahwa aku adalah wanita yang paling beruntung yang diijinkan memilikinya, aku harus menjaganya, dan aku harus jadi terbaik untuknya. Iya, semoga saja aku bisa.

"Beb, kok lagi nelpon si? Sibuk banget ya hari ini? Kamu udah makan kan? Udah sholat belum? Bunda udah ditelpon?" kataku tak henti.

"Hei, aku tahu kalau kamu kangen, tapi tanyanya satu-satu dong sayang. Aku kan bingung jawabnya" katanya membalas.

Aku selalu begitu. Ditakdirkan tumbuh menjadi pribadi yang cerewet membuatku sering keblabasan dalam bertanya. Bukan bermaksud posesif kepadanya, aku hanya ingin memastikan keadaanya saja. Walapun akhirnya aku jadi tidak enak hati karena sudah membuatnya tidak nyaman di awal percakapan yang sudah seharian aku tunggu.

"Iya, maaf beb" kataku menyesal.

"Iya sayang. Aku sibuk, baru aja kelar makan, isyaan udah, subuhan belum. Abis adzannya ku tunggu-tunggu ga nyampe-nyampe si. Hehe" katanya melucu.

Dia selalu berhasil mengalihkan penyesalanku. Aku tertaw kecil mendengar ocehannya. Aku tahu dia selalu berusaha menjadikanku baik-baik saja dan juga selalu nyaman berada di dekatnya. Oh Allah, aku ingin selamanya begini.

"Bunda?" tanyaku

"Bunda sehat kok" jawabnya

"Bukan itu. Kamu udah nelpon Bunda kan?"

"Udah dong. Baru aja kelar, makanya aku telat nelpon kamu"

"Iyalah, tau diri aja akutuu" kataku minder.

"Bundaku tetep akan jadi nomer satu, meskipun kita udah nikah kan beb?"

"Iya beb, kamu bener. Dan jangan lupa aku yang kedua, anak perempuan kita akan jadi yang ketiga, saudara perempuanmu urutan setelahnya, dan cukup. Aku tidak ingin ada yang lainnya. Aku ingin jadi istri satu-satunya. Ingat ya" kataku panjang.

"Insyaallah. Semoga Allah kasih istiqomah ya" katanya.

"Harus. Harus beb" kataku dengan nada memaksa.

Aku sering ketakutan membicarakan ini. Berulang kali aku mencoba menepis, berulang kali aku coba membuang ketakutan ini dan berulang kali pula aku menangis, memeluk ketakutanku sendiri.
Besar dengan rasa trauma menjadikanku lemah dalam hal ini. Aku takut menjadi yang menciptakan kekalutan di diri anak-anakku kelak. Aku tidak mau apa yang aku alami terjadi pula di anak-anak ku. Sakit ini biar aku yang rasa, anak-anakku biar tinggal bahagianya saja.

Aku selalu meronta kepada Allah, agar kelak aku bisa dipertemukan dengan orang terbaik yang bisa mengobati luka masa laluku dan kemudian menjadi sumber bahagiaku juga anak-anak ku kelak. Aku ingin apa yang aku impikan dimasa kecilku bisa terwujud, meskipun bukan aku lagi yang menjalani, melainkan anak-anakku. Aku ingin memberikan kebahagiaan yang penuh kepada mereka, termasuk melihat ayah ibunya bahagia bersama. Ya, semoga kekasihku akan benar-benar menjadi orang yang tepat untuk membantuku mewujudkan itu.

"Bunda bilang titip salam buat calon mantu" katanya kepadaku.

"Beneran apa boongan neh?" kataku memastikan.

"Apapun yang berkaitan sama Bunda insyaallah bener sayang"

Bunda. Wanita itu, calon ibuku. Aku selalu berharap kelak ketika waktu itu benar-benar tiba, aku ingin sekali menjadi dekat dengannya, menjadi putri kesayangannya dan bersama-sama menjadi sumber bahagia untuk putranya, lelaki yang telah menjadi kekasihku.

"Mata empat"

"Iya mas"

"Bulannya bulet banget, kek mukamu pasti kan?"

"Apaan sih mas? Nggak lucu tauk"

"Masih badmood nih ceritanya?"

Aku selalu begini. Memanggilnya dengan sebutan mas ketika suasana hatiku sedang kacau. Dia juga, hanya memanggil namaku ketika suasana hatinya sedang kacau. Perubahan itu seperti menjadi tanda bahwa kami sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Tapi kami akan kembali menggunakan panggilan sayang ketika suasana hati kami sudah sama-sama kembali membaik. Kami tak keberatan, setidaknya tidak ada kata kasar yang terucap diantara kami.

---------------------

Dan sementara itu, aku masih diam, masih bingung dengan perasaanku sendiri. Rasanya tidak enak hati, aku yang berfikiran begini, tapi dia yang harus menerima kekacauanku ini. Oh tuan maafkan aku.

"Mata empat"

"Iya beb"

"Alhamdulillah"

"Apa? Bentuk bulannya beneran sama kek mukaku ya?"

"Bukan sayang, alhamdulillah karena kamu udah manggil beb lagi. Aku kangen"

Aku hanya tersenyum sambil terus mengucap syukur. Malam ini, ada bunga yang mekar begitu indahnya di dadaku. Lelaki itu, bisakah selamanya begini? Dan sebenarnya aku selalu menanyakan ini kepada diriku sendiri, meskipun akhirnya tak pernah ada jawaban yang pasti. Meskipun akhirnya hanya ada sekian kalimat penenang yang sebenarnya ku buat sendiri untuk kegundahanku ini.

"Mata empat"

"Dalem"

Wong jowo, kejawennya kumat. Sebenarnya aku dan kekasihku ini sangat lancar berbahasa jawa, tapi entah kenapa setiap kami berdialog selalu bahasa persatuan yang kami pakai. Mungkin akan jadi berbeda ketika kami sudah memiliki anak. Bagaimanapun juga mereka harus familiar dengan bahasa asal ayah ibunya. Kakek dan neneknya dan semua saudara-saudaranya tidak boleh kerepotan ketika berdialog dengan mereka.

"Kalau Allah kasih kesempatan, kamu mau aku ajak kemana beb?" katanya mencoba mengalihkan.


Picture by : Pinterest
"Aku ingin ke Paris. 'The City of Lights'. Aku ingin berjalan berdua denganmu, menikmati segelas greentea hangat, menyaksikan sunrise dan senja yang berganti peran, lalu menari bersamamu di bawah menara eiffel. Aku juga ingin menikmati pameran karya seni, dan merapalkan banyak ingin di jembatan harapan. Aku ingin merasakan romantisme kota itu. Pasti menyenangkan, ya kan beb?" kataku menjawab.

Ya benar, Paris adalah kota impianku. Sejak dulu, sejak umurku masih abege, sejak seragam sekolahku masih putih biru. Romansa romantisme yang aku saksikan setelah membaca dan menyaksikan kisah orang-orang, membuatku menaruh banyak harapan untuk bisa sampai ke sana.

"Tapi aku tidak ingin mengajakmu kesana sayang" katanya.

"Tapi kan......." kataku memotong

Picture by : Pinterest
"Kita ke Makkah dulu ya. Kita ibadah bareng di sana. Berjalan berdua mengelilingi kakbah, merapalkan banyak doa untuk kita dan keluarga, dan melakukan apa saja berdua.
Aku tidak punya hal-hal romantis seperti yang barusan kamu sebutin. Tapi beb, insyaallah kita akan tetep bahagia bersama di sana" katanya melanjutkan.

Malamku tiba-tiba hening. Aku diam. Menimbang antara Paris dan Makkah.  Dia benar, rukun islamku sudah seharusnya dilengkapi lebih dulu. Oh Allah setiap bersamanya rasanya surga-Mu semakin dekat. Mungkinkah dia benar-benar jawaban atas doa-doa panjang yang tak pernah henti ku panjatkan kepada-Mu?

Dan entah kapan akan benar-benar sampai ke sana, tapi semenjak itu Paris telah menjadi kota impian urutan kedua setelah Makkah.

"Aamiin Ya Rabb" kataku mendukung.

"Kamu mau kan?" katanya memastikan.

"Insyaallah beb" kataku mengiyakan.

"Semoga Allah mengijabah ya"

"Aamiin ya Rabbal Alamiin. Tapi beb........"

"Iya, tapi apa?"

"Aku ingin juga ke Paris. Kita akan kesana juga kan?" kataku agak memaksa.

"Iya, insyaallah. Setelah selesai ke Makkah ya sayang. Semoga Allah kasih rezeki ke kita" katanya.

"Keliling Indonesia juga kan beb" kataku menambahkan.

"Iya calon istriku yang ternyata banyak sekali mimpinya. Semoga aku akan jadi yang beruntung yang bisa bantu kamu mewujudkan mimpi-mimpimu ya"

"Haha maaf ya beb"

"Nggak papa, biar aku tambah semangat kerja juga. Makasih ya"

Dan malamku berakhir dengan dialog indahku bersamanya, kekasihku, calon imamku, calon penanggung jawabku, ayah dari anak-anakku. Semoga Allah mendengarkan cita-cita luhur kita.

Dan aku mengucapkan selamat malam kepadanya diujung malam itu, lengkap dengan terimakasih atas impian besar yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku.
Dia membalas ucapanku dan menambahkan beberapa kecup jauh yang berhasil menidurkanku malam itu. Dan aku terlelap bersama dengan sisa kenanganku dengannya.

-------------------------

Malam ini aku bertemu kembali dengannya, lewat dialog lama yang kembali singgah diingatanku.  Satu per satu layar berganti dan menyajikan chat lamaku dengannya. Aku tersenyum, kemudian bersedih, dan beberapa kali menangis. Beberapa doa juga aku titipkan untuknya, untuk bunda, juga untuk mimpi-mimpi yang sempat terabaikan. Lantunan Al-Fatihah yang ku ucapkan dengan cukup lantang ini, semoga akan sampai kepada mereka semua yang aku sayangi.

Malam ini aku merindukannya. Dan sembari mulai memejamkan kedua mataku, tanpa sadar aku mulai berbisik lirih.

"Tuan, jadi kapan kita berdua anak benar-benar kesana?" kataku entah kepada siapa.


__________________

Salam literasi


Minggu, 14 Juli 2019

Hai, Kenapa Belum Juga Menjadi Baik?

Perjalanan ini begitu sulit. Begitu banyak persimpangan yang menjadikanku lelah memilih dan berniat ingin berhenti. Berulang kali aku salah memilih dan menjadikan diriku terpuruk. Berulang kali pula aku menguatkan diri, mencoba berdiri, dan kemudian pulih kembali seperti yang kau saksikan sekarang ini.

Perjalanan hidup begitu membingungkan. Menebak adalah cara terpasrah bagi pribadi yang mempunyai banyak cita-cita. Dibangunnya mimpi-mimpi dengan indahnya, diajaknya diri untuk bersedia berusaha, dan ditemukan jawab atas sekian banyak pertanyaan yang telah lama ada di hidupnya. Jika beruntung, senyumnya merekah dan menjadi pribadi yang bahagia. Tapi jika ternyata sebaliknya, bisa jadi terpuruk, putus asa, marah, sedih, atau terserah itu. Yang penting satu, jangan sampai hilang arah. Semua sudah ada jalannya. Jika gagal, coba lagi.

Termasuk perjalanan untuk sampai ke sana, ke tempat bahagia yang sangat kekal. Atau tidak, jangan kesana dulu. Aku pikir itu terlalu jauh. Berhenti, disini. Dihadapan diri sendiri.

Hai, kenapa belum juga menjadi baik?

Minimal bisa menjadikan orang-orang tersayang nyaman. Atau membuat mereka bahagia ketika sedang bersama. Atau membuat diri mereka menjadi berharga. Oke baiklah, lupakan saja.

Hai, kenapa masih banyak hal-hal menyebalkan di dalam diri?

Stop. Berhenti dan jangan bertanya perihal ini lagi. Jangankan kau, akupun tidak begitu paham dengan ini. Dan jangan berfikir aku tidak berusaha mencoba.
Kau bahkan tidak tau betapa terjal medan yang harus ku tempuh untuk sampai dititik ini. Tapi hai, apa yang kau lakukan untukku untuk bisa menghindari atau bahkan membuang jauh hal-hal yang kau anggap menyebalkan dariku?

Tidak ada bukan. Oh tidak seharusnya aku bertanya seperti ini. Maaf, telah lancang berbicara seperti ini. Baik apapun itu, terimakasih untukmu Setidaknya dengan pertanyaanmu itu, aku bisa kembali memikirkan jalanan yang harus ku pilih kembali untuk sampai kepada sesuatu yang lebih baik.

Aku sadar, semakin ke sini akan semakin banyak yang akan terlibat di hidupku. Aku sadar, akan semakin banyak yang menilaiku atau bahkan menjadikan diriku cermin diri. Aku sadar, di dunia ini aku tidak hidup sendiri. Aku sadar, letak bahagiaku bukan hanya melibatkan diriku sendiri. Anak-anakku? Ah jangan pikir lajang yang belum punya calon suami ini tidak pernah berfikir sejauh ini. Justru, justru sangat menjadi di dalam pikiranku hal-hal seperti ini.

Takut? Sangat.

Khawatir? Iya.

Kenapa? Akan terlalu banyak penjelasan. Aku tidak ingin membicarakan ini. Aku pikir aku sudah cukup berhasil mebalut lukaku. Luka yang sama sekali tak pernah aku inginkan. Luka yang menjadikanku merasa menjadi korban bertahun-tahun dan mungkin sampai aku menemukan waktuku. Luka yang menciptakan banyak ketakutan dihidupku. Luka yang, ah sudahlah. Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin membicarakan ini? Ya, benar.

Lalu?

Aku hanya sedang berusaha menenangkan dan meyakinkan diri. Bahwa baik atau buruknya sesuatu selalu disertai penilaian.

Mereka? Kau? Silakan menilai.

Aku? Aku akan dengan senang hati menikmati. Satu yang ku tahu. Satu yang selalu berhasil membuatku utuh. Bahwa aku tidak pernah menjadi diam seperti yang kau kira. Setidaknya aku sudah berusaha mencoba dan tidak abai. Dengan atau tanpa kau tahu.

Kalau ternyata masih belum baik? Biar. Biar ini menjadi urusanku dengan diriku sendiri. Aku percaya bahwa orang-orang terbaik di hidupku akan selalu punya cara untuk menjadikanku bernilai baik di hidup mereka.

Kau juga, ku doakan semoga ada.

Anak-anak? Pribadi yang akan menjadi cerminanku kelak. Wajah-wajah yang akan ku jaga dengan baik senyumnya, bahagianya (insyaallah). Jiwa dan raga yang akan menjadi tempatku pulang di masa tua kelak. Alasan-alasan yang selalu bisa membuatku berusaha lebih keras, lebih baik, dan lebih terarah. Persimpangan yang mungkin akan selalu aku lewati bersama suami dengan banyak tanda tanya dan jawaban terbaik.

Hei nak, dititik ami berdiri ini, dititik ketika ami belum menjadi apa-apa, dititik ketika ami masih sendiri, mencari jati diri, dan memperbaiki diri, dititik tunggu yang disertai rasa resah ini. Nak, ami ada sedikit pesan untukmu.

"Nak, ami tak bisa berjanji selalu jadi baik, yang selalu bisa buat kamu nyaman, dan selalu jadi yang kamu mau. Ami juga tak bisa berjanji akan selalu ada untukmu. Semesta kadang membutuhkan ami tanpa permisi. Dan ayahmu, semoga akan selalu mengerti. 
Tapi percayalah, ami tak akan pernah berhenti berusaha untuk menjadi baik. Kalau suatu saat ami salah, atau berbuat yang sekiranya kurang sesuai dengan apa yang kamu pikirkan, tolong tegur ami. Bilang ke ami bagaimana cara yang lebih sesuai. Ami juga tidak bisa berjanji akan melakukan seperti yang kamu mau, tapi insyaallah ami akan menjadikannya pertimbangan berharga. Terlalu mendengarkan orang lain memang tidak terlalu baik. Tapi ami pikir, kita butuh ini untuk menjadi saling mengerti."

Salam sayang untukmu anak manis. Ami berharap, kamu bisa membaca ini dan menjadi mengerti. Ami juga berharap, kelak kita bisa berteman dan menjadi lebih baik bersama. Kita bahagiakan orang-orang terbaik di hidup kita dengan cara terbaik yang kita punya ya nak. Ayahmu? Ya, semoga dia juga sepakat dengan ini. Semoga kita semua satu frekuensi dan bahagia dengan cara yang kita ingini.

Tapi nak, ami lupa satu hal. Bahwa ami tak bisa berjanji akan kau panggil dengan sebutan "Ami". Ami butuh bersepakat dengan dia yang menjadi ayahmu kelak. Dan sekarang? Ayah masih dalam perjalanan. Doakan ayah cepat sampai ke ami ya nak.

Sampai jumpa di perjumpaan itu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Salam Literasi

Selasa, 09 Juli 2019

Beri Kami Contoh, Bukan Perbandingan

Tidak ada yang bahagia, hidupnya disamakan dengan yang lainnya. Termasuk aku, dia, atau bahkan mereka yang gemar membandingkan sekalipun. Sebuah ketidakadilan yang kerap tidak disadari oleh banyak hati. Kita mungkin sering mengalami ini.

Sore itu mendung. Udara masih agak dingin seperti beberapa hari terakhir. Beberapa tetanggaku berkumpul, mengupas kacang tanah yang akan digunakan sebagai bibit di sawah. Aku baru saja menyusul, usai membersihkan diri dan menyelesaikan urusanku dengan Rabb-ku.
Ibu-ibu di pelataran rumah tetanggaku masih sibuk mengupas kacang tanah yang ada dihadapan mereka. Seperti biasa, wanita selalu bisa fokus dengan banyak hal. Dan yang paling identik dari mereka adalah curhat yang mengarah kepada nggibah. Jangan dihujat, ini manusiawi, meski sebenarnya ini sangat tidak baik untuk diri sendiri.

Aku masih diam sambil tetap membantu mengupas kacang tanah. Sekedar memperhatikan fokus bahasan mereka dan menelaah mana yang bisa ku ambil hikmah dan mana yang harus ku abaikan begitu saja. Aku tidak mau terlalu masuk ke dalam bahasan mereka. Repot, aku tidak suka. Haha

Tapi tiba-tiba seorang ibu mengeluh. Mengeluarkan sambatan atas anak laki-laki pertamanya.

"Capek emang apa-apa sendiri. Aku pengennya juga si Nanda ngebantuin aku gitu di rumah. Kan dia udah gedhe juga" katanya

"Aku juga. Kadang aku bilang sama enang, si Acap aja rajin njemurin baju, nyapu. Tapi ya gitu, tetep main terus" kata mamak menambahkan

Satu per satu ibu-ibu mengeluhkan hal yang sama. Aku? Masih diam mencari celah bicara.

"Makanya nggak usah mbanding-mbandingin sama anak orang" kataku menyela

Mereka diam. Aku? Ikut diam. Harusnya aku memang diam saja. Tapi tidak jadi. Aku sudah terlanjur geram menyaksikan ambisi mereka supaya anak-anak menuruti keinginan mereka tapi dengan cara yang sangat salah. Aku pikir mereka harus tahu isi hati anak-anak mereka. Dan aku harus mewakili mereka. Aku ada untuk berbicara sebagai anak. Ah harusnya tidak perlu. Aku pikir mereka harus lebih tahu, karena mereka lebih dulu menjadi anak-anak daripada aku dan mereka yang suka mereka banding-bandingkan.

"Bukan begitu mbak, aku cuma pengen Nanda bantuin aku, entah nyapu, entah nyuci baju" katanya menambahkan

"Aku ngerti, tapi nggak dengan cara mbanding-mbandingin. Sakit woiii" kataku

"Halah cucu-cucuku kok dengan suka rela ngebantuin ibunya di rumah" kata seorang nenek di sudut agak kiri perkumpulan itu

"Mbah, cucumu hidup dimana? Kita hidup dimana? Jangan disamain lah. Lagian nggak semua anak berhati besar menerima perbandingan." kataku lagi

"Enggak, mereka emang penurut" katanya menambahkan

"Berarti embah beruntung" kataku

Mamakku diam. Mungkin sudah terlalu muak dengan pembelaanku atas ini. Sudah berulang kali aku membahas ini dengan mamak di rumah, apalagi setiap mamak merasa penat dengan rutinitasnya atau mengeluhkan adikku yang sekarang sedang menikmati masa mudanya. Aku pernah diposisi ini. Dan aku pikir, aku harus tahu bagaimana diantara mamak dan enang.

"Seneng ya Nan, ada yang ngebelain" kata embahnya Nanda

"Siapa yang belain coba. Aku ngomong sebagai seorang anak mbah" kataku

"Aku bahkan nggak nyangka, enang bisa nyuci sendiri setelah pulang dari liburannya kemarin. Waktu itu di rumah memang lagi sepi. Cuma dia yang di rumah" kata mamak

"Nah itu. Jangan dikata kita yang kalian anggap nggak bisa apa-apa ini beneran nggak bisa apa-apa ya. Cara kalian tuh yang salah. Dengerin ya mamak-mamak yang terhormat (ceilahhh), bukan gitu caranya minta bantuan ke anak. Kasih mereka contoh. Kasih pengertian tentang kehidupan ke depan, tentang pentingnya hidup mandiri, atau tentang apapun yang bantu mereka ngerti. Jangan malah sibuk mbandingin sama anak orang. Bayangin kalian jadi anak-anak kalian, dibanding-bandingin sana sini. Sakit. Aku yakkinlah, kalian nggak bakalan mau.
Anak orang dibanggain, anak sendiri? Apa? Ya gini nih yang bikin mereka suka masa bodoh sama kalian. Rasanya nggak pernah ada yang berharga dari apa yang sudah mereka lakukan. Lagian nih ya, anak orang yang kalian bangga-banggain itu juga nggak bakal bisa kaya anak-anak kalian yang begini dan begitu. Setiap orang punya porsinya masing-masing." kataku panjang

Semua diam. Entah fokus dengan kacang tanah yang sedang mereka kupas atau dengan apa yang barusan aku sampaikan, aku tidak peduli. Mereka sudah sangat menyebalkan sore ini. Tapi semoga dari sekian hal yang ku sampaikan, bisa lebih membuka pemikiran mereka.

Akhirnya adzan magrib berkumandang dan satu per satu dari kami kembali ke rumah masing-masing. Mendung yang selama itu kami nikmati telah menyatu bersama gelap malam yang datang. Kami kembali dengan rentetan hal yang masih sibuk mengelabuhi diri.
Dan aku sangat paham banyak hal yang orang tua khawatirkan kepada anak-anaknya. Tapi mereka juga harus tahu bahwa tidak semua hal yang mereka anggap benar, sepenuhnya menjadi benar. Ada beberapa hal yang mesti mereka sesuaikan dengan anak-anak mereka. Karena tidak semua hal bisa ditakar dengan ukuran yang sama. Semua ada porsinya.

Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Tidak juga bermaksud merasa pintar dan menyombongkan diri. Aku hanya ingin menjadi wakil dari anak-anak yang berani mengutarakan dan kemudian didengarkan oleh orang-orang yang mereka hormati. Orang tua perlu menjadi manis untuk mendapatkan perlakuan yang manis dari anak-anaknya. Bukankah seseorang akan memetik apa yang telah mereka tanam? Aku pikir itu benar. Aku banyak membuktikan sendiri. Aku banyak menjumpai orang tua yang manis kepada anak-anaknya menjadikan anak-anak mereka menjadi manis, lembut, dan membuat orang tuanya bahagia juga. Begitupun sebaliknya. Memang tidak semuanya, tapi kebanyakan iya. Selebihnya anggap saja keberuntungan.

Aku juga masih belajar menata diri menjadi sebaik-baiknya pribadi. Menjadi anak-anak sudah kulalui. Sekarang waktunya mempersiapkan diri menjadi ibu yang baik untuk anak-anak ku nanti. Aku ingin mereka menjadi pribadi yang manis, selalu bahagia, dan menjadi sebaik-baiknya jalan surga.

Sudah, itu dulu saja.

Salam literasi.

Selasa, 18 Juni 2019

Kehidupan Pasca Wisuda

Picture by : Google
Tidak ada yang bisa menduga bagaimana akhir dari sebuah usaha atau dengan perjalanan hidup seseorang. Termasuk dengan kehidupan setelah menjadi seorang wisudawan wisudawati. Tidak begitu sulit, hanya butuh penerimaan dan usaha yang sungguh-sungguh agar bisa mencapai sesuatu yang kita inginkan.

Aku adalah seorang akuntan. 1 tahun 4 bulan lalu aku resmi menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Kota Kudus. 5 bulan sebelum itu, aku resmi menjadi wisudawati di salah satu Politeknik Negeri di Semarang. Sebenarnya ini bukan pekerjaan pertama yang aku terima. Perjalanan yang ku lalui cukup panjang. Berkali-kali jatuh aku lakoni begitupun dengan cara untuk bangkit kembali. Ternyata hal-hal manis yang sempat terbayang olehku berbanding terbalik dengan apa yang aku hadapi setelahnya. Ekspektasi memang tak selalu berakhir nyata.

Dulu menjelang semester akhir, bayanganku tentang masa depan begitu apik dan menggembirakan. Aku menyusun target, menuliskannya di sticky note juga di buku diary yang aku punya. Satu per satu aku rinci dari mulai detail target lengkap dengan waktu yang aku rencanakan. Harapku hanya satu, semoga semuanya bisa terlampaui dengan baik dan berakhir dengan sesuatu yang aku mau. Alhamdulillah sampai wisuda berlangsung semua target terlampaui dengan hasil yang baik. Ya meskipun aku tidak mendapat predikat cumlaud, tapi setidaknya aku bisa wisuda dengan tepat waktu. Ini adalah sebuah cara menghargai diri sendiri. Menerima dan tak lupa aku mengucapkan selamat kepada diriku sendiri atas pencapaian yang sudah aku terima.

Untuk sampai ke titik menjadi seorang wisudawati sebenarnya juga sulit. Tapi aku masih sangat beruntung, karena di semester akhir sudah tidak harus bergelut dengan mata kuliah. Aku dan teman-teman seprodiku hanya perlu fokus ke laporan magang dan penyelesaian tugas akhir. Begini saja sudah banyak mengeluh. Dosen pembimbing ya beginilah, objek TA beginilah, revisi beginilah, dan beginilah yang lain tak henti menyerbu secara bergantian. Aku bersyukur bisa menemukan mereka yang sudi saling menguatkan ditengah-tengah kebingungan yang sedang kita hadapi bersama. Dan aku beruntung diberikan dosen pembimbing yang baik hati dan tidak rewel ketika bimbingan berlangsung. Ini poin penting selain objek TA yang lebih dulu harus dipastikan kesediaannya untuk menjadi objek penelitian kami, para mahasiswa tingkat akhir. Untuk mahasiswa tingkat akhir, dosen pembimbing menjadi seperti pengendali mood. Dan kalian tahu kan dampak dari sebuah mood. Oke cukup.

Dulu setelah wisuda aku bercita-cita ingin hijrah ke tempat perantauan yang lebih jauh. Yang ku bayangkan akan lebih menjanjikan masa depanku dan dekat dengan kampus-kampus terbaik di negeri ini. Selain keinginan bekerja, aku juga ingin melanjutkan pendidikanku lagi. Terlalu muluk memang, tapi bukankah harapan itu harus selalu ada? Aku juga ingin menikah dan memiliki putra putri yang sholeh dan sholehah. Aku ingin punya jalan menuju surga lewat mereka. Hehe

Tapi ternyata tak semudah itu. Di sela-sela pelaksanaan jadwal sidang tugas akhir, aku dan teman-teman seangkatanku mengikuti seleksi menjadi pegawai di salah satu BUMN ternama di Indonesia. Kami menjadi terpaksa menjadi rival, meski terus saling menguatkan dan saling mendukung. Satu per satu gugur di proses seleksi yang begitu panjang. Termasuk aku. Langkahku terhenti di 2 tahap terakhir. Aku gugur dan tentu saja bersedih.

Kemudian aku mengikuti seleksi menjadi pegawai di salah satu kementrian di Indonesia. Aku pergi ke Jakarta guna menyelesaikan seleksi dan numpang di rumah budeku sampai proses seleksi ini selesai. Semuanya berjalan begitu lancar sampai waktu pengumuman itu tiba. Ternyata aku gagal lagi dan sedihku bertambah lagi. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Tapi ini tidak berlangsung lama. Ya, tentu saja aku tidak akan membuat orang-orang tersayangku bersedih karena melihatku bersedih. Lets move on gaes!

Setelahnya aku pulang. Kembali ke kota yang membesarkanku. Aku mengevaluasi diriku sendiri. Aku mencari apa yang salah dengan proses yang ku lalui. Aku menangis seorang diri, meronta meminta-minta kepada Yang Maha Kuasa. Sambil menilai, sambil ku cari lowongan kerja yang lain. Dan kali ini aku tidak mengambil di luar kotaku. Mamak memintaku bekerja di dalam kota. Katanya biar mamak bisa lihat aku tiap hari. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya mau memenuhi keinginan mamak dengan pertimbangan yang banyak. Karena kalau kembali ke dalam kota, aku berfikir aku akan sulit berkembang baik dalam hal pekerjaan maupun pendidikan. Tapi aku mencoba menuruti keinginan mamak.

Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku setelah mengikuti wawancara kerja di salah satu perusahaan konstruksi di perbatasan kotaku. Tempatnya sangat jauh, aku harus menempuh kurang lebih 45 menit untuk sampai ke sana. Tapi cuma 3 hari. Aku resign dan menyerah dengan segala sambatan yang ada. Mulai dari jarak, cara kerja, jam kerja, gaji, dan tentu saja gengsi yang dulu ku punyai. Dan baiklah, lupakan.

Kemudian aku mencoba lagi. Kali ini aku mengikuti seleksi di salah satu badan usaha milik pemerintahan yang ada di kotaku. Tapi lagi-lagi aku gagal di tahap akhir. Kemudian aku mengikuti seleksi di salah satu bank syariah di kotaku. Aku gagal lagi, dan kali ini aku gagal dari awal proses seleksi.
Tidak berhenti sampai di situ, sambil menunggu jadwal seleksi masuk kerja dari beberapa tempat yang aku lamar, aku mengirimkan banyak sekali CV lamaran ke banyak perusahaan lain baik secara online atau mengantarkan sendiri sampai ke lobi perusahaan yang bisa ku jangkau dengan jarak.

Akhirnya tidak lama setelah itu, aku diterima kerja di salah satu toko yang lumayan besar di kotaku. Toko itu memiliki cabang dimana-mana. Tapi belum ada yang mengurus laporan secara administratif. Semua pekerjaan dikerjakan oleh owner toko sendiri. Aku menerima pekerjaan pertamaku sebagai seorang akuntan yang bekerja seorang diri dengan proses yang benar-benar dari awal. Aku ditantang untuk membuat laporan keuangan yang mudah dipahami dan tentu saja terstruktur. Aku tidak punya partner kerja kecuali si bos.
Tapi penawaran gaji pertamaku sangat minim, hampir sama dengan karyawan toko. Hampir saja aku mundur gara-gara ini. Seorang diploma sepertiku hanya akan digaji sama seperti mereka yang porsi kerjanya jauh lebih ringan? Oh no. Bukan bermaksud meremehkan, tapi sudah semestinya tanggung jawab yang lebih besar diiringi dengan imbalan yang lebih juga bukan? Akhirnya aku melakukan negosiasi dan percobaan pertama aku akan digaji sesuai dengan UMR/bulan. Katanya setelah itu, kalau aku berhasil di masa percobaan aku akan mendapatkan lebih dari apa yang sudah ku dapatkan di bulan pertama. Akhirnya kami sepakat. Waktu itu hari sabtu, dan hari senin aku boleh langsung bekerja.

Tapi tidak lama. Baru sekitar 25 hari aku bekerja, aku memutuskan resign. 2 hari sebelum itu, aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan swasta di kotaku. Kali ini aku hanya butuh 5 menit untuk sampai ke kantor. Lebih dekat dengan rumah, lebih terstruktur, lebih nyaman dengan jam kerja, lebih termanusiakan dengan gaji yang aku kerjakan, dan tentu saja aku lebih menemukan orang-orang yang sepemikiran denganku dalam hal bekerja. Dulu setiap hari aku di kantor sendiri, tidak punya teman bicara, dan tentu saja terpaksa menerima pemikiran yang tak sejalan denganku. Mereka bilang jadi aku enak, enggak capek dan lebih bisa leha-leha. Padahal mereka sama sekali tidak tahu bagaimana capek yang aku rasakan di psikisku karena beban kerja dan cemoohan mereka. Bukankah setiap orang diuji dengan daya uji masing-masing? Sebenarnya aku ingin sekali membantu mereka untuk lebih bisa membuka pemikiran mereka, tapi tidak jadi. Aku lebih memilih pergi dan kembali menyelesaikan pekerjaanku sendiri.

Sekarang sudah 1 tahun 4 bulan aku bekerja di tempat terakhir yang aku lamar. Aku mulai menikmati ini semua. Berangkat kantor 10 menit sebelum bel masuk kantor, bekerja sesuai dengan job desk, bersosialisasi dengan tetangga dan teman-teman kantor, jalan-jalan ke kota 2-3 kali sebulan, juga bersapa kabar lewat sosial media dengan teman-teman lama dan saudara jauh. Dan satu yang utaam, alhamdulillah mamak senang dengan keadaanku yang sekarang. Minimal aku punya cara membaktikan diri kepada mamak sebelum menjadi seorang istri. Hehe

Pesan untuk kalian yang masih berjuang dari orang yang berpengalaman minim sepertiku:
  1. Jangan mudah menyerah, sesulit apapun medan yang sedang ada dihadapanmu. Kalau gagal, coba lagi sampai berhasil.
  2. Jangan terlalu mengedepankan gengsi. Minimal kita akan pengalaman dari apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kecil di hidup kita.
  3. Ijazah itu penting. Tapi jauh lebih penting attitude. Ijaah hanya membantu kita di tahap administrasi, sedangkan softskill akan membawa kita melewati sisa tahapan yang ada. Yang jelas lebih panjang, dan tentu saja lebih menjadikan kita berhati-hati.
  4. Bekerja tidak selalu soal passion, meski aku sendiripun mencari kenyamanan dari ini. Aku bersyukur karena akhirnya pekerjaanku sesuai dengan apa yang sebelumnya aku pelajari. Aku tidak perlu belajar dari awal dan hanya tinggal mendalami. Tapi percayalah jalan rejeki tidak hanya dari sesuatu yang kamu yakini. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita semua.
  5. Doa kedua orang tua itu mujarab. Sangat sangat mujarab. Mintalah dengan sungguh-sungguh dan niatkan semuanya untuk mereka karena Allah.


Insyaallah ada jalan. Sekian.

Salam Literasi




Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....