Minggu, 09 Juni 2019

"Blora Mustika" Waktu Itu

Semalam binar bintang memancar menemani sinar rembulan yang menyerupai sebuah senyuman. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, lalu menggerakkan tanganku ke arah langit. Seperti akan meraih sesuatu. Dengan segala imaginasiku, aku raih bintang  dan bulan di atas sana. Perlahan aku mulai terpejam, dan kemudian mengucap banyak syukur dan juga doa. Semalam aku bahagia menatap wajah-wajah lama yang semakin renta. Yang hanya aku sapa setahun sekali, itupun kalau aku sempat. Bukan karena sombong. Hanya saja setelah berhasil sampai diumur segini, prioritas semakin bertambah dan waktu semakin terbatas.

Meskipun jalanan untuk sampai kepadanya tak serusak yang ku kira. Bahkan semakin parah, berliku, bergelombang, dan beberapa kali membuatku hampir terjatuh. Tapi belum jadi, peganganku terlalu erat. Meski beberapa kali lambaianku melayang ke bahu enang. Pembalap handal yang membawaku sampai ke tempat tujuan. Alhamdulillah, semoga Allah senantiasa melimpahkan berkahnya kepada kita semua. Semoga Allah memberikan kami kesempatan untuk bisa kembali pulang ke tempat berdebu ini. Secepatnya dan dengan keadaan sebaik-baiknya. Setidaknya sebagai obat untuk menawar tebaran rindu-rindu yang telah lama tersimpan.

Dapur
Seharian kemarin aku seperti orang linglung. Merasa lapar tapi enggan makan. Merasa ngantuk tapi enggan tidur. Apalagi? Entah. Lupa. Terlalu banyak. Membaca buku berakhir ngantuk. Menikmati gerah tapi terus-terusan sambat. Ngupil jagung, jempol tangan kesakitan. Memasak sayur bayam juga menggoreng bumbu untuk sambal. Padahal di rumah boro-boro. Padahal disini banyak asap karena bahan bakarnya masih memakai kayu. Sebenarnya embah sempat punya kompor gas. Tapi karena takut gasnya meledak, embah memberikannya begitu saja ke orang lain. Ya, akhirnya begini. Setiap keluar dari dapur jadi mendadak kumel dan bau asap. Baiklah tidak apa-apa. Mau tidak mau, semua aku lakukan. Saking bingungnya diri karena tidak tahu harus melakukan apa.

Kemarin sekitar setengah 6 pagi, aku sekeluarga berangkat mudik ke Blora. Aku boncengan dengan enang dan mamak berdua bersama bapak. Jalanan begitu lengang. Tapi karena kondisi jalan yang tidak cukup baik, aku jadi berulang kali mengeryitkan dahi sebagai cara menunjukkan keterkejutanku. Bapak dan enang tidak pernah naik motor pelan, kecuali pas macet. Dan alhamdulillah, itu hanya sebentar ketika melewati semacam pasar tumpah. Mereka hampir tidak mau peduli bagaimana nasib kami yang dibonceng di belakang.

"Nang Nang Nang Nang Nang" kataku

Aku mendadak menjadi cerewet ketika jadi penumpang. Lebih banyak khawatirnya daripada nyetir sendiri. Apalagi dengan kondisi jalanan yang kelihatannya bagus tapi ternyata begelombang. Aku bahkan memegang pundak adikku dengan sangat erat di sepanjang jalan. Begitu juga mamak. Tapi meskipun begitu, kami tetap saling menertawakan.

"Mak, duduk di tepi amat mak?" kataku

"Lhah mamak kan bawa tas ndok. Malah bapakmu ga pernah mau pelan. Mamak hampir jatuh tadi" kata mamak

"Pelan-pelan nggak cepet nyampe kali mak" kata enang

"Nah, bener tuh" kata bapak

Lumayanlah untuk hiburan. Sekedar melupakan lelah akibat perjalanan. Kami sampai dalam kurun waktu kurang lebih 2,5 jam. Lebih cepat setengah jam dari perjalanan yang ku tempuh ketika menyetir sendiri. Dahsyat memang, tapi ya bersyukur bisa lebih sampai ke tempat embah.

Halaman Depan Rumah
Rumah embah ada di pelosok kampung. Pengkol nama kampungnya, Bacem nama kelurahannya, dan Banjarejo nama kecamatannya. Butuh hampir 1 jam untuk sampai ke pusat kota dengan kecepatan yang minim karena kondisi jalan yang rusak. Aku hampir tidak kemana-mana setiap disana, kecuali ke rumah saudara mamak. Aku malas melewati jalanan yang rusak. Melelahkan.

Rumah-rumah warga disana kebanyakan tidak menggunakan tumpukan batu bata seperti di derah rumahku. Katanya disini struktur tanahnya bergerak, jadi kalau mendirikan rumah dengan batu bata terlalu beresiko. Tapi jangan salah, sebenarnya warga-warga disini kaya raya. Tanahnya, ternaknya banyak. Ah tapi aku tetap enggan tinggal disini.

Selain debu, keminiman air, panas yang menyengat, banyak nyamuk, jalanan yang rusak, dan jaringan internet yang susah. Disini juga tidak ada toilet. Perlu ke sungai atau ke tempat pembuangan hajat umum jika perut mendadak melilit. Ah pokoknya hidup disini serba susah. Bersyukur sekali aku tidak dibesarkan disini. Cukup numpang lahir saja. Haha

Tapi aku suka disini. Setelah sampai disini maksudku, tapi tetap saja enggan dengan perjalanannya. Kata mamak, disini aku dilahirkan. Diurus mamak dan embah sampai akhirnya aku pindah ke tempat tinggalku yang sekarang ini. Tetangga embah yang notabennya tetangga dan teman kecil mamak, bergantian mendatangi kami ketika kami tiba. Ada yang menanyakan kabar, membandingkan warna rambut juga kehidupan, menanyakan aku enang dan juga bapak, atau sekedar menikmati jajanan yang dibawa mamak dari rumah sambil lanjut ngomongin ini itu. Embah juga sering menanyakan ini itu kepadaku. Tapi kadang aku sedih, ada beberapa bahasa yang aku tidak mengerti. Apalagi kalau sedang tidak ada mamak atau bapak. Menjawab "iya" menjadi jawaban teraman daripada berkata tidak tahu. Jangan ditiru, nanti kamu jadi terus begitu.

Dan waktu berjalan begitu cepat. Sekarang aku sudah di rumah. Menonton TV dan menikmati sosial media yang aku punyai. Aku juga sudah mandi dan berdua dengan toilet di kamar mandi. Masker wajah sudah terpasang dan aku sedang ingin tidur. Terlalu lama terpapar sinar matahari dan terbasuh debu membuat kulit wajahku kusam. Sekalian untuk membayar jam tidur yang lumayan kacau malam tadi. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.

Salam Literasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....