Senin, 03 Juni 2019

Fenomena Nikah Muda

Waktu terlalu cepat berlalu. Tiba-tiba saja sudah sampai ke kepala dua. Syukur terpanjat begitu syahdu kepada Allah Yang Maha Segalanya.

Tapi sepanjang waktu berjalan, aku mulai bosan dengan apa yang ada. Oh, bukan bosan maksudku. Lebih kepada ingin rehat sejenak kemudian memikirkan sesuatu yang lain. Tentang cara menjadi penulis yang sukses misal, atau bagaimana bisa menjadi hamba Allah yang benar-benar dicintai-Nya. Tapi sepertinya sulit. Bisa terlaksana (mungkin), tapi hanya sebentar. Berulang kali ku coba, selalu saja ku jumpai persimpangan di pertengahan jalan.

"Fenomena Nikah Muda" memang begitu dahsyat menggelitik. Apalagi diusia-usia rawan sepertiku ini. Bertemu dengan si A, bahas apa tiba-tiba sampai urusan nikah. Bertemu dengan si D, bahas apa tiba-tiba sampai urusan nikah. Bertemu siapa lagi selalu saja sampai urusan nikah. Nikah lagi, nikah lagi, nikah lagi. Sepertinya hanya mamak dan bapakku yang tak pernah menanyakan ini. Tapi tetap saja, mereka sering memasang kode pengen cepet-cepet punya mantu.

Bukan aku bosan, bukan aku ingin lari. Untuk apa juga lari, toh aku akan sampai di tahap ini. Mau sejauh apapun aku lari dan sepandai apapun aku bersembunyi, waktu tak akan bisa menahanku. Garis takdir tetap akan sampai kepada yang ditujunya bukan?

Hanya saja aku bingung, kenapa banyak orang begitu senang membicarakan ini. Padahal tidak semua merasakan hal yang sama. Bukankah setiap orang memiliki jatah hidup masing-masing? Kenapa mereka menuntut hal yang sama dengan yang sama? Oke bukan menuntut. Tapi dengan pertanyaan yang selalu sama, itu akan menjadi hal yang sangat memojokkan. Akhirnya, akan berakhir dengan rasa tertuntut juga bukan? Ya memang tidak semua orang seperti ini. Beruntung saja bagi mereka yang teguh hatinya dan tetap menganggap hal itu menjadi hal yang biasa.

Tapi bukankah lebih baik diam dan mendoakan yang terbaik? Atau membantu mencarikan calon yang sesuai dengan kriteria mungkin? Atau apalah yang lebih bisa menjaga hati yang lumayan rapuh ini. Halah bicara apa aku? Aku juga sering tanya ini itu. Tapi tidak melulu soal bab nikah. Beberapa kali aku bertanya, untuk melegakan hatiku sendiri. Aku ingin tahu bagaiman jalanan panjang yang telah mereka lalui sampai bisa mencapai titik yang menurutku tergolong bahagia. Tapi ternyata jawabnya berbeda. Ada banyak sekali liku jalan yang harus mereka lalui. Memang tidak seharusnya aku berfikir seperti itu.

Menikah tidak semudah yang orang-orang bicarakan. Apalagi bagi aku atau orang yang senasib denganku. Yang hangat dipeluk trauma akibat masa lalu kedua orang tuanya. Selalu ada rasa takut yang membayang, meski berulang kali mencoba mengusirnya jauh dari pikiran. Aku percaya tidak semua orang bernasib sama seperti mereka. Aku percaya setiap orang memiliki daya uji masing-masing. Aku percaya Allah selalu menyediakan yang terbaik untuk hamba-Nya. Tapi sebagai manusia biasa, aku juga memiliki hak untuk merasa takut atas ini.

Kemarin aku baru saja selesai membaca buku pemberian dari saudara jauhku. Katanya buku tentang "nikah" ini adalah hadiah ulang tahunku dan sekaligus menjadi bekal untukku supaya lebih bisa mempersiapkan diri menuju itu. Senang bukan main aku menerimanya. Selesai ku baca, aku ingin membagi isinya kepada teman-teman ku.

Waktu itu sore hari. Aku dan teman-temanku pergi makan bersama. Kami menuju ke tempat makan favorit kami di tengah kota. Sampai disana kami menuju ke meja kosong dekat wastafel sebelah utara cafe. Kami duduk disana, memesan makanan, kemudian kami makan sambil bercerita ini itu. Seru, sampai hampir lupa waktu.

"Katanya mau cerita pen?" kata Annisa

"Enggak jadi deh" kataku

"Cerita apa si? Buru napa, kita dengerin kok bong" kata Mayang

Sebenarnya aku tak ingin menceritakan ini. Aku takut berakhir dengan debat yang kita sendiri belum mengerti benar ilmu yang sesungguhnya. Tapi daripada aku memendam pikiranku sendiri, aku pikir berbagi lebih baik. Kemungkinan mendapatkan pandangan dari sudut pandang lebih luas, selain dari pemikiranku sendiri dan juga dari buku yang sudah ku baca tentunya.

Aku menceritakan bagaimana cara mempersiapkan diri sebelum menikah, juga bagaimana tahapan yang dilalui sampai ditahap pernikahan. Kebetulan buku yang ku baca membahas bab pra nikah dari sudut pandang islami yaitu lewat tahapan taaruf.

Mereka mendengarkanku bercerita sampai selesai. Mereka menyampaikan pendapatnya menurut apa yang mereka rasakan. Aku menghargai, sama sekali tak menganggap apa yang mereka sampaikan benar atau salah. Begitupun dengan apa yang aku sampaikan. Kita sama-sama menyimak dan menimbang sendiri mana yang kami anggap baik.

Ada yang menganggap pendekatan itu penting sebelum akhirnya menikah. Menentukan pendamping seumur hidup harus melalui proses mengenal diri pasangan. Kesehariannya, keluarganya, dan apapun yang berhubungan dengan pasangannya.

Ada juga yang menganggap taaruf itu lebih baik. Aku termasuk di dalamnya. Kita tidak perlu membuang waktu untuk menghabiskan waktu bersama dengan orang yang belum tentu membersamai kita menjadi pasangan hidup. Selain itu, taaruf menjauhkan kita dari hal-hal yang dilarang Allah. Tidak aku jelaskan disini satu-satu ya. Aku pikir, sebagian dari kalian sudah mengerti.

Aku pernah beberapa kali bertanya kepada ibu-ibu kantor, tetangga, juga teman-temanku yang sudah menikah. Masyaallah, ternyata sebagian dari mereka yang ku tanyai melalui proses pernikahannya dengan tanpa pacaran. Ada yang semula teman lama kemudian beberapa tahun kemudian datang melamar. Ada yang cuma kenal sebentar langsung di lamar. Dan masih banyak lagi kisah kisah yang serupa dengan itu. Allahuakbar, begitu besar kuasa Allah. Begitu mudahnya dia menjatuhkan hati 2 insan manusia yang bahkan sebelumnya belum pernah saling kenal. Sering sekali aku membayangkan kehidupan setelah menikah tanpa pacaran. Memulai semua dari awal. Mengenal semua dari awal dan kemudian saling mencintai karena Allah. Saling canggung untuk akhirnya saling terbiasa. Menyenangkan sekali semestinya.

Tapi aku tak melulu memikirkan sesuatu yang bahagia. Di dalam rumah tangga pasti akan ada satu, dua, atau sekian kali permasalahan yang tentu akan menguji daya kuat diri. Ini salah satu yang harus kita persiapkan. Kadang permasalahan materi bisa teratasi, tapi susah dengan hati. Hati itu mudah berbolak-balik. Tidak ada yang bisa memastikan bagaimana akhirnya. Yang harus dipersiapkan adalah mental dan penerimaan. Ini susah, belajarnya harus seumur hidup. Semoga kita semua dimanapun, kapanpun, dengan keadaan apapun sama-sama dimampukan Allah untuk bisa melewati garis takdir-Nya yang telah ditetapkan-Nya untuk kita semua. Semoga kita sama-sama didekatkan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat-Nya.

Jangan merisaukan apapun. Nanti kalau sudah sampai waktunya, kita akan dipertemukan dengan pasangan terbaik yang Allah pilihkan untuk kita. Jangan lupa membenahi diri juga memantaskan diri karena Allah. Karena Allah ya, bukan karena jodoh. Ingat ingat. Hehe
Pun jangan melulu mempertanyakan kapan seseorang akan menikah. Nanti kalau sudah waktunya, akan ada undangan sampai ke rumah kalian masing-masing kok. Ya kan?

Salam Literasi.

---------------------

#Day 29
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

2 komentar:

  1. Nikah gak semudah yang diomongkan sebenernya. Marah bisa tiap hari terjadi kalau nggak bisa saling mengimbangi

    BalasHapus

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....