Udara pagi ini begitu segar. Jalanan yang ku lalui lengang. Aku sedang ada di perjalanan menuju kantor menggunakan sepeda motor idamanku ditemani tas gendong yang ku beli sebelum supermarket itu kebakaran. Nasib memang tidak ada yang tahu. Roda kehidupan sebegitu nyamannya berputar melintasi apa saja yang dilaluinya. Sama sepertimu, aku juga pernah merasakan apa yang kau rasakan. Meskipun berbeda, tapi aku katakan kita ini sekisah, senasib, seperjuangan.
Motor yang ku kendarai ku pacu dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin cepat sampai kantor. Tapi aku juga tidak ingin berlama-lama di jalanan. Aku hanya ingin menikmati apa saja yang sedang membersamaiku. Motor yang setengah tahun lagi akan lunas, tas gendong yang agak memberatkan, pakaian kantor yang bebas di hari minggu, jalanan yang lengang, udara pagi yang sejuk, hamparan padi yang mulai menguning, bunga yang sedang bermekaran, langit yang membiru, dan rasa syukur dan juga harapan baru yang tak henti ku rapalkan sejak kedua mataku kembali terbuka seiusai menikmati tidur nyenyakku malam tadi. Hari ini aku akan melalui banyak hal yang membahagiakan. Ini harapanku hari ini. Hehe
Tapi di tengah-tengah perjalanan aku teringat dialog singkatku bersama seseorang yang belakangan ini sering ku sapa dengan sebutan "Tante". Dia perempuan, seumuran denganku, cantik, tapi agak apa seh. Aku susah mendiskripsikan tentangnya. Jadi aku cukupkan saja ya.
Semalam kami tidak sengaja bertemu di acara rutinan mingguan yang diadakan pemudi kampung kami. Kami duduk bersebelahan di sisi agak depan berurutan dengan pintu masuk dan menghadap ke selatan. Sudah beberapa hari kami tidak bertemu. Kesibukan telah memangkas waktu temu kami. Akhirnya moment pertemuan seperti ini kami manfaatkan untuk menceritakan apa saja yang belakangan sudah menyeruak di pikiran kami masing-masing.
"Drama baru muncul di rumahku" katanya memulai cerita
Aku setengah terkejut dan setengah memaklumi apa yang dialaminya. Kami memang sering melakukan curhat colongan setiap bertemu. Membagi apa saja yang belakangan membuat kami resah.
"Apa meneh tee?" tanyaku melanjutkan
Dia bercerita cukup panjang. Tentang lelaki tua yang sering diceritakannya dengan sebutan "beliau" (sopan sekali memang dia), tentang ibunya, tentang kekasihnya, dan tentang dia sendiri. Katanya keadaan di rumahnya memanas.
"Beliau mulai lagi. Terus terus mencari kesalahanku. Ibu. Ibu hampir selalu memihak kepada beliau. Ikut berfikiran yang tidak-tidak tentangku. Tapi kadang aku dengar ibu membelaku. Ibu bilang ke beliau kalau aku tak seburuk yang beliau fikirkan. Tapi apa? Beliau malah marah. Menilai apa yang dikatakan ibuku dan penjelasan dariku salah. Aku dan ibu tidak pernah benar dihadapannya. Aku capek diginiin terus. Memangnya siapa dia?" katanya berbisik panjang.
Aku menyimak ceritanya sambil terus melafalkan tembang sholawat yang terus berlangsung. Multitasking yang agak diselewengkan sebenarnya.
"Sabar cakep. Terus?" kataku mencoba menenangkan
"Terus aku bilang ke ibu 'doain aku cepet wisuda ya bu, biar aku saja yang mengalah dan keluar dari rumah ini'. Rasanya aku pengen cepet pergi, biar nggak kesakitan lagi" katanya melanjutkan
Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Aku menutup mulutku dengan tangan kananku dan kemudian memulai ujaranku. Aku agak marah sebenarnya, kenapa bisa dia selemah itu. Ingin menyerah di tengah-tengah peperangan begitu saja. Kenapa tidak memilih mati sekalian? Ah dia, apa kata-kata bijakku selama ini tidak cukup untuk menguatkannya?
"Sadar tee ngomong gitu?" kataku meyakinkan
"Lhah iya, emang kenapa?"
"Apa kamu nggak malah nambah pikiran ibumu?"
Dia diam. Memikirkan apa entah. Tapi raut wajahnya berubah. Aku sengaja tidak menanyakan kenapa dan malah melanjutkan perkataanku selanjutnya.
"Beneran pengen pergi dan ninggalin ibumu sendiri di rumah dengan beliau yang sudah mulai bernilai buruk dipikiranku juga? Pikirin lagi deh" kataku berbisik
"Sebenernya nggak tega juga si bong. Tapi gimana lagi?"
"Ibu cuma punya kamu dan kamu malah pengen pergi? Tee, kenapa kamu nggak pengen jadi penengah aja si?" kataku memberikan penawaran
"Penengah gimana si bong?"
"Aku tahu berat banget jadi kamu yang sekarang. Disalahin terus, mau ngomong nggak dikasih celah, akhirnya menyerah menjadi pikiran satu-satunya. Aku pernah berada di posisimu yang sekarang. Ya meskipun kasus kita berbeda"
Dia terus mendengarkanku sambil tetap menutup mulut dengan salah satu tangannya dan mengarahkan pandangan ke depan. Kami harus terlihat seperti tingkah orang-orang disekitar kami. Meskipun sebenarnya tidak sama sekali. Haha
"Aku pernah berada diantara mamak dan bapak. Mendengar ocehan yang sama-sama membuatku seperti menerima sayatan perlahan. Aku tahulah kamu paham dengan apa yang aku maksud. Aku bahkan sempat berada di puncak kegelisahan. Merasa menjadi manusia yang sama sekali tidak punya keberuntungan. Dan juga berniat ingin pergi jauh seperti yang kau pikirkan sekarang ini" kataku
"Nah kan" katanya menyela
"Tapi ternyata aku salah. Sejauh dari apa yang telah aku lalui, aku telah berhasil bertemu dengan ladang penerimaan atas apa yang di takdirkan untukku. Sekarang aku sudah berhasil berdamai dengan semua. Apa saja yang dulu membuatku berujar yang tidak-tidak sampai menangis tanpa sebab. Tee, aku nggak bener-bener paham gimana jadi kamu. Tapi aku berharap, kamu bisa menjadi pemenang atas apa yang sedang kamu hadapi sekarang"
"Tapi bong?"
"Setiap orang punya daya uji masing-masing. Aku dan kamu termasuk diantaranya. Tee, dulu setiap drama dihidupku datang lagi aku diam tee. Saking capeknya ngladenin gerutuan mamak dan bapak yang saling menyelahkan. Capek bener, sampai nggak ada lagi yang ingin aku respon. Tiap mereka ngomong, aku dengarkan tapi aku diam. Dalam hati aku berdoa semoga mamak sama bapak bisa terbuka hatinya. Aku juga minta sama Allah semoga dikasih kemampuan untuk bisa melewati apa saja yang menjadi takdirku. Ini yang terpenting.
Waktu itu aku benar-benar tidak punya pilihan, selain memaksakan diri untuk tetap berada diantara keduanya. Meskipun akhirnya aku kesakitan setiap hari, tapi minimal aku tetap bisa memastikan bahwa mereka tetap baik-baik saja. Dan sekarang alhamdulillah, Maha Besar Allah yang telah menjadikan semuanya menjadi lebih baik".
Waktu itu aku benar-benar tidak punya pilihan, selain memaksakan diri untuk tetap berada diantara keduanya. Meskipun akhirnya aku kesakitan setiap hari, tapi minimal aku tetap bisa memastikan bahwa mereka tetap baik-baik saja. Dan sekarang alhamdulillah, Maha Besar Allah yang telah menjadikan semuanya menjadi lebih baik".
Dan suasana kembali hening, kecuali dengan lantunan sholawat yang hendak digantikan dengan lantunan surat Al-Waqiah. Kami bahkan tidak sempat saling peluk. Hanya sekedar saling memandang sekilas. Dan aku memberikan sebuah senyuman untuknya. Harapku, semoga dia tidak terus keras kepala dan sudi mencari cara untuk bisa berdamai dengan apa yang sedang dihadapinya sekarang.
Baiklah, aku sudah sampai di ruang kerjaku dan sepertinya aku harus memulai pekerjaanku sekarang. Jadi, sampai jumpa dicerita selanjutnya. Happy weekend pembaca kisah usangku.
Salam Literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar