Aku panik memandang wajah teman-teman ku yang juga menyembunyikan panik. Kami saling berhadapan, juga saling bertanya bagaimana setelah ini. Rapalan doa yang diniatkan untuk menenangkan hati, sepertinya tidak manjur sama sekali. Malah semakin menjadikan kami ketakutan.
"Oh Allah, teguran ini begitu dahsyat. Maafkan kami atas kebodohan kami ini" kataku berbisik
Kami mahasiswa tingkat 2 jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Semarang. 23 mahasiswa mahasiswi ciamik yang tentu banyak gaya dan sekaligus cakep-cakep. Kami tidak begitu dekat, tapi selalu kompak setiap menyelesaikan tugas dan foto bersama. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kurang dekat dengan mereka. Salahku mungkin, terlalu memihak kepada organisasi yang aku ikuti.
Waktu itu jam lab praktek akuntansi. Dosen pengawas yang biasa mengawasi kami sampai jam praktek selesai tidak ada di kelas. Kami duduk di meja praktek kami masing-masing dengan ketakutan yang pasti. Setelah hampir satu jam, dosen pengawas bersama dosen mata kuliahku masuk. Tentu saja dengan wajah kecewa yang teramat sangat.
Beliau duduk, meletakkan barang bawaan dan merapikannya. Ruangan masih hening. Kami juga masih dilanda ketakutan. Kali ini kami menunduk, tak berani menatap wajah-wajah kecewa dosen terbaik yang pernah kami miliki.
"Saya kecewa dengan apa yang sudah kalian lakukan" kata dosen makul
Kami mulai mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk menatap wajah-wajah kecewa itu. Rasanya kami ingin lari, tapi entah. Seluruh badan rasanya lemas tak bertenaga menahan kesalahan karena ide bodoh kami.
"Saya itu sayang ke kalian. Saya percaya penuh kepada kalian dari awal. Saya yakin kalian bisa. Tapi saya tidak menyangka, kalian bisa setega ini dengan saya"
Seperti tersayat. Hati kami menangis pedih menyesali semuanya. Tak henti kami mengulang kata maaf berkali-kali kepada dosen kami.
"Bu, maaf"
"Iya bu, maafin kami ya buk"
Seperti itu terus, bergantian dan sampai ruangan kembali hening.
"Jauh sebelum kalian meminta maaf, saya sudah lebih dulu memaafkan. Tapi kesalahan kalian tetap harus diberi ganjaran. Saya pastikan, nilai kalian di mata kuliah saya tidak akan ada yang mendapat nilai A"
Baiklah, setidaknya sudah ada penerimaan maaf. Soal konsekuensi yang ada, mau tidak mau kita tanggung bersama. Semenyedihkan apapun itu.
"Dan untuk kamu Dwi, saya lebih kecewa lagi kepada kamu. Harusnya hal semacam ini tidak terjadi. Dan untuk kalian semua, awalnya saya berniat memberikan kalian nilai minimal B, bahkan untuk kalian yang tidak bisa mengerjakannya. Tapi tidak setelah ini." imbuh dosen makul
Batin kami tersentak lagi, memikirkan nasib pahlawan di kelas kami yang harus lebih menanggung ulah kami. Kenal saja namanya dengan sebutan "Dwi". Dia adalah andalan kami. Orang yang paling berjasa hampir di setiap mata kuliah kami. Sebentar, tidak berlaku untuk kami semua. Tapi cukup berlaku untukku. Dia adalah orang yang paling mau disusahkan teman-teman terutama dalam memahami setiap detail mata kuliah yang belum kami mengerti. Dengan sabar dia mengajari kami sampai benar-benar paham. Aku beruntung bisa mengenalnya. Semoga kasih sayang Allah selalu tercurah kepadanya dan kepada kami semua.
Waktu itu ada mata kuliah praktek yang susah kami pahami. Berulang kali kami masuk mengerjakan dan berulang kali juga kami kembali dengan kertas jawaban yang masih kosong. Kami kebingungan. Sudah belajar paham tapi belum juga bisa. Akhirnya saling mengeluh kami nikmati setiap keluar ruangan praktek.
"Udah sampai mana tadi?"
"Halaman sekian isi pastinya berapa si?"
"Kok aku ga bisa si, gimana sih caranya?"
"Ajarin dong, aku ketinggalan jauh nih"
Dan banyak sambatan lagi yang keluar dari satu per satu mulut kami. Akhirnya kami berunding, mencari cara bagaimana keluar dari belenggu kebingungan ini. Kami meminta tolong ke Dwi dan dia mau. Awalnya dia hanya menjelaskan bagaimana cara mengerjakan soal itu. Tapi kemudian kami mencatat dan membawa catatan kami ke dalam kelas kemudian menyalinnya di kertas jawaban yang tersedia. Kebetulan soal yang kami pelajari dengan bimbingan Dwi adalah soal yang ada di kertas soal yang kami kerjakan di kelas. Kami menghafalkannya dan kemudian menyampaikan keluhan kami kepada Dwi untuk selanjutnya dipelajari bersama. Sejak saat itu, kami jadi lebih rajin belajar bersama. Bahkan ketika jam kuliah sudah selesai.
"Kita hafal saja ya teman-teman. Jangan sampai ada yang bawa catatan ke dalam kelas. Cukup seperti ini saja" kata Dwi
Tapi kami meyakinkan Dwi untuk tidak mengkhawatirkan apapun. Awalnya dia tidak setuju, benar-benar menghalangi niat kami yang tidak baik ini. Tapi karena tidak tega atau sudah terlalu bosan mendengar rengekan teman-temannya, akhirnya dia membiarkan kami dengan catatan kami harus berhati-hati agar tidak ketahuan dosen pengawas.
Kebiasaan itu berlangsung cukup lama. Membawa ponsel sekaligus catatan hasil belajar bersama khususnya. Sampai beberapa bab selesai kami kerjakan. Tapi sepertinya Allah menunjukkan kuasa-Nya. Hal yang menurut kami adalah sebuah keberuntungan tapi sebenarnya tidak sama sekali. Suatu hari setelah praktek selesai, Ponsel salah satu temanku tertinggal di laci meja prakteknya. Akhirnya ponsel disita dosen pengawas dan kemudian dilaporkan ke dosen mata kuliah. Chat grup kami dibaca dan dari sinilah nasib kami ditentukan.
Sampai di kelas selanjutnya temanku menceritakan ketakutannya. Dia meminta maaf kepada kami semua. Tapi kami justru tidak memarahaminya. Dengan besar hati, kami malah saling menenangkan. Mungkin kami mulai sadar kalau apa yang kita lakukan itu salah atau bahkan sebelumnya memang kami sudah mempersiapkan diri untuk menerima kemungkinan terburuk ini. Kami bahkan tidak memikirkan diri kami sendiri, tapi malah lebih memikirkan Dwi. Orang baik itu tidak semestinya menanggung semua ini. Bahkan dengan penjagaan yang dia lakukan kepada kami dengan mewanti-wanti diawal agar kami tidak membawa apapun ke ruang praktek.
Tapi dia begitu tabah. Meskipun air matanya menetes mengabarkan penyesalan, tapi dia tetap bisa menenangkan kami. Aku tidak sampai hati membayangkan menjadi dia. Akankah bisa setegar itu? Aku tidak yakin.
Sampai pada akhirnya penerimaan hasil KHS. Semua anak-anak di kelasku di mata kuliah ini mendapatkan C dan hanya beberapa yang beruntung mendapatkan B. Tapi sesuai dengan apa yang dikatakan dosen mata kuliah, bahwa kami tidak akan mendapatkan nilai A. Kami menerima ini dan saling berjanji tidak melakukan ini lagi sekaligus menutup rapat aib kelas ini. Tapi meskipun begitu, kami pikir semua dosen sudah mengetahui kabar ini. Bahkan beberapa dari mereka mulai menebakan sindiran kepada kami. Sekali lagi, kami menerima ini. Ini adalah sanksi dan pembelajaran untuk kami juga untuk kita semua.
Tidak hanya itu, karena kejadian ini Dwi lebih menanggung sesuatu yang lebih berat. Betapa semakin merasa bersalah diri kami melihat ini semua. Harusnya dia bisa naik panggung menerima penghargaan sebagai salah satu mahasiswi terbaik di angkatan tahun kami. Tapi ternyata tidak. Padahal semua nilainya bagus, bahkan jauh lebih pantas menerima penghargaan dari pada beberapa mahasiswa yang naik ke panggung wisuda itu.
Dia bertanya kepada teman-teman yang setipe dengan dia. Dia bertanya kepada beberapa dosen, tapi tidak juga membuahkan hasil. Katanya setelah kembali ke barisan teman-teman kelas, dia bilang karena kasus ini dia jadi dipertimbangan untuk mendapat penghargaan. Tapi sekali lagi. Dia kuat. Dia katakan kepada kami semua.
"Ya udah cah, enggak papa. Mungkin memang bukan rejekiku"
Masyaallah. Rasanya ingin sekali menangis, tapi sayang make up. Hari ini wisuda dan kami dituntut tampil berbeda. Dan make up adalah salah satu cara kami tampil berbeda, selain gaun yang kami kenakan.
Akuntansi 1 POLINES 2014 |
Dan biarlah ini menjadi cerita kelamku bersama teman-teman kelasku. Biar kami benar-benar tahu, bahwa nilai yang selama ini kami kejar bahkan dengan cara yang sangat tidak pantas tidak akan menolong kami ketika kami dirundung kesedihan. Kejujuran memang lebih harus dijunjung tinggi daripada apapun. Toh di dunia kerja nilai hanya digunakan sebagai pengantar sampai pintu gerbang masuk tempat kerja. Setelahnya, softskill kita yang akan membawa kita untuk benar-benar diterima kerja sebagai karyawan sebuah perusahaan. Ilmu itu hanya bekal untuk memudahkan pekerjaan yang akan kita hadapi di kantor tempat kita bekerja. Tapi attitude lah yang membuat kita mampu memposisikan diri di kehidupan kelak.
"Biar saja. Biar kita punya bekal cerita untuk anak-anak kita nanti bahwa kita pernah sekonyol ini" kata beberapa diantara kami
Kami tertawa bersama. Sampai kami benar-benar dipisahkan oleh jarak dan waktu. Sekarang kami sudah saling berjahuan dan sesekali bersua lewat chat grup. Aku merindukan mereka. Merindukan apa saja, termasuk perihal ini. Semoga kita bisa bertemu lagi di keadaan yang lebih baik lagi teman-teman.
Salam Literasi.
-----------------------
#Day28
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#binglalahijrah
#ulasrasave
Tidak ada komentar:
Posting Komentar