Jumat, 16 Oktober 2020

"Pukul 10 Malam"

/1/
Langit-langit kamar serasa berbintang
dipenuhi cahaya-cahaya temaram
yang menepi perlahan,
menuju tengah malam

Saatnya menjelma,
menjadi nona berwujud puisi
yang mahir, merajam rasa
menjadi bait-bait kata

/2/
Pertikaian baru saja dimulai
logika, nurani, dan
persimpangan jalan
yang memaksa berhenti ; hari-hari ku akhiri
dengan meniup lilin-lilin,
redup; kunikmati teguk demi teguk
syukur, tanda sebagai hamba yang terukur

/3/
Barangkali tak pernah ada sunyi,
barangkali sunyi hanya gemuruh
yang menjelma sebagai sosok-sosok
yang gagu
ayam-ayam sibuk menggembara,
katak-katak bersembunyi di balik cerita, dan
aku masih sibuk membaca mantra

"Jadilah esok lebih bahagia"

/4/
Denting jam terus berjalan
memikul rapuh rahasia tuannya
dalam, kubenamkan sejenak kata hatiku
yang berantakan
kutimang luka-luka tak berwujud itu
bergumam aku tak mampu,
berserah aku bertumbuh

"Tak ada yang tak baik-baik saja. Terimakasih cinta"

/5/
Kereta puisiku berhenti,
memungut puing-puing rumit
yang menggunung

Pulang,
pada dentingan detik terakhir
aku kembali ; melerai
tanda tanya dan realita

Terbukalah,
pintu-pintu maaf
dekaplah aku,
ruang kosong
yang kadang berair, dan
sering berapi

Aku ingin lelap
aku ingin selesai
sebagai puisi
yang tak lagi resah
.
.
(Kudus, Sep 21'20)

Minggu, 27 September 2020

Tanda Tanya Di Meja Kerja

Kemarin, panggung cerita ala kadarnya menggelar pestanya. Dibuka dengan pertanyaan "ada cerita apa selama kita tidak bertemu?" 3 perempuan amatiran memulai perannya. Mengurai dan mendongeng satu per satu kebahagiaan, kekecewaan, air mata, dan segala sambatan yang menyertainya sampai habis kata-kata. Bukan, bukan karena habis ceritanya. Tapi karena sadar betapa terlalu terbatasnya waktu yang kita punya, padahal satu yang lainnya juga butuh panggung untuk bercerita. Bagian demi bagian terlewati dan kami selesai dengan makan sushi di warung sushi langganan kami. Lumayanlah untuk buang-buang waktu, mengusulkan makan disana dan disono dengan menu yang ini yang itu yang akhirnya berakhir lagi di tempat sushi itu.

Satu bagian yang masih tersisa di kepalaku. Pertanyaan itu, pertanyaan yang kubuat sendiri. Pertanyaan yang rasanya berat kujawab sendiri.
"Kalau kalian dikasih kesempatan bisa balik ke masa lalu, kalian pengen balik ke umur berapa dan kenapa?"
Pertanyaan itu, entah kapan berhenti menari-nari di kepalaku. Ingin sekali aku menjawabnya, tapi rasanya hampir setiap bagian dari hidupku ingin kembali kuselami. Mengulang dan memperbaiki satu per satu kesalahan yang hampir tidak kusadari. Tapi kalau memang benar aku dikasih kesempatan bisa balik ke masa lalu, aku ingin kembali ke masa, emmhh mungkin saat umurku masih 5 atau 6 tahun. Bukan, bukan untuk menjadi dewasa. Aku hanya ingin menjadi yang paling bisa menerima dan berdamai dengan semuanya. Aku ingin juga menjadi yang diterima dan senantiasa menjadi hangat. Ahhh rasanya aku ingin menangis mengingat perjalanan 20 tahun terakhir ini. Pahit sekali dan parahnya aku sendiri belum mahir membuat beberapa bagiannya menjadi "manis".

Lelah juga ya ternyata. Membenci apa yang semakin menjadikan diri sendiri malah semakin mencintai. Begitulah yang kusadari akhir-akhir ini. Sadar kecewa tapi tak sanggup marah-marah. Sadar ingin lari tapi nyatanya tetap saja berada dititik yang awal sekali. Terlepas dari penjelasan yang masih sesekali kunanti, juga salah yang terpaksa kuterima tanpa pernah kudengar permisi dan atau sekian kata maaf (mungkin), juga dari kebencian yang diselimuti dengan sekian cinta. Marahku tak bisa sepenuhnya tumpah. Marahku begitu saja, padam, dalam diam. 

Pagi ini di meja kerja, aku berdua dengan cerita orang-orang yang kubaca di berbagai media. Di meja kerja aku merana, mengingat apa saja yang tiba-tiba terlintas di kepala. Di meja kerja aku sigap menyeka air mata, bertahan menjadi lebih kuat demi tidak menjadi perhatian rekan-rekan kerja. Di meja kerja aku tidak boleh bersuara, kecuali karena gembira. Di meja kerja aku  menata hati, berharap apapun yang dianugerahkan untukku ini bisa kuterima dengan selapang-lapangnya.

Empat tujuh delapan, kuulang perlahan dan berulang. Empat tujuh delapan, kuhitung dan sesekali menahan. Rasanya aku sudah hampir berhasil masuk. Bukan ke alam bawah sadar, hanya kepada ingatan lama yang enggan pudar. Di persimpangan jalan itu, di antara pintu-pintu yang terbuka, di antara remang cahaya yang masuk melalui bilik-bilik jendela, di antara apa yang tidak membuatku mengerti dan akhirnya hanya bertahan dengan tanda tanya tanpa jawabnya. Terduduk aku disana , bersama pangeran kecil. Di siang terik yang bertambah terik karena dingin yang tak kusadari ternyata perlahan telah membakarku, aku terpana. Lebih kebertanya kenapa. Tapi aku hanya bisa bisu melakoninya.

Sepasang yang pernah begitu saling mencintai, tak mempedulikan sekitarnya lagi. Sepasang itu terus saja menari-nari di atas panggung megah. Panggung yang tak pernah mereka sadari mewah gelaran pestanya. Dan aku masih terduduk disana, masih juga bersama bayangan pangeran kecil dan wajah datar yang basah oleh air mata.

Hanya ada sisa kerja yang seadanya dan semampu yang mereka ingin dan tentu yang mereka bisa. Merasa baik-baik saja, menyayangi anak-anaknya dan juga menyenangkan jiwa raganya. Ahh rasanya aku ingin merajam isi kepala mereka dan mencabik-cabik hati mereka, sampai kutemukan maksud dan tujuan ini terjadi. Rasanya ini tidak adil, tapi itu adalah hidup mereka. Aku tidak berhak sama sekali. Mereka sama sepertiku, berhak salah, berhak marah, dan tentu berhak berdarah. Mereka berhak mengukir luka dihati siapa saja dan semoga cerita bijaksana dan satu pelukan bisa membayar apa saja yang sepertinya tidak bisa dibayar dengan itu semua.

Aku sudah merasa, aku telah mencoba, rela. Tapi ya rasanya aku belum berhasil menerima semuanya dengan sempurna. Ada bagian darinya, yang sepertinya tidak akan pernah menjadikanku kembali utuh. 

Setiap hari, setiap waktu aku mengetuk. Aku mengetuk pintu hatiku sendiri. Memohon untuk bisa menyayangi siapa saja yang menyayangiku selayaknya mereka menyayangiku. Setiap hari aku mengetuk. Aku mengetuk pintu langit. Memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk bisa melembutkan hatiku dan memampukanku berdamai dengan segala hal yang menjadi ketentuan-Nya.

"Hidup ini kepalang bajingannya ya ma?"

Haha kalau aku menanyakan itu kepada mamaku, pasti dahinya langsung mengeryit dan tentu saja diakhiri dengan mengiyakan pertanyaanku. Mungkin juga mama akan berkata "sangat, apalagi siapa, siapu, siapi, dan sia-sia lain yang sudah menjadikannya kokoh berdiri seperti sekarang. Mamaku kuat, meskipun keras. Mamaku sayang, meskipun hidupnya kepalang malang. Mamaku hebat, meskipun sering mengeluhkan asam urat.

Di dekatku puluhan pasang kaki berdiri tegap, menapaki hidup yang kadang tak masuk dicerna akal. Di dekatku puluhan pasang mata memandang, berkedip anggun seolah bicara bahwa semua akan baik-baik saja. Di dekatku puluhan hati merah muda penuh cinta, menebar bahagia kepada siapa saja yang dirangkulnya. Di dekatku puluhan bibir tersenyum, meramu rayu pada sedih yang singgah di hati. Di dekatku puluhan jiwa hilang, seolah di tempatku berdiri hanya ada aku dan aku seorang. Di dekatku aku bertanya, apa tandanya bahagia pada isi kepala yang enggan berhenti mempertanyakan apa saja?

Kadang aku bertanya, bagaimana cara menemukan bahasa cinta  seorang laki-laki? Aku belum bisa menemukannya. Mencari ditubuh bapak aku buta, mencari ditubuh anak lanang mama aku kebingungan, mencari ditubuh seorang pria aku ketakutan.

Kadang aku juga bertanya, bagaimana cara menemukan bahasa cinta seorang perempuan? Aku merasa belum juga bisa menemukannya. Mencari ditubuh mama aku melihat banyak luka, mencari ditubuh teman-teman aku merasa rumit, mencari ditubuh sendiri aku seperti terperangkap dalam sebuah labirin.

Tidak tersentuh, tapi bekasnya terasa menyeluruh. Berlari jauh sampai ke antah berantah, aku hilang diantara kabut amarah. Terjatuh begitu dalam, aku tergilas putaran waktu. Bahagiaku direnggut, diganti dengan luka yang akhirnya menjadikanku tersudut.

Aku terluka oleh wajah-wajah itu. Ingin sekali bertanya, tapi aku tak mampu. Aku tidak mau, aku tidak mampu menjadikan mereka lawan bicaraku untuk banyak pertanyaan dan kebingunganku. Aku takut menambah luka. Aku takut menguras deras air mata. Akhirnya kepada hati sendiri aku berpulang, meramu pelipur lara, sendirian.

Tidak apa-apa, esok aku akan berhenti. Tidak apa-apa, esok aku akan berhasil menaklukkan diriku sendiri. Tidak apa -apa, esok aku akan berhasil merelakan ini. Tidak apa-apa, esok aku akan menyelesaikan ini. Tidak apa-apa juga kalau ternyaa akhirnya aku menangis (lagi). Sebab menangis bukan tidak mungkin karena sesuatu yang menyedihkan. Hanya saja ada beberapa hal yang bahkan tidak diketahui sebabnya pun bisa menyebabkan patah hati, dan basah di kedua pipi, juga rintihan di hati. Semua bisa jadi ada secara tiba-tiba ada, tanpa pernah benar-benar diketahui penyebabnya. Sebab jika akhirnya ada air mata yang jatuh di meja kerja, itu bukan berarti apa-apa kecuali karena alasan cinta yang entah kemana arahnya.

Tapi ma, apa kabar rambut panjangku? Aku lucu sekali ya kepangan dikuncir satu? Baju warna warni, tas gendong, dan botol minum. Ah tapi mama tetep juara satu menjagaku. Makasi ya ma.

Dan bapak, apa kabar motor bututmu pak? Aku kangen tahu pak dibonceng di depan. Sepatu ilang sebelah, baju basah berhias lebah, dan tiup lilin diperayaan ulang tahunku bersamamu. Ahh ternyata moment kita tidak sebanyak itu pak. Mau tidak pak, kita mengulangnya lagi, dari awal? Aku masih pak, aku masih sama, menjadi putri kecilmu selamanya.

Di meja kerja ini, aku merasa sepi. Berulang kali kupanggil banyak nama, tapi nyatanya aku tak mampu bersuara. Lalu kutulis sajak, tapi aku terhenti di bait pertama.

Di meja kerja ini, aku merasa gelap. Gelap sekali. Lorong perjalananku tak bercahaya, tak ada kilau bintang-bintang, tak ada bulan sabit serupa senyumku, tak ada apapun. Kecuali, aku. Dan sisa-sisa harapanku. Tentang apapun dan tanpa pengecualian apapun.

Di meja kerja ini, aku merasa dingin. Tak ada bentangan tangan siapapun, tak ada belai lembut penuh sayang di kepalaku, tak ada yang bisa menghentikanku berkata tak ada. Tak ada. Ya, aku telah mengulangnya. Sengaja.

Di meja kerja ini, aku ingin sementara berhenti bertanya. Rasanya sesak sekali. Mengulang duka, mengobati luka, dan merana lagi dan lagi sambil bertanya-tanya.

Di meja kerja ini, bolehkan aku mendapatkan salah satu?


Selasa, 04 Agustus 2020

Hadiah Kebenaran Yang Tidak Kusuarakan

"Bodo amat moo nulis gini doang nggak kelar kelar hiksss"

Begitulah judul draft terakhir yang kubuat untuknya. Sebuah draft yang akhirnya kuubah lagi isinya menjadi lebih, emhhh aku berharap itu bisa jadi lebih sederhana. Tapi kelihatannya tidak juga, aku pikir aku hanya membuatnya lebih cepat selesai terbaca. Ya, begini lebih baik.

Harusnya ini bisa sampai kepadanya lebih cepat. Tapi ya dipikir-pikir, sebenarnya aku hanya berusaha menjadikan semua ini menjadi tepat. Semoga saja besok pas aku berani, aku tidak terlambat. Sebenarnya aku sudah mulai lelah, sudah hampir gila, tapi masih bisa sumringah.

Aku tidak tahu bagaimana cara memulai. Aku tidak tahu ini akan menjadi pantas atau tidak. Aku tidak tahu apa ini, tapi aku pikir sudah seharusnya dia tahu. Aku tidak bisa mengatakannya sebagai apa, tapi aku punya kebenaran yang tidak kusuarakan kepadanya. Oh bukan tidak, aku hanya belum berani mengatakannya. Aku tidak bisa memastikan ini akan menjadikan aku dan dia baik-baik saja setelahnya. Tapi aku pikir, aku perlu begini untuk menjadikan diriku menjadi apa adanya. Akhir-akhir ini suara hatiku berisik sekali, isi kepalaku jadi penuh, aku jadi susah tenang.

Sudah lama aku tidak menyapanya. Sekedar menanyakan kabarnya.  Padahal aku ingin sekali tahu bagaimana kabarnya. Aku ingin tahu cerita-ceritanya selama tidak denganku. Aku ingin tahu semua tentangnya. Apa yang dia suka, apa yang tidak dia suka, apa yang masih menjadi cita-cita, apa yang sudah menjadi nyata. Apapun itu, aku ingin tahu. Tapi ya sengaja tidak kulakukan. Mana mungkin aku sepercaya diri itu? Tapi ya sudahlah, sebenarnya aku hanya sedang mencari celah. Tapi kalau ternyata ini akan menjadi sesuatu yang salah, aku tidak akan menyesalinya. Tapi ya kenapa tidak kulakukan saja? Namanya juga usaha. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin bukan? Ya aku tidak terlalu percaya diri, tapi kan tidak ada salahnya mencoba. Maksudku memupuk percaya. Iya kan? Ya, begitu. Aku hanya ingin memberitahunya saja. Soal bagaimana setelahnya, aku belum terlalu memikirkannya. Aku hanya ingin bebas, aku hanya ingin jadi berani, aku hanya ingin merdeka, aku hanya ingin tetap menjadi aku yang banyak bicaranya, aku hanya ingin mengatakan segalanya, sejujur-jujurnya. Aku sungguh tidak bermaksud membuatnya menjadi terbeban. Aku juga tidak bermaksud membuatnya terkejut. Aku sungguh sudah mengupayakan datang kepadanya dengan hati-hati. Aku hanya mulai merasa kelelahan dan aku sudah ingin dia tahu tentang perasaan sialan ini. Sialan? Haha aku tidak menyangka akhirnya aku mengatakannya.

Tentang kebenaran itu, sebenarnya aku tidak tahu persis semenjak kapan. Aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Aku tidak tahu dimana tepatnya. Aku tidak tahu akan mengatakannya sebagai apa. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, tidak dengan bertanya, tidak juga dengan mencari jawabnya.  Sudah lama tidak bersua, tapi rasanya masih sama. Aneh, tapi ya gimana? Suka tiba-tiba ada. Aku sungguh tidak sengaja merasakannya. Aku sungguh tidak berniat memulai ini semua. Tapi ya tahu-tahu jadi terlanjur. Aku jadi bingung harus bagaimana. Sejauh ini aku tangguh diam sendirian. Tapi akhir-akhir ini aku mulai kuwalahan. Aku pikir memang sudah saatnya aku mengakui sesuatu kepadanya. Mumpung aku dan dia masih sama-sama ada di bumi.

Aku ingat bincang malam setelah seleksi waktu itu. Gelap, dingin, ketakutan, terburu-buru, teledor, dan pincang sampai seminggu setelahnya. Haha sekarang sudah pulih, aku sudah bisa berjalan dengan normal lagi. Aku bahkan bisa lari-lari, melompat-lompat, dan melakukan apa saja yang aku mau. Tapi belum dengan datang ke arahnya. Wkwk pengecualian yang payah.

Malam itu aku tidak sengaja menoleh ke belakang, melihatnya, tersenyum, tapi tidak lama. Buru-buru kukembalikan pandanganku ke posisi awal lagi. Rasanya langsung aneh, entah apa yang tidak beres denganku. Awalnya aku pikir ini hanya kebetulan, tapi ternyata tidak. Tapi bukankah segala hal yang terjadi di semesta ini sudah digariskan-Nya? Sejak malam itu, setiap berada disekitarnya irama degup jantungku jadi berantakan. Aku sudah bilang, rasanya aneh. Tapi aku kenapa? Ya mana kutahu. Segalanya begitu saja terasa tanpa pernah memberikanku kesempatan bertanya “kenapa?”. Tega ya? Malam itu kupikir aku baru saja jatuh. Rasanya luar biasa. Tidak sakit, tapi peningnya berhari-hari dan tentu berkali-kali. Ya menyebalkan sekali terjebak dikondisi begini.

Bertanya "apa, kenapa"? Tanda tanyaku sia-sia. Tidak ada jawaban yang berhasil menenangkanku. Akhirnya sejak malam itu, semua berjalan begitu saja. Tapi rasanya ketakutanku jadi 2x lipat lebih banyak. Isi kepalaku selalu sibuk menerka-nerka. Seperti itu ceritaku. Sudah bertahun-tahun aku berusaha lari, tapi aku pikir aku tidak ditakdirkan ahli dibagian ini.

Aku tidak bisa menjelaskan dibagian mananya, ganteng sudah pasti. Siapa yang tidak tahu ini? Ya, ini poin yang tidak berpoin. Mapan? Aku bahkan sudah lebih dulu jatuh ketika seragam hitam putih masih sama-sama mengiringi perjuanganku dan perjuangannya di rumah yang nyaman tapi banyak ricuhnya itu. Mungkin dari suaranya atau mungkin hanya itu. Aku suka warna suaranya. Aku suka cara bicaranya. Aku suka mendengarnya mengaji. Aku suka sekali. Dibeberapa kesempatan aku mencoba menjadikan diriku biasa saja. Tapi tidak lagi bisa setelah malam itu. Adakah yang tahu rasanya dibelai angin malam disepanjang perjalanan menuju sabana Merbabu? Adakah yang tahu ketika tiba-tiba kau dengar seseorang melantunkan beberapa ayat di bawah tarian bintang dan sinar rembulan dimalam yang sedang lelah-lelahnya itu? Adakah yang tahu betapa segala penat dan lelahku seketika hilang karena tiba-tiba mendengar suara itu? Adakah yang tahu betapa aku pernah ingin membawanya pulang dan menjadikannya tempat pulang? Adakah yang tahu siapa saja yang menyadari semua itu? Aku pikir dia sendiri tidak menyadarinya. Sebenarnya, aku juga tidak, tapi entahlah. Aku benar-benar tidak tahu ada apa denganku. Tiba-tiba sesuatu muncul dibenakku. Kataku 

“Mungkin suara ini yang akan selalu jadi obat dari segala kekalutanku. Iya tidak si? Tidak apa iya si? Iya apa iya si? Nggak tahu. Lihat nanti deh. Astagfirullah Astagfirullah Astagfirullah, aku kenapa?”

Lucu? Tidak sama sekali. Suaranya biasa saja, tapi ya istimewa. Aku sering menirukan gayanya. Kadang berhasil, tapi ya banyak tidaknya. Susah juga ternyata. 

Aku tidak bisa menyebut ini apa. Mungkin aku terkagum, atau entahlah. Sebenarnya aku juga tidak ingin mengatakan apapun kepadanya. Ya, tentu saja aku malu. Tentu saja aku tidak percaya diri. Tentu saja aku takut. Aku cantik tapi tidak terlalu. Aku keras tapi cepat layu. Aku berisik tapi sepi. Aku utuh tapi terbelah. Aku masih kuwalahan dengan egoku sendiri. Aku paham itu. Aku tahu aku jauh dari apa yang menjadi impiannya. Aku tahu bisa saja dia mengidamkan yang lebih dariku. Aku tahu aku mungkin masih jauh dari kata layak untuk bisa membersamainya. Ya aku tahu, tidak seharusnya aku berpikir begitu. Aku pikir dia sudah jauh lebih tahu semua itu. Tapi ya sudahlah.

Sebenarnya sudah sejak lama, semacam berpuisi dan menulis sajak tentangnya. Tapi ya belum juga ada yang sampai kepadanya. Entah aku yang kurang berusaha atau memang dia belum diijinkan untuk tahu. Entahlah, yang aku tahu sekarang jarak sudah sebegitu teganya membentang. Aku dan dia sudah sama-sama jauh dan sama-sama hampir hilang. Aku tenggelam dalam beberapa ketakutan, dan dia? Aku bahkan tidak tahu dan sengaja tidak mencari tahu tentang itu. Sejak awal aku tidak pernah mencari tahu tentangnya. Aku tidak pernah tahu hobbynya, makanan favoritnya, cita-citanya, dan apapun tentangnya. Memang sengaja tidak kulakukan. Biar saja, biar aku tidak semakin jatuh. Biar aku jatuh pada apapun yang menjadi sebatas kutahu. Biar berjalan secukupnya saja. Seperti ini kadang membuatku bertanya "jatuh macam apa yang kulakoni dengan begini?"

Kau tahu? Bahwa jatuh selalu membuat kita lebih baik dari sebelumnya. Jatuhnya jatuh yang sebebas-bebasnya. Terlepas dari akhir yang akan bersambut atau malah sebaliknya. Seperti itu aku menikmati jatuhku. Seperti itu yang kulakukan demi merasa dekat dengannya. Menjadikan suaranya sebagai nada alarm, menari dengan kata-kata, mengingat malam itu, memanggil-manggil namanya dalam bincang sendiriku, berdialog dengannya dengan puisi dan sajak-sajak itu, juga melangitkan doa-doa. Sementara ini cukup kulakoni. Setidaknya aku tidak harus datang kepadanya dulu. Setidaknya rahasia ini tetap aman digenggamanku. Setidaknya dia akan jadi abadi menjadi sajak-sajak amatirku.

Aku jadi ingin meminta banyak maaf kepadanya. Maaf karena sudah sering tidak sengaja mengandaikannya disela-sela lamunanku. Aku suka sekali mempertanyakan sekian kemungkinan setelahnya, lalu menjawabnya dengan pemisalan-pemisalan yang kuandaikan sendiri. Hanya sebentar, tapi berkali-kali terjadi. Kadang aku berusaha menghindari ini. Tapi semakin pikiranku kuajak lari, malah semakin jelas rasanya. Aneh ya, kubuka mata dia tidak ada, kututup mata bayangnya serasa nyata. Haha. Semesta memang sering sebercanda itu ya. Sudah ada yang mendekat juga kepikirannya masih dia. Jahatnya aku. Sedih.

Sekarang 2020 sudah datang lebih dari separuh. Kita hampir genap lagi untuk sampai ditahun yang baru. Jadi, sudah berapa lama aku mengaguminya? Jadi, sudah berapa lama aku terjebak dikondisi semenyebalkan ini? Jadi, sudah berapa lama aku menjadi bisu dan berharap dia tahu tanpa perlu kuberi tahu? Jadi, sudah berapa draft yang kubuat sampai akhirnya jadilah ini? Jadi, sudah berapa pendapat yang kutimbang sampai akhirnya jadi berani begini? Jadi, kalau aku terlanjur mengungkapkannya lebih dulu waktu itu, kira-kira akan secanggung apa ya aku dan dia setelahnya? Haha aku benar-benar tidak berani membayangkan resiko berat yang akan kutanggung setelahnya.

Aku hanya perlu dia tahu apa yang pernah dan masih sesekali aku rasakan. Siapa tahu ada juga yang perlu kutahu darinya. Aku hanya ingin membebaskan diriku dari kekacauan yang telah dengan baik kurawat selama ini. Aku hanya ingin jujur kepadanya dan tentu kepada diriku sendiri. Aku hanya ingin menyelesaikan ini. Aku tidak ingin menjadikan ini hal kedua yang tidak bisa kuselesaikan. Aku hanya tidak ingin menyesal karena tidak berhasil mengatakan ini kepadanya. Ini tidak mudah, tapi sejauh ini aku telah berhasil melakukannya. Sudah lama sekali aku menahan diri dan melaluinya dengan segala kegelisahan yang kurahasiakan sendiri. Aku senang karena akhirnya aku bisa menjaga rahasia ini sendiri. Aku senang karena aku dan dia baik-baik saja sampai saat ini. Aku senang karena sempat melihatnya senang. Aku senang karena sempat setenang itu meskipun hanya bisa melihatnya atau mendengar suaranya dari jauh. Aku senang akhirnya dia tahu apa yang selama ini kurasakan. Aku senang akhirnya aku berhasil mengutarakan. Tapi besok ya, kalau aku tidak kehilangan nyali dan kepercayaan diri. Haha.

Segala awal akan menemukan akhir dan segala akhir akan menjadi sebuah awal. Begitulah kehidupan. Aku tidak ingin menebak akan seperti apa setelah menjadikannya tahu ini semua. Bagiku diam atau bicara, berjalan atau berlari, menujunya tetap akan menjadi yang beresiko bagiku. Pun kupendam atau kusampaikan, keadaan tidak akan bisa merubah kapasitasku menjadi seorang perempuan. Aku tidak pernah takut kehilangan dirinya sebagai apapun. Toh, semua hal punya masing-masing fasenya. Aku hanya takut tidak berhasil membuatnya tahu tentang ini semua. Karena jika setelah ini aku harus hilang dari dunianya, aku sudah lebih dulu melakukannya.

Ternyata seperti ini ya rasanya menjadi pemendam yang lihai? Sebenarnya aku tidak rela, tapi aku kan bukan siapa-siapa dan tidak berhak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin dia jauh. Aku tidak ingin menjadikannya berbeda. Aku juga tidak ingin membatasinya. Tidak dulu, tidak sekarang, dan tidak kapanpun. Dia berhak dan memang seharusnya menjadi merdeka dengan cara terbaik yang dia punya. Aku tidak ingin merebutnya dari siapapun. Tidak dari mereka, tidak dari siapapun, tidak juga dari dirinya sendiri.

Tidak apa-apa kalau ternyata dia tidak sama jatuhnya denganku. Bebas, yang penting dia sudah tahu. Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta. Tidak ada yang salah dengan tidak menerima. Tidak ada yang salah dengan tidak diterima. Semua orang berpeluang menemukan dan ditemukan. Tidak harus dia, tidak harus aku, tidak harus. Ya, tidak harus. 

"Puncak kemerdekaan adalah pengetahuan tentang batas. Kita memang merdeka terhadap rasa, tapi terbatas dalam mengharap balas.” Kata siapa, aku lupa. Aku tidak bisa mengatakan ini semua telah mati. Aku hanya sudah berhasil menjadi terbiasa melihatnya dari jauh. Aku tidak tahu apakah aku harus lari atau malah menyelami ini lebih jauh lagi. Sejauh ini aku menikmati berada diantara yang kunikmati sendiri. Aku tidak bisa mengatakannya sebagai apa. Kadang aku bahagia, kadang juga tidak. Aku takut, entahlah. Aku sendiri tidak tahu takut karena apa.

Sudah sejauh ini. Sudah sepanjang ini. Kata-kata bisa jadi tidak pernah berkata-kata. Tapi  ketika berani itu mendekapku, semoga saja sudah tidak ada lagi rahasia. Aku tidak akan keberatan kalau ternyata dia tidak lagi menghiraukanku setelah ini. Aku sudah bilang, aku hanya ingin memberitahunya. Aku sudah bilang, dia berhak jadi apa yang dia mau. Aku sudah bilang bahwa aku dan dia harus selalu bahagia, entah bagaimanapun caranya.

Aku tidak akan menyesal pernah merasakan ini. Aku harap nantinya dia juga tidak menyesal pernah membaca dan akhirnya tahu mengenai ini. Aku akan menjadi lega, meski aslinya masih bingung harus bersikap bagaimana setelahnya. Aku tidak akan melupakan ini. Aku tidak berani mencobanya karena aku tahu itu tidak akan berhasil. Karena tidak akan pernah ada lupa yang benar-benar lupa. Begitukan?

Sekarang masih belum jam 03.00 WIB. Tapi seperti biasa, suaranya sudah berhasil membangunkanku. Rekaman  13 ayat pertama surat Ar-Rahman kirimannya sekian tahun yang lalu itu, sudah jadi nada alarm di sepertiga malamku sejak dia mengirimkannya untukku. Selancang itu aku. Tapi terimakasih banyak untuknya karena  sudah setiap hari membangunkan. Berkatnya malamku tidak pernah sepi. Aku senang sekali bisa berdua dengan Yang Maha Mempertemukan. Meski sesekali, belum usai meratap aku sudah lebih ketiduran lagi. Haha.

Sampai jumpa keberanian. Sampai jumpa lakon utama rahasiaku. Sampai jumpa kalian yang sudah membaca. Sampai jumpa semua.

Selasa, 19 Mei 2020

Review Buku : "Bicara Itu Ada Seninya"

Komunikasi adalah salah satu hal dasar yang sangat penting dalam menjalin dan menjaga hubungan dengan orang lain. Memperbaiki dan mengasah kemampuan berkomuikasi adalah sebuah langkah awal yang baik untuk membuka peluang yang besar untuk kita semua baik dalam hal berhubungan dengan keluarga, teman, maupun rekan kerja.

Oh Su Hyang, seorang Dosen dan pakar komunikasi terkenal di Korea Selatan dalam bukunya yang berjudul "Bicara Itu Ada Seninya" mengulas banyak hal tentang teknik berbicara yang baik. Beliau memberikan beberapa rahasia tentang cara berkomunikasi yang efektif dengan menghadirkan banyak pengalaman-pengalaman yang sudah beliau jalani dan beberapa cerita menarik yang tentunya menginspirasi kita semua ketika selesai membaca buku ini.

Dalam buku ini beliau menjelaskan tentang bagaimana membentuk kesan awal yang baik ketika kita bertemu lawan bicara untuk pertama kalinya. "Ucapan menentukan kesan pertama" begitulah ucapnya. Ya, kita memang tidak seharusnya terus membicarakan diri sendiri dan tidak memikirkan lawan bicara. Kita seharusnya hanya perlu berbicara secukupnya dan lebih banyak mendengar penuturan lawan bicara.

Beliau juga menjelaskan bagaimana cara membangun kepercayaan diri, melatih logika bicara, berbicara dengan cara bercerita (story telling), mengatasi trauma dalam berbicara, memperhatikan olah suara dan gerak tubuh, cara bernegosiasi, trik berdebat, mempersiapkan presentasi, membangun obrolan yang menguntungkan, menghadirkan irama dalam berbicara, juga cara berbicara untuk mewujudkan impian.

Ada satu kutipan yang menjadi favoritku:
"Bila ingin sukses, berbicaralah seperti orang sukses. Berbicaralah seperti orang yang Anda impikan. Berbicaralah dengan antusias dan bertingkah seolah Anda telah sukses. Mulai sekarang, berbicara sambil membayangkan bahwa Anda akan segera sukses, maka tak lama lagi impian Anda akan terwujud."
(Bicara Itu Ada Seninya, Hal : 46)

Kemudian beliau juga menjelaskan rumus terapi komunikasi yang bisa kita terapkan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.



 C = Q x P x R 
Communication = Question x Praise x Reaction 
Komunikasi = Pertanyaan x Pujian x Reaksi


Beliau menjelaskan bahwa dalam dialog, ada "aturan 1-2-3". Sekali berbicara, 2 kali mendengar, 3 kali memberi umpan balik.


Kemudian membahas juga tentang humor dalam berbicara. Bahwa humor adalah tentang timing. Bahwa kita bisa melatih rasa humor kita sendiri dengan menonton banyak drama atau pertunjukan komedi.


Beliau juga menjelaskan bagaimana trik untuk mengakhiri presentasi yang bisa menggerakkan hati audiens. Selain menggunakan ucapan persuasif, simpati, dan kalimat pembuka yang orisinil, beliau memberikan rumus mengenai pokok bujukan, yaitu:



 P = P x S x T 

Persuasion = Punch x Sympathize x Touch
Bujukan = Pukulan x Simpati x Sentuhan


Hal mendasar lain yang harus kita tahu, bahwa tidak bisa bicara dengan baik adalah masalah besar. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mengubah keadaan, karena bisa bicara dengan baik bukan bawaan dari lahir. Kita bisa memulainya dengan latihan berbicara dengan memotong suku kata, kemudian latihan olah suara, dan kemudian kita bisa menjadikan suara kita menjadi suara bariton yang menggema, indah,

Sering-seringlah berbicara, sebab aktif berbicara justru lebih baik. Karena hidup akan berubah dengan mengubah cara bicara. Tidak perlu takut menjadi bahan tertawaan. Tampillah secara sempurna sebagai diri kita yang apa adanya. Karena kita istimewa dengan apa yang kita punya dan kita tata. 


Selamat membaca. Selamat berlatih menjadi pembicara yang hebat.


Salam Literasi.


Sabtu, 02 Mei 2020

Di Mana Tempat Pulang Ternyaman?

"Aku benci malam sepi, bimbang diri datang lagi, apa memang........... "

Aku tidak sedang bernyanyi, aku hanya sedang membaca sebait lirik lagu. Ya lumayan, sebagai teman. Daripada benar-benar sendirian.

Aku benci malam sepi. Ruang-ruang ingatanku  seketika menjadi penuh, ramai sekali. Aku ingat kisah-kisah itu, tempat-tempat itu, orang-orang itu, semuanya tentang itu. Tentang masa lalu yang sempat membuatku pilu. Tentang sekian banyak tawa yang seketika dipaksa sudah. Tentang mimpi yang begitu saja dipaksa berhenti. Tentang cinta yang sering kalah dengan ego. Tentang aku yang sendiri bertanya-tanya "sebenarnya apa yang aku ingini?".

Malam semakin larut, tapi riuh ini tak kunjung usai. Aku bertanya "kenapa?". Tapi mereka hanya menyuguhkan tawa. Mereka? Siapa mereka? Aku bahkan tidak tahu siapa mereka. Karena hanya ada aku dan bayanganku sendiri di antara remang lampu yang menerangi ruang kamarku yang sengaja kujadikan setengah gelap ini.

"Aku ingin jadi baik, aku hanya ingin jadi baik. Tapi bagaimana bisa benar-benar jadi baik?" kataku.

Kedua mataku mulai basah. Begitu terus. Setiap bertanya, setiap itu juga aku menemukan pembanding. Rasanya menjadi baik saja belum cukup. Aku merasa butuh warna yang lain di hidupku. Aku mencari apa, tapi belum juga kutemukan jawabnya.

Pernah aku terluka, tidak sengaja (mungkin), tapi benar-benar sakit rasanya. Dan kemudian aku meratap sendirian juga melakukan sesuatu yang sama seperti yang sebelumnya. Aku bertanya-tanya "kenapa harus aku?". Tapi hening, aku ditertawakan bayangku sendiri. Oh tidak, lebih tepatnya aku menertawakan diriku sendiri.

Lalu kemudian aku mengajak diriku sendiri berlari di ruang imajinasi, menari-nari dengan mimpi-mimpi yang mulai ku tata lagi. Hatiku sepakat menyediakan ruang lagi untuk sesuatu yang baru. Sesuatu yang bisa menjadikan diriku tersenyum lagi. Aku bahagia, mencoba pulih dengan rangkaian kata-kata.

Berdiri di hadapan cermin, aku menatap diri sendiri, mengucapkan banyak terimakasih untuk apa yang telah terlalui hari ini, dan tak lupa memberikan motivasi untuk hari esok.

"Terimakasih duhai diri, kamu hebat" kataku kepada bayanganku di cermin.

Seharian aku berlarian mengejar deadline kerja yang membosankan. Berulang kali aku mencoba bersembunyi dari riuh sekitaran yang menyebalkan. Dan sesekali aku diam menatap kagum sesuatu yang ku anggap agung.

Sebenarnya aku lelah, memaksakan diriku melakukan dan menjadi apa saja. Padahal kadang aku melakukannya dengan terpaksa dan malah membuatku menjadi bukan diriku sendiri. Menyiksa diri sendiri malah bisa jadi. Dan penat ini, membuatku ingin pulang.

Ya, malam ini aku pulang. Aku pulang kepada diriku sendiri. Tempat ternyaman memanjakan diri. Membicarakan apa saja yang telah ku lalui hari ini, kemudian meminta maaf atas apa saja yang mungkin tidak seharusnya aku perbuat kepada diriku sendiri. Dia menerima, memaafkan dan memelukku dengan hangat di antara dingin malam yang menyeruak. Meski belum lepas sepenuhnya, setidaknya aku pernah ingin mencoba. Meski belum sadar sepernuhnya, aku sudah lebih tahu bahwa ternyata aku hanya sempat kehilangan diriku saja.

Akhir kata aku berjanji akan menjaga diri dengan lebih baik lagi dan berusaha untuk tidak lagi menjadi apa yang bukan aku sebelum akhirnya aku pulas tertidur dan tenggelam dengan segala gerutuan juga janji-janji manisku.

Semoga hari esok akan jadi hari yang lebih baik. Semoga berhasil. Semoga beruntung.

------------------------------------------

Salam Literasi

#Day (9)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#BianglalaHijrah

Jumat, 01 Mei 2020

Welcome, Wonderful Mei

Hai, selamat pagi semesta, jum'at, langit-langit kamar, kerlip lampu tidur, foto-foto lama di dinding kamar, boneka hadiah wisuda, tumpukan buku yang belum semuanya terbaca, dan sekian banyak notes di mading kamar.

Selamat pagi, ka....mu. Siapapun kamu yang membaca tulisan amatiran ini. Selamat pagi ka....mu (yang jadi idamanku). Aduh kaku amat pagi-pagi.

Oh hai mei, selamat pagi dan selamat datang di 2020 yang penuh dengan kejutan ini. Seneng deh rasanya, bangun-bangun udah sampai di bulan mei. Mei ke berapa ini? Oh yang ke 2020. Baiklah, panjang umur kehidupan. Alhamdulillah alhamdulillah alhamdulillah, puasa masih hari ke-8 dan anak-anak di kampungku sudah syahdu takbiran. Masyaallah masyaallah masyaallah nak, kita masih butuh 22 hari lagi untuk berlebaran. Takbirannya diganti dzikiran sama sholawatan dulu bisa kali ya?

Mei mei mei, Mei Mel....... apa kabar? Ulang tahunmu tanggal berapa mee? Sudah tahun ke berapa mei mu kali ini? Aku.... aku ucapkan selamat ulang tahun, selamat tambah tuek sekarang ya? Takut meinya keburu jadi juni. Hehe.
Kamu apa kabar mee? Sudah bahagia belum? Tapi belumpun aku tidak akan banyak membantu. Ah sudah lah mee, sesungguhnya aku hanya ingin mengucapkan selamat hari buruh wahai Mei si karyawan teladan yang sukanya tetap lembur di hari libur. Lekaslah hamil, agar supaya cuti 3 bulan bisa benar kamu dapatkan. Tapi ya jangan lupa.... hmm.... maksudku, menikah dulu. Kamu tidak lupa kan mee? Bahwa kita hidup di dunia ini tidak hanya untuk selalu bekerja. Kita perlu menikmati sisa usia kita, bersenang-senang dengan semesta, memperbanyak ibadah kepada-Nya dan memperbanyak bercinta. Eh bukan, aku bercanda sayang. Tapi aku bicara kebenaran. Haha.

Satu hal mee, panjang umur perjuangan. Tetaplah tegar menjadi urat nadi bagi bossmu. Semoga kita akan semakin menjadi seorang akuntan yang tangguh, handal, dan profesional, serta segera menjadi boss untuk para urat nadi kita kelak. Haha.


Pimpin aku bersyukur, sekarang, oh tidak, maksudku setelah kamu membaca celotehan tak berfaedahku ini. Bahwa kita masih beruntung bisa berdiri tegak mengemban amanah sebagai karyawan muda di tengah-tengah pandemi yang sudah menjadikan banyak karyawan kena PHK.
Jangan lupa misuh secukupnya dan beristigfar serta bersyukur sebanyak-banyaknya setelahnya ya. Karena misuh emang bikin kita lega, ya kan? Ya Allah, kenapa selalu ada yang bisa kita halalkan dari sesuatu yang sudah jelas-jelas tidak halal untuk kita? Nggak papa, yang penting kita tetap tetep berusaha seimbang di tengah-tengah kebimbangan. Wkwkwk.
Semoga kesabaranmu mendekatkanmu dengan jodoh dunia dan akhiratmu, dan menjadikan kamu berbahagia lahir dan batin. Aamiin Ya Allah.
Ah aku mulai ngelantur. Maaf ya mee, aku terlalu bahagia bisa sampai di bulan mei yang penuh harap ini.


Mei mei mei, di 31 hari milikmu yang tidak bisa ku tebak itu, akan terjadi apa? Aku akan menangis (lagi) tidak? Atau aku akan selalu menjadi riang? Atau aku akan berada diantaranya? Ahh untuk apa aku bertanya? Toh kamu katakan atau tidak, aku harus selalu bersiap-siap menerima bukan? Termasuk pandemi yang entah kapan pergi, bapak dan saudara yang tidak pulang di hari lebaran ini, dan apalagi? Hei, kebayang banget sepinya lebaran tahun ini. Nggakpapa, nggakpapa, panjang umur kesabaran.

Mei mei mei, hari ini tanggal satu dan saatnya gajian. Yeeee dapet duit yee dapet duit yeee. Yeee tapi besok mulai bayar ini itu yeee. Dah deh bakal abis juga akhirnya, tapi semoga tidak lupa beramal. Senyum misalnya. Wkwkwk.

Mei mei mei, selalu ada harapan baik untuk sesuatu yang baru. Tak terkecuali untukmu di tahun 2020 ini. Ya benar, mei, jumat, puasa, betapa kita selalu dipertemukan dengan waktu-waktu mujarab untuk berdoa. Mari menengadah bersama dan kita terbangkan harapan-harapan kita kepada-Nya.
Tentang segala harapan, kedekatan dengan-Nya, kewarasan, kesembuhan, kemampuan menerima segalanya, kebaikan, keselamatan, kebahagiaan, kelancaran dalam segala hal, kenikmatan dan keberkahan dalam hidup ini, semoga akan menjadi semakin dekat dan menjadi milik kita semua.
Semoga pandemi ini lekas hilang, yang sedang sakit lekas sembuh (lahir batin), yang berjarak lekas bertemu, yang berharap/bermimpi lekas menjadi kenyataan, yang takut bicara jadi berani mengungkapkan, yang hilang lekas menemukan ganti, yang patah hati lekas jatuh cinta lagi, yang masih sendiri lekas bertemu pujaan hati, yang masih pas-pasan lekas menjadi kaya, yang gelap jadi terang, yang benci jadi cinta, yang sedih jadi bahagia, yang kecewa jadi rela menerima, yang sulit jadi mudah, yang apapun itu baik semoga mendekat dan mendekap diri kita semua.


Mei mei mei, bekerjasamalah dengan semesta, jadilah baik untuk kita semua. Aku sedang berusaha mei, aku sedang berusaha menerima. Apapun, termasuk terhadap apa yang tidak pernah atau yang belum pernah kubayangkan sebelumnya.

Mei mei mei, tak apa menjadi tidak terlalu sempurna. Tapi aku mohon, sudilah berusaha sebaik-baiknya. Kita berjuang bersama dengan porsi masing-masing yang kita punya. Mau ya mei ya?
____________________________

Salam Literasi

#Day (8)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#BianglalaHijrah

Rabu, 29 April 2020

Tentang "Menunggu"

Menunggu? Kata orang-orang ini hal yang menyebalkan. Kataku juga, tapi tidak dengan sekarang ini. Membiarkan waktu berlalu begitu saja memang membuat sebagian orang kesal. Kecuali untuk orang-orang yang menganggap ini tidak penting.

Aku pernah. Pernah sengaja melakukannya. Pernah juga karena tidak sengaja, tapi akhirnya jadi terbiasa. Pernah kesal pada akhirnya. Pernah menyesal setelahnya. Tapi semua tetap sama. Tidak ada yang berubah, kecuali keadaan hati setelahnya. 
Siapa si di dunia ini yang benar-benar tahu bagaimana nasib hidup ke depan? Sedetik bahkan setahun atau berapapun panjang waktu yang ada. Tidak ada, kita adalah manusia. Hanya bisa berencana dan hanya bisa menjadikan diri sebagai pelaksana. Lebih dari itu, kuasa Allah adalah segalanya.

Mengertilah, menunggu bukan hanya soal berapa waktu yang kita habiskan. Tapi bagaimana kita bisa menikmati semua itu, meskipun apa kita tunggu belum tentu menjadi akhir yang kita tuju.

Sebenarnya aku belum begitu ahli dalam hal ini. Langkah demi langkah masih ku jajaki untuk bisa memahami benar perihal hakikat menunggu. Ada begitu banyak kemungkinan. Ya begitu banyak. Yang baik, yang buruk, yang terduga, atau bahkan yang tidak pernah disangka-sangka.

Tapi kenapa masih saja sekian kali berpikir "ahhh mana mungkin"?

Bukankah tugas kita hanya menunggu? Bukankah semua hal memiliki waktu? Dan dia akan datang dengan begitu menakjubkan di kehidupan kita yang mungkin, ya mungkin bisa jadi sudah hampir menjadikan diri kita sebagai seorang pecundang. Aku tahu ini bukan sesuatu yang mudah. Aku tahu butuh usaha keras untuk bisa menyadari semua bahwa ini akan menjadi sesuatu yang baik-baik saja.

"Capek banget nggak si nunggu terus?" kata siapa diluaran sana.

Sebuah tanya, sejuta jawabnya, tapi ya mungkin sama saja. Paling kita sepakat bilang "iya (banget)" haha.

Tapi lama ku cerna, bilang iya tidak selamanya benar. Aku pikir kita dan waktu itu seimbang. Kita pikir kita saja yang menunggu waktu, tapi ternyata waktu juga melakukan hal yang sama dengan kita. Kita sama-sama berusaha saling menemukan. Semoga kita selalu menyadarinya.

Waktu juga suka ngeluh. Sama sambatnya dengan kita. Katanya "Mereka kapan sampenya si? Cape tau nunggu terus. Aku kan pengen ngerasa plong gitu. Nggak kaya gini, bertanya-tanya terus.". Tapi mereka diam, lebih ke manjaga (mungkin). Menjaga diri biar nggak salah jalan (lagi).

Udah kebayang belum, gimana waktu sama galaunya sama kita? Kebayang juga enggak gimana waktu cuma bisa muter, sedangkan kita bisa ini itu. Enakan kita tau. Kita bebas, penuh rencana, meskipun hasilnya ya tidak selamanya bikin bangga. Tapi minimal kita sudah mempersembahkan yang terbaik untuk semuanya.

Kalian sadar nggak? Kita sudah lebih dari berhasil sampai tahap ini. Pertama, kita sudah sampai di detik ini. Kedua, kita sudah bisa menerima semuanya sampai sejauh ini. Ketiga, kita tidak lupa bersyukur atas semuanya. Keempat, kita masih sudi menunggu sesuatu yang selanjutnya, yang belum kita tahu seperti apa tentunya. Kelima, keenam, dan ke-selanjutnya cari sendiri saja ya.

Kalian bertemu denganku karena  menunggu, aku menemukan kalian juga karena menunggu, waktu yang telah sampai kepada kita juga menunggu. Kita telah sama-sama sudi menunggu dan kita sudah sama-sama berhasil sampai di detik itu. Detik pertama saat kita berjabat tangan, saling berkenalan, dan lanjut berteman, meski kadang sering beradu argumen. Ya, hampir sempurna.

Dan jika ternyata ini tidak berlangsung lama, semoga kita tidak akan lama merasakan kecewanya. Susah ya? Sedih ya? Pasti, tapi ingat poin satu dan seterusnya. Kita cuma butuh terbiasa. Kita sudah berhasil sebelumnya dan akan berhasil juga setelahnya.

Aku sayang kalian, kalian juga harus sayang sama aku. Aku tidak bermaksud memaksa, tapi aku mengharuskannya.

Paham ya cah?

-------------------------------

Salam Literasi

#Day (10)
#OneDayOnePOst30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#BianglalaHijrah

(Masih) Tentang Pertemuan dan Perpisahan


-------------------------------------------
Salam Literasi
#Day (7)
x

Masih siang dan kebetulan sedang sendirian. Keadaan sekitaran sedang hening, hanya ada suaraku dan dentingan lagu milik Alya Zurrayya. Ya "Ruang Tanpa Rencana", sebuah lagu yang menyentilku. Menyedarkanku tentang sebuah cara memahami sesuatu ketika sedang terjebak dalam situasi yang tidak terduga, termasuk pertemuan dan perpisahan.

Tidak banyak, tapi aku bilang aku sedang... hmmmm.. kangen. Haha. Belibet sekali aku ini.

Kedua mataku terpejam. Bernyanyilah aku bersamanya, menyelami satu per satu lirik yang disuguhkannya untuk semesta. Indah, semua rasa ada di dalamnya. Dia memelukku. Dia memeluk setiap hati yang sempat dan sedang merasakan kehilangan, entah sementara atau bahkan untuk selamanya.

Tidak ada kehilangan yang terasa mudah bukan? Akan selalu ada yang terluka, entah karena belum bersedia rela atau karena alasan lainnya.

"Kamu kangen juga enggak? Eh ngapain aku nanya beginian? Sorry sorry" kataku pada seorang teman.

"Lhah apaan deh. Kangen dong. Pastilah. Berteman itu kaya ada fase-fasenya gitu ya? Iya nggak sih? Haha ya, meskipun rasanya pengen tetep barengan, tapi hidup kan nggak bisa stagnan. Iya kan?" katanya membalas.

"Ya gitu deh. Bener. Sedih. Tapi gimana si? Tiap orang punya masanya sendiri-sendiri. Sekarang kita dipaksa jadi baru lagi, setelah dulu kelar SMA, masuk kuliah. Terus kelar kuliah, sekarang kerja. Alhamdulillah udah kerja ya kan? Yah, tapi kan tetep aja kita kepaksa menjalin sesuatu yang baru lagi. Entar nikah, juga jadi baru lagi. Entar jadi ibu, juga jadi baru lagi. Entar mati, ehhhh udah dulu deh. Wkwkwk" 

"Ya kembali lagi kita hidup bukan cuma untuk bersenang-senang. Ya kan? Ya semua fase itu harus kita lewatin dengan baik. Ya bener katamu, 'Jadilah baik disetiap fase yang kita lewati', biar kita bisa dikenang baik di fase setelah itu".

"Yang pasti hidup itu harus berjuang. Ya dipaksa lagi kita. Wehehehe"

Aku menggambarkannya satu per satu, menuliskannya ada sajak-sajakku yang kadang tak berarah itu. Memandang foto-foto lama, aku mengenangnya sebagai sesuatu yang sempat membahagiakan dan juga menyedihkan. Tapi ternyata benar ya, semua yang ada di semesta ini selalu berpasangan. Laki-laki dan perempuan, buku dan pembacanya, musik dan penikmatnya, sendok dan garpu, kancing dan baju, pertemuan dan perpisahan, juga aku dan dia yang masih ku pertanyakan itu.

Tapi meskipun begitu, tidak ada yang salah dengan adanya banyak rencana. Kita hanya perlu bersiap meninggalkan dan ditinggalkan. Sebab kehilangan, tidak pernah menyuguhkan permisi dan tidak pernah bertanya kapan kita siap. Sebab kita memang dilahirkan untuk memaknai kepergian. Tapi tidak apa-apa, pada saatnya nanti, kita akan menjadi terbiasa dan baik-baik saja menjalaninya. Kita akan tersenyum, karena kita sudah mampu menerima semuanya. 

Takdir dari-Nya adalah yang terbaik. Selalu lebih baik daripada yang sekedar kita mau dan kita anggap baik. Tidak ada satupun yang luput dari cinta dari-Nya. Termasuk sesuatu yang tidak kita sadari baik sebelumnya. Selalu ada alasan atas segala yang terjadi. Itu pasti dan kita harus mau memahami ini.

Satu yang pasti, tugas kita hanyalah menyelesaikan cerita kita sendiri dengan sebaik-baiknya. Mungkin kita bisa jadi teman bicara, jadi pendengar setia, jadi penutur ulung, juga jadi rumah, atau terserah apa maumu. Entah untuk mereka yang kita cinta, atau bahkan hanya untuk diri kita sendiri. Setidaknya kita pernah menjadi berguna ada di semesta.

Tapi ya meskipun jauh, setidaknya aku masih bisa melihatmu ada di dunia ini. Daripada hanya sekedar mengenangmu sebagai sesuatu yang telah pergi tanpa pernah bisa kembali. Aku terlalu takut, aku takut kehilangan senyum-senyum yang tulus dan penuh kasih sayang itu.
Tidak apa-apa, selama nafas kita masih membersamai jiwa kita, kita masih bisa saling menyapa dari jauh, dari bisik doa yang mungkin tidak sadar kita ucapkan. Hubungi aku dikontak yang lalu itu. Aku ada, akan selalu ada menantikanmu tiba.

Terimakasih, sudah pernah hadir sebagai titipan. Terimakasih sudah berhasil jadi cerita. Terimakasih untuk semuanya.

---------------------------

Salam Literasi

#Day (7)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#BianglalaHijrah


Senin, 27 April 2020

Awesome Mood

"Ada kalanya diri ini sadar bahwa mengucap rindu itu......... tidak penting"
Ada beberapa bagian dari mereka yang menjadikanku kesal sendiri. Bagaimana bisa mereka lebih asyik membicarakan bahasan "entut" daripada merespon ungkapan kangenku? Hah karena ini aku jadi merasa hidupku tidak terlalu penting daripada sekedar ........ ah aku tidak mau mengatakannya.

"Kamu pasti merasa ada yang berbeda. Tapi bagiku itu sangat wajar. Dengan perbedaan itu aku tetap bahagia" kata seorang teman lama di sebuah chat what'sapp.

Aku terdiam, membaca kalimat itu berulang, tapi semakin membaca berulang, semakin aku merasa hilang. Rasanya aku ingin terbang bersama guguran daun yang terbawa angin. Bebas, pasrah, dan menyerah. Dulu aku pikir semua akan sama. Ramai, akrab, dan bersama. Tapi ternyata benar, persis seperti kata seorang senior "Nikmatin yang sekarang ada. Nanti kalo udah jauh, bakal kerasa beda. Mereka, aku, ya kita sudah terlalu sibuk mengurusi kehidupan yang baru."

Waktu itu aku hanya manggut-manggut mencerna sekian kalimat yang baru akhir-akhir ini benar ku rasakan adanya. Terlambat, harusnya aku sudah lebih dulu bersiap-siap.

"Ya, rasanya memang berbeda. Akupun bahagia, tapi pikiranku berkerumun banyak sekali tanda tanya. Haha sungguh kewajaran yang ambigu." kataku membalas.

"Kita terbatas waktu, yang kemarin itu terlalu sebentar. Biasanya kita jadi apa adanya dan berulang-ulang hingga nyaman dengan pengulangan itu. Tapi kemarin kita terkumpul dari lingkungan yang berbeda kembali, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dalam kondisi yang secapek-capeknya (kalo aku)."

Sebuah kesan dan pesan diutarakannya. Sederhana dan cukup untuk menggambarkan pertemuan singkat terakhir itu.

"Aku, aku susah menjelaskannya. Tapi seperti ada hilang. Enggak tahu apa, tapi aku merasakannya. Ahh sedih." kataku menjelaskan.

Pertemuan dan perpisahan adalah awal dari perbedaan. Pernah merasakan? Ya aku sedang berusaha terbiasa merasakannya.

"Karena enggak full team juga kan ya?"

"No, bukan itu."

"Apapun itu aku tetap suka. Haha"

"Sudah semestinya. Memang harus selalu ada yang disyukuri dari apapun. Ya, sekalipun banyak tapinya."

Tidak lama sebenarnya, tapi entahlah mereka terlalu menjadi segalanya. Mungkin karena mereka sudah berhasil menjadi rumah, atau memang aku saja yang enggan keluar dari zona nyaman bersama mereka. Tapi ya meskipun begitu, akan selalu ada yang menjadikanku tersenyum geli mengingat kebersamaan bersama mereka.

Aku kangen deh jadi mahasiswa. Oh bukan kangen kuliah, tapi kangen jadi anak organisasi. Eh bukan deng, maksudku aku kangen sama 38awesome. Hehe.

Dulu tengah malam masih aja di depan gerbang, rundingan nyari makan sambil evaluasi kegiatan, kadang juga masih melingkar ber-20. Sampe lupa nugas, padahal udah dibilang kuliah yang pertama, ukm yang utama. Tapi ya gimana, saking cintanya ye kannn.

Kalau lagi siang menjelang sore datang, aku suka kangen ngangkat kaki 90 derajat, turun ke 45 derajat, turun lagi ke 35 derajat, angkat lagi ke 90 derajat gitu lagi, gitu terus sambil rebahan, pegangan tangan, panas-panasan evaluasi dan ndengerin sekian banyak wejangan siapapun di lapangan yang ijonya royo-royo bareng mereka.

Kalau tiba malam, apalagi dijam-jam menjelang tidur, aku suka kangen gandengan bareng nyusuri lapangan hijau sambil jadi kodok kungkong. Dan kita hangat dipeluk dingin usai berenang di kubangan air tepat di bawah tiang gawang demi sebiji tempelan di lengan sebelah kiri/kanan. Haha inget banget kemarin di grup rame banget mbahas masa lalu. Moodku yang semula kaku, seketika luruh gitu aja tahu. Ahhh kalian.

Nah kalau lagi main sosial media dan lihat yang lagi jingkrak-jingkrak karena yel-yel, suka kangen joged sandal swallow bareng mereka pas kelar binsik buat ngilangin capek. Gini nih liriknya:

Check sound:
Sandal jepit, sandal swallow Mata sipit, mata komando Korps kita rajanya disko
Baret kita baret komando
Digesek-gesek asyik, nggak digesek nggak asyik
Digosok-gosok enak, nggak digosok nggak enak
Sekali lagi

Lhah aku ngetik sambil nyanyi dan goyang sendiri dong. Wkwkwk.

Terus kalau lagi silaturrahmi jauh kaya gini, suka kangen melingkar ber-20 sampe tengah malem. Kadang rapat, nugas (padahal beda jurusan), makan, maenan kartu, atau pernah juga diem2 prepare muncak tanpa pamit sama empok. Ya Allah kangen jadi seliar itu bareng mereka.

Sekarang bercandanya jahuan dong. Kadang ada yang sambil makan, sambil weefha, sambil kerja, sambil rebahan, sambil maskeran, sambil apalagi si, banyak. Iya banyak sekedar yang bikin hati tiba-tiba ambyar tiap keinget kebersamaan bareng mereka semua. Aaa peluk jauh cah.

Dan tidak selamanya semua hal terasa sama. Juga tidak selamanya semua hal terasa berbeda. Semua hanya soal "rasa". Ya, aku mengerti sekarang.

Searah dengan itu setiap orang berkemungkinan merasa tidak cocok satu sama lain. Setiap orang berkemungkinan mencari celah menerima. Setiap orang berkemungkinan berakhir dengan merasa cocok. Entah untuk bertahan atau untuk pergi meninggalkan. Dan terimakasih sudah pernah berkenan bertahan, meskipun akhirnya jarak benar-benar menjadikan kita semua berjahuan.

Sayonara 38awesome yang ku cinta. Baik-baik di manapun kalian berada ya. Tetap jadi baik jangan lupa. Biar entar di akhirat kalau ada yang masuk surga bisa saling rangkul kek kita biasanya pas masih sama-sama.

Allah Yuftah Alaikum cinta. Semoga berkah segalanya ya.

--------------------------------------------------

Salam Literasi

#Day (6)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#BianglalaHijrah

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....