Sabtu, 29 Februari 2020

Kau Ingin Bagaimana Untuk Menjadi Abadi?

Picture by : Google
"Aku ingin bagaimana untuk menjadi abadi?" kata isi kepalaku tak berhenti.

Semalaman aku terpejam, mencoba menjawab, tapi tak kunjung berhasil juga. Sebuah tanya, sebuah mimpi, sebuah jawaban, juga sebuah pilihan. Entahlah, rasanya aku hanya ingin pasrah kepada apa yang telah mereka katakan sebagai sesuatu yang fana. Menikmati apa saja yang datang kepadaku dan merasakan bahagia yang kadang malah sering ku paksakan. Rasanya aku hanya ingin berdiri di bawah sinar terik matahari, terbakar, kemudian hangus, menjadi abu dan hilang bersama hembus angin.

Tapi tunggu dulu. Ini tidak harus sepenuhnya berlaku begitu. Aku ingin menjadikan angin lebih berguna. Aku tidak ingin hanya sekedar terbang dan kemudian hilang. Aku ingin juga menemukan tempat singgah. Aku ingin juga pulang ke rumahku, rumah yang ku pilih untuk ku jadikan sebagai akhir dari segala akhir. Aku ingin juga mengetuk pintu hati orang-orang. Aku ingin masuk ke dalam jiwa-jiwa yang mereka miliki. Aku ingin menjadi abadi, meski kelak aku harus kembali.

Aku ingin menjelma sebagai kata-kata sumbang yang kadang mungkin tak sengaja ku rangkai dengan cukup berantakan. Aku ingin menjadi apa yang orang-orang rasakan. Aku ingin menjadi bahagianya, sedihnya, kebingungannya, kekalutannya, cintanya, kebenciannya dan apa saja yang mereka mau. Aku ingin menjadi apa yang tertahan di hati mereka. Yang sebenarnya ingin sekali disampaikan tapi tidak jadi, atau tak kunjung punya keberanian, atau bahkan malah terlanjur ditelan habis sendiri. Aku ingin menjadi sebuah penjelasan. Meski masih banyak yang tersembunyi, meski masih banyak yang harus menjadi teka-teki.

Aku ingin menjadi seorang wanita yang sedang jatuh cinta, yang hanya berani mengagumi pria yang dikaguminya dari kejahuan, atau malah yang berhasil berdua dengan kebahagiaannya. Aku ingin menjadi seorang anak yang berbicara kepada ayah ibu yang dicintainya, meski dengan diam, meski berkawan dengan pemberontakan, meski akhirnya menerima semuanya dengan penuh keterpaksaan. Aku ingin menjadi seorang wanita karier yang banyak mimpinya. Aku ingin menjadi hujan, bunga, atau bahkan senja yang dikagumi orang-orang. Aku ingin menjadi apa saja. Aku ingin menjadi siapa saja. Aku ingin bisa melakukan apa saja. Aku ingin bebas, merdeka sepenuhnya sebagai sebuah jiwa.

Aku ingin hilang, tapi tidak sepenuhnya hilang. Aku ingin pergi, tapi tidak benar-benar pergi. Kelak, aku hanya ingin berdua saja dengan kata-kata. Biar, biar ragaku ini kembali kepada awal yang membuatku sampai dititik ini asal tidak dengan ceritaku. Biar, biar ragaku bersatu padu dengan tanah, asal tidak dengan jiwaku. Dia harus tetap hidup, bersemayam, dan abadi di kehidupan yang terus berjalan. Tarian aksara amatir buatanku ini, biarlah menjadi satu yang abadi di ruang bacamu. Yang hidup membersamaimu hingga kita kembali bertemu di gerbang  alam keabadian yang sesungguhnya.

Aku hanya ingin menjadi gadis kecil yang terus menari-nari dengan kata-kata dan abadi sebagai sebuah cerita. Aku bahkan tak keberatan menjadi sebuah puisi, atau sebuah pantun, atau apa saja yang berhubungan dengan aksara. Aku ingin menjadi yang orang-orang baca. Aku ingin selalu hidup, aku tidak ingin mati, aku tidak ingin benar-benar mati. Aku ingin menjadi abadi, meski harus tetap menjadi teka-teki.

Ya, itu cukup.
Selamat membaca.
Dan sampai jumpa.


Sabtu, 22 Februari 2020

Review Buku : "The Subtle Art Of Not Giving a F*ck (Sebuah Cara Untuk Bersikap Bodo Amat)"

Aku suka Mark Manson. Maksudku aku suka karyanya Mark Manson. "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat" adalah karya pertama Mark Manson yang ku baca. Buku ini menjadi Best Seller dibeberapa negara.

Aku merasa tertampar berkali-kali setiap membaca per-babnya. Humornya cadas bung, bahasanya juga ringan, tapi inti sari pembahasannya tetep serius. Mark Manson berhasil bikin pembacanya ngaku kalau hidup ini memang menyebalkan dan ya tentu saja dengan beberapa tips menikmati semua itu. Aku belum sempat menanyakan ini ke pembaca lain, tapi aku yakin mereka berpikiran sama dengan ini.

Buku ini mengingatkan kita untuk bisa self-love, lebih bahagia, dan lebih juga memaknai hidup dengan cara membatasi kepedulian kita terhadap apa yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk kita. Bukan jadi acuh tak acuh, tapi lebih ke nyaman jadi sesuatu yang beda dari kebanyakan orang. Intinya kita harus bisa memilah mana yang penting dan mana yang enggak penting buat diri kita.

Buku ini mengingatkan kita bahwa hidup itu penderitaan. Hidup itu rentetan masalah. Hidup itu bikin kita sakit dan itu semua nggak bisa kita hindari apalagi sampai kita tinggal lari. Tapi justru disinilah istimewanya. Bahagia bisa ada saat kita menemukan, menikmati, dan berhasil memecahkan masalah. Proses memang lebih penting daripada sekedar hasil. Dan siapa diri kita yang sebenarnya ditentukan dari apapun yang ingin kita perjuangkan. Pokoknya emosi negatif itu ada bukan untuk disangkal, ditolak, dihindari apalagi ditinggal lari. Marah terkadang juga menyehatkan. Tapi ya tidak berlaku selamanya.

Buku ini juga mengingatkan kita untuk tidak lagi merasa seolah-olah diri kita ini paling menderita. Diluaran sana orang-orang bahkan berpeluang merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan, ya atau bisa saja dengan porsi yang lebih sedikit atau bahkan lebih. Tapi kita juga tidak boleh merasa sok wah, karena diluaran sana orang-orang juga berkemungkinan punya hal yang sama dengan kita atau bahkan lebih dari apa yang kita punya dan juga yang kita bisa.

Buku ini mengingatkan betapa pentingnya menentukan standar untuk mengukur diri  kita sendiri. Buatlah nilai yang bisa menjadikan kita ke arah yang lebih baik. Yang penting kita berani menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas itu. Ya karena tidak akan ada yang bertanggung jawab atas keadaan kita kecuali diri kita sendiri dan begitupun dengan kita yang tidak wajib bertanggung jawab atas keadaan orang lain. Ya meskipun dibeberapa hal kita harus terpaksa bertanggung jawab atas apa yang sama sekali tidak berhubungan dengan diri kita sebelumnya. Jangan takut mengakui kesalahan dan jangan pernah menyalahkan orang lain atau apapun. Jangan takut sakit, kita butuh perubahan untuk bisa jadi yang lebih baik, lebih nyaman, dan lebih bahagia.

Buku ini juga mengingatkan kita untuk menjadi orang yang jujur. Ini poin utama dalam membangun kepercayaan. Jangan takut bilang "tidak" kepada sesuatu yang memang kurang srek sama kita. Karena untuk mengapresiasi sesuatu , kita butuh membatasi diri untuk bisa merasakan semuanya lebih bermakna dan menjadikan batin kita lebih sehat.

Dan ini bagian yang paling jadi favoritku. Bab 9 dengan judul "....Dan Kemudian Anda Mati". Dan kemudian kita akan mati? Ya tentu saja. Bagian penutup buku ini mengingatkan kita tentang kematian, tentang bagaimana cara agar kita lebih bisa memaknai hidup dan menyadari betapa sementaranya kita di dunia ini. Ya mati itu pasti, dan seperti masalah, datangnya tidak akan bisa kita hindari. Satu-satunya cara biar kita nyaman dengan semua ini adalah dengan memahami dan melihat diri kita sebagai sesuatu yang lebih besar dari pada diri kita sendiri. Dan bahwa kebahagiaan bisa datang dari kepedulian kita terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Dan kemudian percaya bahwa kita ini berharga, dan bahwa hidup ini adalah secuil proses yang sangat menjadi misteri.

Dan akhirnya, menjadi positiflah dengan mengerti batasan diri dan menerimanya. Menjadi kuatlah dengan ini. Tepat, ketika kita mampu akrab dengan segala ketakutan, kegagalan, dan juga ketidakpastian. Tepat, ketika kita berhenti melarikan diri dari segala macam masalah dan mulai menghadapi kenyataan kemudian menemukan kebahagiaan.

Sekian dan terimakasih.
Selamat membaca.

Jumat, 14 Februari 2020

Sekedarnya Untukmu

Melihat senyummu, rekam otakku abadi mengalun. Bunyi-bunyi kerinduan berdenting. Suara-suara yang menyebut namamu kembali mengeja. Derap langkah kaki seakan mendekat. Kau begitu erat terdekap. Oh hari yang indah. Seindah kalimat pertama yang telah kau baca.

Liar, kau begitu bebas, menari-nari di dalam isi kepalaku. Membuka mata, menjalani hari, istirahat sejenak, melanjutkan lagi, sampai terlelap kembali, kamu selalu ada. Aku tak bisa lari dari semua hal yang berhubungan denganmu.

Takut, setiap malam aku bersembunyi di kolong imajinasiku. Remang-remang ku curi waktu, ku bingkai kisah impianku bersamamu. Indah, ah sepertinya aku akan benar bahagia.

Tapi seketika terhenti, aku membiarkanmu menunggu. Sengaja, aku menarik dalam-dalam nafasku, dan menghembuskannya sambil membisikkan sesuatu kepadamu. Sengaja, aku memainkan cincin di jari kelingkingku. Sengaja aku berjalan pelan dan kemudian mengambil waktu. Sengaja ku uji kebaikanmu, berharap tak menemukan keberatanmu.

Bertanya, akankah benar bisa bersama? Sungguh aku tak ingin berakhir kecewa.

Terpejam, aku mencoba membayangkan cerita kita yang begitu indah. Persis seperti yang ku mau, atau tentu saja yang sama-sama kita berdua mau. Tapi seperti berakhir, jarak dan waktu menjadi tak seperti yang aku mau. Kau juga (mungkin). Hei, kita berkemungkinan sama bukan? Ya, aku hanya takut benar-benar jatuh hati kepadamu dan kemudian tak bisa melupakanmu. Keseluruhan tentangmu tepatnya.

Bertemu, berbulan-bulan lamanya aku menunggumu tapi datangnya selalu sosok yang lain. Kami  bersama, berdua, berjalan begitu baik, dan ya tentu saja kau begitu pas menjelma di dalam dirinya. Setiap ku memandangnya, setiap itu pula ku pandang kau. Terlalu manis. Aku merasa sangat jahat telah melakukan ini. Tapi ini sungguh menyakitkan. Kenapa begitu sulit menghilangkan bayangmu? Kenapa melupakanmu aku tak pernah bisa? Sesak hatiku dipenuhi harapku tentangmu. Kau benar-benar jahat. Tapi aku masih ingin mencintaimu.

Pudar, rahasiaku bukan menjadi rahasia lagi. Semua orang tahu, ya orang-orang itu tahu. Kecuali aku. Aku tak pernah benar-benar tahu bagaimana isi hatiku. Aku tersesat, sekaligus terjebak, ya tentu saja. Dalam kagum aku memujamu, dalam hati aku mempertanyakanmu. Hai kau, katakanlah sesuatu kepadaku.

"Hai kau, kagumkah atau cintakah aku kepadamu?"

Ingin, aku ingin mengatakan apa yang ingin aku katakan. Tentang senyummu yang semalam, tentang yang ku rasa entah, tentang suara yang menjadikanku candu, tentang cinta yang entah kapan ku ketahui artinya, tentang apa saja, tentang apa saja, tentang apa saja.

Terkunci, terhenti aku pada sesuatu yang tak bisa ku artikan.

"Aku mencintaimu" kataku pilu sendiri.

Cermin-cermin berisi gambar diriku menertawakanku.

"Jangan sampai tak terucap" kata mereka riang.

"Ya tentu saja. Akan ku lakukan. Secepatnya. Sampai setidaknya aku tak berada di alam yang berbeda dengannya" kataku merendah.

Berpikir, apakah aku sempat terlintas dibenakmu? Apakah kau merasakan sesuatu yang sama sepertiku? Apakah dikejahuan sana kau menatap bulan yang sama seperti yang malam ini ku lakukan? Apakah hati kita akan sama-sama terpaut? Apakah aku akan bisa berhenti meananyakan apakah dan apakah lagi? Oh aku bahkan belum pernah berhasil menemukan alasan mencintaimu. Aku ingin sekali menyampaikannya kepadamu. Tapi sayangnya tidak akan terjadi, atau mungkin belum, atau ya tentu saja aku tidak benar-benar mencari tahu kebenarannya.

Terbayang, akankah benar kau adalah sesuatu yang akan ku temukan? Atau akankah benar aku adalah sesuatu yang akan kau temukan? Atau apakah kita akan saling menemukan? Dan kita akan menjaadi pelengkap yang saling membuka ruang berfikir masing-masing dari kita, lebih luas, lebih jauh, dan juga lebih banyak cinta.

Berniat, jika kau benar datang, aku tak akan memikirkannya 2 kali. Karena kau adalah satu, kau adalah satu-satunya, dan tentu aja kita akan bersatu. Kau ibarat jiwa, sedang aku adalah raga yang bernyawa karenamu.

Oh tapi tunggu dulu.

Tak bisakah semua ini berhenti?

Sungguh aku ingin jatuh cinta selain kepada kau, tuan tampanku.

Jumat, 07 Februari 2020

Ketika Kita Tidak Saling Menemukan (Lagi)

Kata kata telah rusak, tidak lagi berbentuk, dan tidak ada lagi yang sudi menjamah. Sebab perannya sudah berubah. Jelmanya telah berubah menjadi api yang saling membakar satu sama lain. Rasanya tidak ada lagi makna dari dialog yang mulai kehilangan rumahnya. Tembok-tembok telah meninggi. Aku merasakan sekat ini semakin ada dan menjadikan kita semakin jauh. Dadaku rasanya penuh, kepalaku pening, aku berjalan pasrah ke tempat biasanya aku merebah.

"Aku benci begini, aku benci jarak, aku benci diam, aku benci kehilangan, aku benci kamu yang tega melakukan, aku benci kita yang tidak bisa saling menemukan" kataku menggerutu.

Pintu-pintu semakin tertutup. Kita mulai kehilangan kewarasan, berteman dengan keheningan, dan mulai mencari pelampiasan lain agar tidak merasa kesepian. Tak ada lagi yang tersisa, meski hanya sekedar menyelesaikan ujung pembicaraan. Jiwa-jiwa kita mulai mati. Dan ya aku pikir kita layak disebut sekarat. Kita telah lebih dulu jatuh pada apa yang masing-masing menjadikan kita angkuh. Kita terjerat, kita tenggelam dalam lautan emosi yang berat.

Oh tidak adakah celah untuk kita duduk melingkar bersama, mengurai sekian tanda tanya, dan kemudian saling memperebutkan sesi untuk menjawabnya?
Tidak adakah lagi ruang di masing-masing hati kita yang sempat larut dalam satu kasih sayang yang sama ini?
Tidak adakah?
Hei.
Jawablah.
Aku mohon jawablah
Aku bertanya kepadamu.
Atau ya kepada siapa saja kalian yang telah sudi membaca ini.

Terlampau kering air mataku meratapi kehilangan ini. Kehilangan yang bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa kembali menemukan. Sudah lebih dari sekali, aku takut kita tidak bisa kembali lagi. Dan ternyata, masing-masing dari kita sudah lama pergi. Kita bahkan telah meninggalkan apa yang belum selesai di antara kita. Aku yang salah (ya mungkin), tapi kau juga (ya tentu saja), atau malah kita yang sama-sama tak mengakui itu? Ya, begini mungkin lebih tepat. Tapi apapun itu, harusnya kita tetap harus saling menemukan.

Setiap kita adalah petarung. Setiap kita adalah pemenang. Tapi seiring dengan itu, begitulah setiap kita, terlampau bahagia sebagai seorang pecundang yang tidak pernah mengakui kebenarannya. Aku begitu. Aku tidak pernah malu mengakui itu. Aku melakukan itu demi kebahagiaanku. Atau, hei, apa kau juga seperti itu? Haha dasar pecundang.


Hei, kenapa menjadi sesulit ini? Kataku ingin terus melaju, tapi melihatmu tidak lagi menjadikanku begitu. Aku tidak bisa begini. Bertahan dengan diam dan sekian banyak tanda tanya yang tergantung di kepala. Oh aku tidak sekuat itu. Aku tidak setuju dengan kemauanmu yang bersikap seolah-olah seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Bukan begini jiwa seorang pemenang. Pemenang sejati tidak pernah lari dari apa yang menjadikannya tidak enak hati. Dia bertanggung jawab. Dia rela melakukan apa saja bahkan ketika dia tahu bahwa dia harus terluka.

Aku menyadari ketidaknyamananmu. Aku menghargai caramu melindungi dirimu. Aku menghargai keputusanmu. Aku sadar kau berhak penuh atas hidupmu. Tapi aku tidak selalu suka caramu membungkus lika-liku yang datang di kehidupanmu.

Kita sama, berkemungkinan membahagiakan dan ya tentu saja sebaliknya. Kita sama, sudah sepatutnya saling mengingatkan. Kita sama, kita berhak atas apa saja. Kita sama, harusnya kita bisa duduk bersama, menceritakan semuanya, dan menikmati apa saja bersama.

Aku ingin kembali, menghidupkan rumah kita lagi dengan cahaya yang masing-masing kita punya. Aku ingin melihat air mata bahagia, senyum yang apa adanya, caci maki yang menjadikan masing-masing dari kita saling terbuka, juga rencana yang beberapa kali hanya jadi rencana. Aku ingin kembali dekat. Aku ingin segera pulang. 

Terbukalah, terbukalah duhai pintu-pintu rapuh yang sempat kehilangan kunci untuk membukanya.
Terbukalah, terbukalah duhai hati-hati yang sempat mati tanpa meninggalkan arti.
Terbukalah, terbukalah duhai ruang berfikir yang menjadikan jiwa-jiwa tuannya hangat dipeluk gengsi.
Terbukalah, terbukalah pintu surgaku.

Mendekatlah. Kembalilah. Cukupkanlah segala lelah yang sempat singgah di antara kita. Kita harus kembali. Kita harus memperbaiki jiwa kita. Kita harus mengulangnya. Ya tentu saja menjadikan setelahnya lebih baik dari sebelumnya. Lalu kemungkinan aku akan menjatuhkanmu dan kamu akan menjatuhkanku. Ya tentu saja, kita terpaksa harus menikmatinya (jika ternyata harus ada).
Kita harus saling menemukan.
Kita harus bahagia.


Minggu, 02 Februari 2020

Appreciation Post

Tema yang bagus. Apresiasi? Hei ya aku tentu saja aku bingung harus memberikan ini kepada siapa. Orang-orang banyak menyampaikannya kepada bapak, ibu, teman, kekasih, tombol spasi, barang-barang kesayangan, sosial media, debu, udara, dan ya masih banyak lagi pastinya. Tapi aku tidak. Aku pikir akan lebih baik jika kuberikan itu kepada diriku sendiri. Hal-hal lain sudah terlalu sering, diri sendiri malah jarang, atau lebih tepatnya memang sengaja abai. Ahh tapi ya memang sedikit orang menyadari ini. Sering kali niat hati menenangkan diri, tapi sesering mencoba, sesering itu juga gagal menyapa dan malah berakhir memaki. Akhirnya bukannya menerima malah semakin benci. Lucu ya? Ya, aku benci mengakuinya.

Orang-orang benar, bahwa tidak ada yang benar-benar sembuh dari sebuah luka. Orang-orang benar bahwa tidak perlu ada yang dilupakan dari sebuah luka. Semua hanya perlu direlakan. Bukankah jatah dari-Nya selalu menjadi hal terbaik untuk hamba-Nya? Ya, tentu saja aku telah mendapatkannya. Yang aku mau, yang tak pernah aku mau, telah berhasil menjadikanku mau. Sekalipun aku pernah marah, sekalipun aku pernah mencoba lari, tapi akhirnya aku kembali. Aku kembali memeluk diriku sendiri. Aku kembali mengingat apa saja yang sudah ku punya.

"Ini sudah lebih cukup. Harusnya aku bisa lebih menerima setelahnya."kataku menyadari sesuatu.

Ya tentu saja, aku kembali mencintai diriku sendiri. Aku mengingat untuk lebih mencintai-Nya, juga mencintai apa saja yang menjadi pilihan-Nya. Aku bahagia dan aku mulai rela.

Terimakasih duhai diriku. Kamu hebat, sekalipun banyak hal menyebalkan yang kau punya. Kamu sangat hebat, aku juga, kita sama. Nggak papa sesekali sedih, ngomel, nyesel, lemah. Nggak papa. Kadang memang kita butuh itu untuk menjadi seimbang dan juga untuk belajar. Nggak papa. Kita berhak atas itu. Tapi secukupnya saja ya. Nggak perlu lama-lama. Hidup di dunia tuh bentar doang. Sayang kalo nggak dibikin seneng. Ya meskipun di surga sana kita akan selalu bahagia. Ya, semoga kita beruntung sampai ke sana.

Udah ya, nangisnya besok lagi. Kacamatamu udah ngembun tuh, ntar kamu nggak bisa nikmatin semesta raya yang indahnya tiada tara ini lhoh ya.

Udah ya, yuk pasang mantra aja yuk.
"Kita kalo lagi bahagia, ingat pernah sedih. Kita kalo lagi sedih, ingat pernah bahagia. Hidup ini bak lotre. Kalo beruntung kita bakal dapet apa yang kita mau. Tapi kalo ternyata sebaliknya, ya terima aja. Allah selalu tahu apa yang terbaik yang kita butuh. Nggak perlu khawatir berlebih, semua sudah sesuai porsi. Nikmatilah, nikmatilah apa saja yang ada.Ini tidak akan lama. Berbahagialah."
Pelukan dulu yuk. Aku mencintaimu lebih-lebih duhai jiwa raga yang membersamaiku. Aku beruntung memilikimu dan tentu berlaku sebaliknya untukmu. Kita patut bersyukur atas itu. Tenangkan hati, kita pasti akan bahagia, kita berhak bahagia, ya kita akan selalu bahagia. Karena bahagia kita yang punya dan tentu saja kita yang buat itu ada. 
.
.
.
Salam Literasi

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....