Selasa, 18 Juni 2019

Kehidupan Pasca Wisuda

Picture by : Google
Tidak ada yang bisa menduga bagaimana akhir dari sebuah usaha atau dengan perjalanan hidup seseorang. Termasuk dengan kehidupan setelah menjadi seorang wisudawan wisudawati. Tidak begitu sulit, hanya butuh penerimaan dan usaha yang sungguh-sungguh agar bisa mencapai sesuatu yang kita inginkan.

Aku adalah seorang akuntan. 1 tahun 4 bulan lalu aku resmi menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Kota Kudus. 5 bulan sebelum itu, aku resmi menjadi wisudawati di salah satu Politeknik Negeri di Semarang. Sebenarnya ini bukan pekerjaan pertama yang aku terima. Perjalanan yang ku lalui cukup panjang. Berkali-kali jatuh aku lakoni begitupun dengan cara untuk bangkit kembali. Ternyata hal-hal manis yang sempat terbayang olehku berbanding terbalik dengan apa yang aku hadapi setelahnya. Ekspektasi memang tak selalu berakhir nyata.

Dulu menjelang semester akhir, bayanganku tentang masa depan begitu apik dan menggembirakan. Aku menyusun target, menuliskannya di sticky note juga di buku diary yang aku punya. Satu per satu aku rinci dari mulai detail target lengkap dengan waktu yang aku rencanakan. Harapku hanya satu, semoga semuanya bisa terlampaui dengan baik dan berakhir dengan sesuatu yang aku mau. Alhamdulillah sampai wisuda berlangsung semua target terlampaui dengan hasil yang baik. Ya meskipun aku tidak mendapat predikat cumlaud, tapi setidaknya aku bisa wisuda dengan tepat waktu. Ini adalah sebuah cara menghargai diri sendiri. Menerima dan tak lupa aku mengucapkan selamat kepada diriku sendiri atas pencapaian yang sudah aku terima.

Untuk sampai ke titik menjadi seorang wisudawati sebenarnya juga sulit. Tapi aku masih sangat beruntung, karena di semester akhir sudah tidak harus bergelut dengan mata kuliah. Aku dan teman-teman seprodiku hanya perlu fokus ke laporan magang dan penyelesaian tugas akhir. Begini saja sudah banyak mengeluh. Dosen pembimbing ya beginilah, objek TA beginilah, revisi beginilah, dan beginilah yang lain tak henti menyerbu secara bergantian. Aku bersyukur bisa menemukan mereka yang sudi saling menguatkan ditengah-tengah kebingungan yang sedang kita hadapi bersama. Dan aku beruntung diberikan dosen pembimbing yang baik hati dan tidak rewel ketika bimbingan berlangsung. Ini poin penting selain objek TA yang lebih dulu harus dipastikan kesediaannya untuk menjadi objek penelitian kami, para mahasiswa tingkat akhir. Untuk mahasiswa tingkat akhir, dosen pembimbing menjadi seperti pengendali mood. Dan kalian tahu kan dampak dari sebuah mood. Oke cukup.

Dulu setelah wisuda aku bercita-cita ingin hijrah ke tempat perantauan yang lebih jauh. Yang ku bayangkan akan lebih menjanjikan masa depanku dan dekat dengan kampus-kampus terbaik di negeri ini. Selain keinginan bekerja, aku juga ingin melanjutkan pendidikanku lagi. Terlalu muluk memang, tapi bukankah harapan itu harus selalu ada? Aku juga ingin menikah dan memiliki putra putri yang sholeh dan sholehah. Aku ingin punya jalan menuju surga lewat mereka. Hehe

Tapi ternyata tak semudah itu. Di sela-sela pelaksanaan jadwal sidang tugas akhir, aku dan teman-teman seangkatanku mengikuti seleksi menjadi pegawai di salah satu BUMN ternama di Indonesia. Kami menjadi terpaksa menjadi rival, meski terus saling menguatkan dan saling mendukung. Satu per satu gugur di proses seleksi yang begitu panjang. Termasuk aku. Langkahku terhenti di 2 tahap terakhir. Aku gugur dan tentu saja bersedih.

Kemudian aku mengikuti seleksi menjadi pegawai di salah satu kementrian di Indonesia. Aku pergi ke Jakarta guna menyelesaikan seleksi dan numpang di rumah budeku sampai proses seleksi ini selesai. Semuanya berjalan begitu lancar sampai waktu pengumuman itu tiba. Ternyata aku gagal lagi dan sedihku bertambah lagi. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Tapi ini tidak berlangsung lama. Ya, tentu saja aku tidak akan membuat orang-orang tersayangku bersedih karena melihatku bersedih. Lets move on gaes!

Setelahnya aku pulang. Kembali ke kota yang membesarkanku. Aku mengevaluasi diriku sendiri. Aku mencari apa yang salah dengan proses yang ku lalui. Aku menangis seorang diri, meronta meminta-minta kepada Yang Maha Kuasa. Sambil menilai, sambil ku cari lowongan kerja yang lain. Dan kali ini aku tidak mengambil di luar kotaku. Mamak memintaku bekerja di dalam kota. Katanya biar mamak bisa lihat aku tiap hari. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya mau memenuhi keinginan mamak dengan pertimbangan yang banyak. Karena kalau kembali ke dalam kota, aku berfikir aku akan sulit berkembang baik dalam hal pekerjaan maupun pendidikan. Tapi aku mencoba menuruti keinginan mamak.

Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku setelah mengikuti wawancara kerja di salah satu perusahaan konstruksi di perbatasan kotaku. Tempatnya sangat jauh, aku harus menempuh kurang lebih 45 menit untuk sampai ke sana. Tapi cuma 3 hari. Aku resign dan menyerah dengan segala sambatan yang ada. Mulai dari jarak, cara kerja, jam kerja, gaji, dan tentu saja gengsi yang dulu ku punyai. Dan baiklah, lupakan.

Kemudian aku mencoba lagi. Kali ini aku mengikuti seleksi di salah satu badan usaha milik pemerintahan yang ada di kotaku. Tapi lagi-lagi aku gagal di tahap akhir. Kemudian aku mengikuti seleksi di salah satu bank syariah di kotaku. Aku gagal lagi, dan kali ini aku gagal dari awal proses seleksi.
Tidak berhenti sampai di situ, sambil menunggu jadwal seleksi masuk kerja dari beberapa tempat yang aku lamar, aku mengirimkan banyak sekali CV lamaran ke banyak perusahaan lain baik secara online atau mengantarkan sendiri sampai ke lobi perusahaan yang bisa ku jangkau dengan jarak.

Akhirnya tidak lama setelah itu, aku diterima kerja di salah satu toko yang lumayan besar di kotaku. Toko itu memiliki cabang dimana-mana. Tapi belum ada yang mengurus laporan secara administratif. Semua pekerjaan dikerjakan oleh owner toko sendiri. Aku menerima pekerjaan pertamaku sebagai seorang akuntan yang bekerja seorang diri dengan proses yang benar-benar dari awal. Aku ditantang untuk membuat laporan keuangan yang mudah dipahami dan tentu saja terstruktur. Aku tidak punya partner kerja kecuali si bos.
Tapi penawaran gaji pertamaku sangat minim, hampir sama dengan karyawan toko. Hampir saja aku mundur gara-gara ini. Seorang diploma sepertiku hanya akan digaji sama seperti mereka yang porsi kerjanya jauh lebih ringan? Oh no. Bukan bermaksud meremehkan, tapi sudah semestinya tanggung jawab yang lebih besar diiringi dengan imbalan yang lebih juga bukan? Akhirnya aku melakukan negosiasi dan percobaan pertama aku akan digaji sesuai dengan UMR/bulan. Katanya setelah itu, kalau aku berhasil di masa percobaan aku akan mendapatkan lebih dari apa yang sudah ku dapatkan di bulan pertama. Akhirnya kami sepakat. Waktu itu hari sabtu, dan hari senin aku boleh langsung bekerja.

Tapi tidak lama. Baru sekitar 25 hari aku bekerja, aku memutuskan resign. 2 hari sebelum itu, aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan swasta di kotaku. Kali ini aku hanya butuh 5 menit untuk sampai ke kantor. Lebih dekat dengan rumah, lebih terstruktur, lebih nyaman dengan jam kerja, lebih termanusiakan dengan gaji yang aku kerjakan, dan tentu saja aku lebih menemukan orang-orang yang sepemikiran denganku dalam hal bekerja. Dulu setiap hari aku di kantor sendiri, tidak punya teman bicara, dan tentu saja terpaksa menerima pemikiran yang tak sejalan denganku. Mereka bilang jadi aku enak, enggak capek dan lebih bisa leha-leha. Padahal mereka sama sekali tidak tahu bagaimana capek yang aku rasakan di psikisku karena beban kerja dan cemoohan mereka. Bukankah setiap orang diuji dengan daya uji masing-masing? Sebenarnya aku ingin sekali membantu mereka untuk lebih bisa membuka pemikiran mereka, tapi tidak jadi. Aku lebih memilih pergi dan kembali menyelesaikan pekerjaanku sendiri.

Sekarang sudah 1 tahun 4 bulan aku bekerja di tempat terakhir yang aku lamar. Aku mulai menikmati ini semua. Berangkat kantor 10 menit sebelum bel masuk kantor, bekerja sesuai dengan job desk, bersosialisasi dengan tetangga dan teman-teman kantor, jalan-jalan ke kota 2-3 kali sebulan, juga bersapa kabar lewat sosial media dengan teman-teman lama dan saudara jauh. Dan satu yang utaam, alhamdulillah mamak senang dengan keadaanku yang sekarang. Minimal aku punya cara membaktikan diri kepada mamak sebelum menjadi seorang istri. Hehe

Pesan untuk kalian yang masih berjuang dari orang yang berpengalaman minim sepertiku:
  1. Jangan mudah menyerah, sesulit apapun medan yang sedang ada dihadapanmu. Kalau gagal, coba lagi sampai berhasil.
  2. Jangan terlalu mengedepankan gengsi. Minimal kita akan pengalaman dari apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kecil di hidup kita.
  3. Ijazah itu penting. Tapi jauh lebih penting attitude. Ijaah hanya membantu kita di tahap administrasi, sedangkan softskill akan membawa kita melewati sisa tahapan yang ada. Yang jelas lebih panjang, dan tentu saja lebih menjadikan kita berhati-hati.
  4. Bekerja tidak selalu soal passion, meski aku sendiripun mencari kenyamanan dari ini. Aku bersyukur karena akhirnya pekerjaanku sesuai dengan apa yang sebelumnya aku pelajari. Aku tidak perlu belajar dari awal dan hanya tinggal mendalami. Tapi percayalah jalan rejeki tidak hanya dari sesuatu yang kamu yakini. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita semua.
  5. Doa kedua orang tua itu mujarab. Sangat sangat mujarab. Mintalah dengan sungguh-sungguh dan niatkan semuanya untuk mereka karena Allah.


Insyaallah ada jalan. Sekian.

Salam Literasi




Sabtu, 15 Juni 2019

Perantara Juru Damai

Udara pagi ini begitu segar. Jalanan yang ku lalui lengang. Aku sedang ada di perjalanan menuju kantor menggunakan sepeda motor idamanku ditemani tas gendong yang ku beli sebelum supermarket itu kebakaran. Nasib memang tidak ada yang tahu. Roda kehidupan sebegitu nyamannya berputar melintasi apa saja yang dilaluinya. Sama sepertimu, aku juga pernah merasakan apa yang kau rasakan. Meskipun berbeda, tapi aku katakan kita ini sekisah, senasib, seperjuangan.

Motor yang ku kendarai ku pacu dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin cepat sampai kantor. Tapi aku juga tidak ingin berlama-lama di jalanan. Aku hanya ingin menikmati apa saja yang sedang membersamaiku. Motor yang setengah tahun lagi akan lunas, tas gendong yang agak memberatkan, pakaian kantor yang bebas di hari minggu, jalanan yang lengang, udara pagi yang sejuk, hamparan padi yang mulai menguning, bunga yang sedang bermekaran, langit yang membiru, dan rasa syukur dan juga harapan baru yang tak henti ku rapalkan sejak kedua mataku kembali terbuka seiusai menikmati tidur nyenyakku malam tadi. Hari ini aku akan melalui banyak hal yang membahagiakan. Ini harapanku hari ini. Hehe

Tapi di tengah-tengah perjalanan aku teringat dialog singkatku bersama seseorang yang belakangan ini sering ku sapa dengan sebutan "Tante". Dia perempuan, seumuran denganku, cantik, tapi agak apa seh. Aku susah mendiskripsikan tentangnya. Jadi aku cukupkan saja ya.

Semalam kami tidak sengaja bertemu di acara rutinan mingguan yang diadakan pemudi kampung kami. Kami duduk bersebelahan di sisi agak depan berurutan dengan pintu masuk dan menghadap ke selatan. Sudah beberapa hari kami tidak bertemu. Kesibukan telah memangkas waktu temu kami. Akhirnya moment pertemuan seperti ini kami manfaatkan untuk menceritakan apa saja yang belakangan sudah menyeruak di pikiran kami masing-masing.

"Drama baru muncul di rumahku" katanya memulai cerita

Aku setengah terkejut dan setengah memaklumi apa yang dialaminya. Kami memang sering melakukan curhat colongan setiap bertemu. Membagi apa saja yang belakangan membuat kami resah.

"Apa meneh tee?" tanyaku melanjutkan

Dia bercerita cukup panjang. Tentang lelaki tua yang sering diceritakannya dengan sebutan "beliau" (sopan sekali memang dia), tentang ibunya, tentang kekasihnya, dan tentang dia sendiri. Katanya keadaan di rumahnya memanas.

"Beliau mulai lagi. Terus terus mencari kesalahanku. Ibu. Ibu hampir selalu memihak kepada beliau. Ikut berfikiran yang tidak-tidak tentangku. Tapi kadang aku dengar ibu membelaku. Ibu bilang ke beliau kalau aku tak seburuk yang beliau fikirkan. Tapi apa? Beliau malah marah. Menilai apa yang dikatakan ibuku dan penjelasan dariku salah. Aku dan ibu tidak pernah benar dihadapannya. Aku capek diginiin terus. Memangnya siapa dia?" katanya berbisik panjang.

Aku menyimak ceritanya sambil terus melafalkan tembang sholawat yang terus berlangsung. Multitasking yang agak diselewengkan sebenarnya.

"Sabar cakep. Terus?" kataku mencoba menenangkan

"Terus aku bilang ke ibu 'doain aku cepet wisuda ya bu, biar aku saja yang mengalah dan keluar dari rumah ini'. Rasanya aku pengen cepet pergi, biar nggak kesakitan lagi" katanya melanjutkan

Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Aku menutup mulutku dengan tangan kananku dan kemudian memulai ujaranku. Aku agak marah sebenarnya, kenapa bisa dia selemah itu. Ingin menyerah di tengah-tengah peperangan begitu saja. Kenapa tidak memilih mati sekalian? Ah dia, apa kata-kata bijakku selama ini tidak cukup untuk menguatkannya?

"Sadar tee ngomong gitu?" kataku meyakinkan

"Lhah iya, emang kenapa?"

"Apa kamu nggak malah nambah pikiran ibumu?"

Dia diam. Memikirkan apa entah. Tapi raut wajahnya berubah. Aku sengaja tidak menanyakan kenapa dan malah melanjutkan perkataanku selanjutnya.

"Beneran pengen pergi dan ninggalin ibumu sendiri di rumah dengan beliau yang sudah mulai bernilai buruk dipikiranku juga? Pikirin lagi deh" kataku berbisik

"Sebenernya nggak tega juga si bong. Tapi gimana lagi?"

"Ibu cuma punya kamu dan kamu malah pengen pergi? Tee, kenapa kamu nggak pengen jadi penengah aja si?" kataku memberikan penawaran

"Penengah gimana si bong?"

"Aku tahu berat banget jadi kamu yang sekarang. Disalahin terus, mau ngomong nggak dikasih celah, akhirnya menyerah menjadi pikiran satu-satunya. Aku pernah berada di posisimu yang sekarang. Ya meskipun kasus kita berbeda"

Dia terus mendengarkanku sambil tetap menutup mulut dengan salah satu tangannya dan mengarahkan pandangan ke depan. Kami harus terlihat seperti tingkah orang-orang disekitar kami. Meskipun sebenarnya tidak sama sekali. Haha

"Aku pernah berada diantara mamak dan bapak. Mendengar ocehan yang sama-sama membuatku seperti menerima sayatan perlahan. Aku tahulah kamu paham dengan apa yang aku maksud. Aku bahkan sempat berada di puncak kegelisahan. Merasa menjadi manusia yang sama sekali tidak punya keberuntungan. Dan juga berniat ingin pergi jauh seperti yang kau pikirkan sekarang ini" kataku

"Nah kan" katanya menyela

"Tapi ternyata aku salah. Sejauh dari apa yang telah aku lalui, aku telah berhasil bertemu dengan ladang penerimaan atas apa yang di takdirkan untukku. Sekarang aku sudah berhasil berdamai dengan semua. Apa saja yang dulu membuatku berujar yang tidak-tidak sampai menangis tanpa sebab. Tee, aku nggak bener-bener paham gimana jadi kamu. Tapi aku berharap, kamu bisa menjadi pemenang atas apa yang sedang kamu hadapi sekarang"

"Tapi bong?"

"Setiap orang punya daya uji masing-masing. Aku dan kamu termasuk diantaranya. Tee, dulu setiap drama dihidupku datang lagi aku diam tee. Saking capeknya ngladenin gerutuan mamak dan bapak yang saling menyelahkan. Capek bener, sampai nggak ada lagi yang ingin aku respon. Tiap mereka ngomong, aku dengarkan tapi aku diam. Dalam hati aku berdoa semoga mamak sama bapak bisa terbuka hatinya. Aku juga minta sama Allah semoga dikasih kemampuan untuk bisa melewati apa saja yang menjadi takdirku. Ini yang terpenting.
Waktu itu aku benar-benar tidak punya pilihan, selain memaksakan diri untuk tetap berada diantara keduanya. Meskipun akhirnya aku kesakitan setiap hari, tapi minimal aku tetap bisa memastikan bahwa mereka tetap baik-baik saja. Dan sekarang alhamdulillah, Maha Besar Allah yang telah menjadikan semuanya menjadi lebih baik".

Dan suasana kembali hening, kecuali dengan lantunan sholawat yang hendak digantikan dengan lantunan surat Al-Waqiah. Kami bahkan tidak sempat saling peluk. Hanya sekedar saling memandang sekilas. Dan aku memberikan sebuah senyuman untuknya. Harapku, semoga dia tidak terus keras kepala dan sudi mencari cara untuk bisa berdamai dengan apa yang sedang dihadapinya sekarang.

Baiklah, aku sudah sampai di ruang kerjaku dan sepertinya aku harus memulai pekerjaanku sekarang. Jadi, sampai jumpa dicerita selanjutnya. Happy weekend pembaca kisah usangku.

Salam Literasi.

Rabu, 12 Juni 2019

Walau Jauh, Tentangmu Tetap Menjadi Seluruh

Siang ini aku memandang langit, berbicara kepada awan, dan kemudian menceritakan apa saja tentangnya. Tapi aku tak berbicara, hanya menggerutu di dalam hati saja. Lelaki itu. Ah kenapa enggan pergi dari ingatanku? Padahal jelas-jelas, jarak sudah begitu jauh memisahkan kami. Dia sudah lama pergi. Maksudku kami sama-sama pergi sesuai dengan garis takdir yang kami miliki. Entah akan bertemu atau tidak, aku sudah cukup senang akhirnya ilmu yang belakangan membuat kami didera kebingungan akhirnya sampai kepada hasil yang kami mau. Tapi ternyata tidak sepenuhnya begitu. Aku malah berada diantaranya. Bahagia sekaligus merana.

"Duhai hati,
kenapa semudah ini berbolak-balik si?"

Sebenarnya aku tidak suka perpisahan. Akhir yang kebanyakan menyedihkan. Termasuk dengan apa yang masih bergemuruh di ruang pikirku ini. Tentang apa saja yang sangat ingin ku sampaikan kepadanya, tapi belum jadi suka sampai sekarang. 

Tidak ada yang tahu tentang ini. Kecuali aku, Allah dan doa-doa yang berlarian kearahnya. Sampai sekarang, aku masih berhasil bersembunyi di balik kata yang sengaja tak banyak ku sampaikan. Aku berhasil berlarian di antara lorong-lorong ruang kagumku kepadanya. Aku berhasil menatap dengan lembut ke arahnya dari dekat di antara riuh keramaian yang ada. Aku berhasil menyayanginya dengan caraku dan tanpa dia atau orang lain mengetahui itu. Aku berhasil bertahan dalam diamku. Tapi aku belum berhasil berdiri dihadapannya dan kemudian mengatakan "Aku Menyayangimu Sejak dari Dulu".

Dan jari-jariku tiba-tiba bergetar setelahnya. Jantungku berdegup semakin kencang. Tepat setelah menuliskan itu. Setelah 5 kata di akhir paragraf kedua itu bisa terbaca. Senyumku mengembang dengan sendirinya. Aku ingin lari. Jauh. Sampai benar-benar tak ada yang tahu keberadaanku. Rasanya aku malu membayangkan kalimat itu benar-benar terucap dari bibirku. Ah apa? Aku bukan tipikal orang yang berani melakukan hal-hal semacam itu. Sejak dari dulu. Bahkan sejak aku mulai berani mengagumi orang-orang sebelum dia. Tapi aku bisa jadi berani, kalau dalam keadaan terpaksa. Ah tapi jangan sampai, aku berharap dia saja yang datang kepadaku dan aku hanya tinggal menjawab "Ya". Menyenangkan (mungkin).

"Cupu banget si ven. Bilang gitu aja nggak punya nyali" kataku menghujat diriku sendiri.

Baiklah, terserah. Bahkan kalau kau tak setuju dengan apa yang sudah sejak lama ku lakukan, aku terima dengan lapang dada. Aku belum  memiliki cukup nyali untuk bisa melakukan ini. Aku tidak terlalu berani mengambil resiko. Aku takut patah hati, takut kecewa dan menyesal di kemudian hari. Tapi apapun itu, aku berharap gayungku ini akan bersambut. Semoga Allah segera memberikan jawaban atas ini semua.

Lama tak bertemu, tak membuat ingatanku menjadi lumpuh. Bahkan setiap hal yang ada padanya tak pernah hilang meski sudah lama dia tak ada dihadapan. Meskipun aku hanya menyaksikan ini itu di diri orang lain. Rasanya, lagi-lagi aku ingin berlari jauh sampai ke tempat yang bisa membantuku untuk bisa melupakan semua ini. Tapi semakin menjauh, aku semakin merasa tak mampu. Pandangan pertama itu, membekas dan enggan pergi. Apakah ini yang orang-orang katakan sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama?

Baiklah. Apapun itu, biarkan saja. Biar aku lanjutkan kagumku ini. Toh jika ini jalannya, Allah akan memudahkan semuanya. Tapi jika ternyata tidak, Allah bakal kasih yang lebih baik daripada dia bukan? Ya, ini memang cara terapik untuk menenangkan diri.

Semenjak wisuda berakhir, komunikasi kami menjadi berakhir. Oh bukan, maksudku kami hanya bertanya seperlunya saja. Ah tapi daridulu juga begini. Iya benar, aku dan dia hanya bicara seperlunya saja. Pernah beberapa kali bercanda, tapi bareng-bareng sama yang lain. Padahal aku ingin hanya berdua saja. Tapi belum sampai terjadi, jarak sudah lebih dulu membentang. Sekarang aku dan dia sudah tidak ada kepentingan, jadi komunikasi kami sangat minim. Tapi tidak begitu menjadi masalah. Aku tetap bisa mendengar kabarnya lewat cerita orang-orang, atau lewat update media sosialnya, atau bahkan lewat mimpi yang berkisah di tidurku semalaman. Aku juga tetap bisa menikmati suara indahnya lewat rekaman lantunan ayat Allah yang sengaja aku jadikan alarm tiap tengah malam. Aku juga tetap bisa memandangnya lewat foto-foto lama yang aku punyai. Dan aku tetap bisa memutar kisah-kisah lama yang masih jelas sekali di ingatan.

Terlalu banyak hal yang bahkan aku sendiri masih enggan melupakan ini. Terlalu indah dan sayang untuk dibiarkan begitu saja. Pernah waktu itu hujan. Kami sedang dalam perjalanan pulang dan kebetulan berboncengan. Kau tahu? Entah bagaimana awalnya, tapi aku merasa senang sekali. Rintik hujan waktu itu menjadi saksinya. Aku mengatakan banyak hal ke diri sendiri. Tapi aku tetap diam, meminimalisir perkataan seperti biasa. Jalanan yang kami lewati berkelok dan agak licin karena terkena hujan. Tapi dia asyik sekali dengan kaca spion. Orang ini memang fanatik sekali dengan kaca. Di jalanan, di ruangan, di mall, di rumah siapa entah, pokoknya dimana saja. Sukanya membenarkan ujung rambut, atau sekedar memandang wajahnya sendiri, atau mungkin dia bermaksud lain. Ahh aku  bahkan belum semapt menanyakan ini benar-benar kepadanya. Saking senangnya (hehe). Jarang sekali aku bisa mendapatkan hal semenyenangkan ini. Biar saja, tapi aku ketakutan. Takut dia hilang kendali dan kemudian kami sama-sama terjatuh dan merepotkan semua rombongan.

"Bisa enggak, enggak ngaca tiap lihat kaca?" kataku

"Bisa enggak, enggak merhatiin aku terus?" katanya membalik

Aku diam, tapi menahan senyum. Baper si, tapi aku nggak cerita sama siapa-siapa. Biar, biar cuma dikatain baper diri sendiri. Biar nggak malu-maluin. Wkwkwk

Terakhir, aku dengar dia pindah tugas ke luar pulau. Kata teman-temanku deket si, tapi naik pesawat. Bisa banget emang mereka memangkas jarak. Tapi apapun itu, semoga Allah kasih yang terbaik buat kita semua. Semoga Allah jagain Mamak Bapak kita ketika kita lagi nggak sama mereka. Semoga Allah memberikan berkah, nikmat, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya untuk kita semua. Semoga Allah kasih kita kesempatan untuk bisa bersilaturrahmi kembali dengan keadaan yang tertunya lebih baik lagi. Terlepas dari akan berakhir bersama atau tidak, biarkan cerita ini tetap ku rangkum menjadi beberapa paragraf yang mengisahkan bagaimana aku kepadanya. 

Sebenarnya tentangnya sudah banyak ku sampaikan. Lewat sajak-sajak yang terangkai menjadi puisi. Lewat cerita pendek yang ku posting di media sosialku. Atau lewat doa yang banyak kupanjatkan. Sering juga ku ikutkan lomba. Pernah sesekali menang. Aku senang sekali. Setidaknya kekagumanku ini tidak berakhir sia-sia. Meskipun belum benar-benar sampai kepadanya.

Tapi biarkan waktu menjawabnya. Aku sudah lama berhenti memperhatikannya. Tidak sepenuhnya berhasil, tapi aku tetap berusaha. Aku ingin menjadi seperti Fatimah yang mencintai Ali dalam diam, yang kemudian semua doa-doanya terjawab dan berhasil menuju kepada orang yang dituju dalam doanya. Aku ingin seperti Aisyah yang muncul 3 kali dimimpi Rasulullah dan kemudian dipersunting menjadi seorang istri. Tapi kalau Allah mengijinkan, aku tak menolak jika menjadi seperti Khadijah yang malah menyatakan perasaannya lebih dulu kepada Rasulullah.

Sebenarnya dari awal aku memang tidak banyak mencari tahu tentangnya. Aku juga tidak tahu hobbynya (selain fanatik dengan kaca), aku tidak tahu siapa teman baiknya, aku tidak tahu apa-apa yang disukainya, aku tidak tahu apa cita-citanya, aku tidak tahu apa yang menjadi masalahnya, pokoknya aku tidak banyak tahu tentangnya. Aku hanya tahu sedikit. Aneh kadang rasanya. Kebanyakan orang-orang yang menyukai seseorang selalu mencari tahu ini itu tentang orang yang disukainya. Tapi aku? Tidak. Nanti juga tahu sendiri. Yang penting, pas lihat dia rasanya tenang. Wehehehe

Tapi aku tak ingin berangan terlalu jauh. Aku cukup sadar diri dengan banyak kekurangan yang aku miliki. Aku takut terjatuh dan menelan banyak kecewa. Ya meskipun sebenarnya aku ingin sekali dia tahu. Tapi bukankah sebaik-baiknya harapan hanya kepada Allah?

Yash, that's right. Sekarang, aku hanya perlu menjadi lebih baik. Doakan aku teman-teman. Semoga yang terbaik selalu memeluk diri ini. Semoga doa kalian melangit dan berbalik ke kalian semua.

Salam Literasi,


Veni Veronika 

Minggu, 09 Juni 2019

"Blora Mustika" Waktu Itu

Semalam binar bintang memancar menemani sinar rembulan yang menyerupai sebuah senyuman. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, lalu menggerakkan tanganku ke arah langit. Seperti akan meraih sesuatu. Dengan segala imaginasiku, aku raih bintang  dan bulan di atas sana. Perlahan aku mulai terpejam, dan kemudian mengucap banyak syukur dan juga doa. Semalam aku bahagia menatap wajah-wajah lama yang semakin renta. Yang hanya aku sapa setahun sekali, itupun kalau aku sempat. Bukan karena sombong. Hanya saja setelah berhasil sampai diumur segini, prioritas semakin bertambah dan waktu semakin terbatas.

Meskipun jalanan untuk sampai kepadanya tak serusak yang ku kira. Bahkan semakin parah, berliku, bergelombang, dan beberapa kali membuatku hampir terjatuh. Tapi belum jadi, peganganku terlalu erat. Meski beberapa kali lambaianku melayang ke bahu enang. Pembalap handal yang membawaku sampai ke tempat tujuan. Alhamdulillah, semoga Allah senantiasa melimpahkan berkahnya kepada kita semua. Semoga Allah memberikan kami kesempatan untuk bisa kembali pulang ke tempat berdebu ini. Secepatnya dan dengan keadaan sebaik-baiknya. Setidaknya sebagai obat untuk menawar tebaran rindu-rindu yang telah lama tersimpan.

Dapur
Seharian kemarin aku seperti orang linglung. Merasa lapar tapi enggan makan. Merasa ngantuk tapi enggan tidur. Apalagi? Entah. Lupa. Terlalu banyak. Membaca buku berakhir ngantuk. Menikmati gerah tapi terus-terusan sambat. Ngupil jagung, jempol tangan kesakitan. Memasak sayur bayam juga menggoreng bumbu untuk sambal. Padahal di rumah boro-boro. Padahal disini banyak asap karena bahan bakarnya masih memakai kayu. Sebenarnya embah sempat punya kompor gas. Tapi karena takut gasnya meledak, embah memberikannya begitu saja ke orang lain. Ya, akhirnya begini. Setiap keluar dari dapur jadi mendadak kumel dan bau asap. Baiklah tidak apa-apa. Mau tidak mau, semua aku lakukan. Saking bingungnya diri karena tidak tahu harus melakukan apa.

Kemarin sekitar setengah 6 pagi, aku sekeluarga berangkat mudik ke Blora. Aku boncengan dengan enang dan mamak berdua bersama bapak. Jalanan begitu lengang. Tapi karena kondisi jalan yang tidak cukup baik, aku jadi berulang kali mengeryitkan dahi sebagai cara menunjukkan keterkejutanku. Bapak dan enang tidak pernah naik motor pelan, kecuali pas macet. Dan alhamdulillah, itu hanya sebentar ketika melewati semacam pasar tumpah. Mereka hampir tidak mau peduli bagaimana nasib kami yang dibonceng di belakang.

"Nang Nang Nang Nang Nang" kataku

Aku mendadak menjadi cerewet ketika jadi penumpang. Lebih banyak khawatirnya daripada nyetir sendiri. Apalagi dengan kondisi jalanan yang kelihatannya bagus tapi ternyata begelombang. Aku bahkan memegang pundak adikku dengan sangat erat di sepanjang jalan. Begitu juga mamak. Tapi meskipun begitu, kami tetap saling menertawakan.

"Mak, duduk di tepi amat mak?" kataku

"Lhah mamak kan bawa tas ndok. Malah bapakmu ga pernah mau pelan. Mamak hampir jatuh tadi" kata mamak

"Pelan-pelan nggak cepet nyampe kali mak" kata enang

"Nah, bener tuh" kata bapak

Lumayanlah untuk hiburan. Sekedar melupakan lelah akibat perjalanan. Kami sampai dalam kurun waktu kurang lebih 2,5 jam. Lebih cepat setengah jam dari perjalanan yang ku tempuh ketika menyetir sendiri. Dahsyat memang, tapi ya bersyukur bisa lebih sampai ke tempat embah.

Halaman Depan Rumah
Rumah embah ada di pelosok kampung. Pengkol nama kampungnya, Bacem nama kelurahannya, dan Banjarejo nama kecamatannya. Butuh hampir 1 jam untuk sampai ke pusat kota dengan kecepatan yang minim karena kondisi jalan yang rusak. Aku hampir tidak kemana-mana setiap disana, kecuali ke rumah saudara mamak. Aku malas melewati jalanan yang rusak. Melelahkan.

Rumah-rumah warga disana kebanyakan tidak menggunakan tumpukan batu bata seperti di derah rumahku. Katanya disini struktur tanahnya bergerak, jadi kalau mendirikan rumah dengan batu bata terlalu beresiko. Tapi jangan salah, sebenarnya warga-warga disini kaya raya. Tanahnya, ternaknya banyak. Ah tapi aku tetap enggan tinggal disini.

Selain debu, keminiman air, panas yang menyengat, banyak nyamuk, jalanan yang rusak, dan jaringan internet yang susah. Disini juga tidak ada toilet. Perlu ke sungai atau ke tempat pembuangan hajat umum jika perut mendadak melilit. Ah pokoknya hidup disini serba susah. Bersyukur sekali aku tidak dibesarkan disini. Cukup numpang lahir saja. Haha

Tapi aku suka disini. Setelah sampai disini maksudku, tapi tetap saja enggan dengan perjalanannya. Kata mamak, disini aku dilahirkan. Diurus mamak dan embah sampai akhirnya aku pindah ke tempat tinggalku yang sekarang ini. Tetangga embah yang notabennya tetangga dan teman kecil mamak, bergantian mendatangi kami ketika kami tiba. Ada yang menanyakan kabar, membandingkan warna rambut juga kehidupan, menanyakan aku enang dan juga bapak, atau sekedar menikmati jajanan yang dibawa mamak dari rumah sambil lanjut ngomongin ini itu. Embah juga sering menanyakan ini itu kepadaku. Tapi kadang aku sedih, ada beberapa bahasa yang aku tidak mengerti. Apalagi kalau sedang tidak ada mamak atau bapak. Menjawab "iya" menjadi jawaban teraman daripada berkata tidak tahu. Jangan ditiru, nanti kamu jadi terus begitu.

Dan waktu berjalan begitu cepat. Sekarang aku sudah di rumah. Menonton TV dan menikmati sosial media yang aku punyai. Aku juga sudah mandi dan berdua dengan toilet di kamar mandi. Masker wajah sudah terpasang dan aku sedang ingin tidur. Terlalu lama terpapar sinar matahari dan terbasuh debu membuat kulit wajahku kusam. Sekalian untuk membayar jam tidur yang lumayan kacau malam tadi. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.

Salam Literasi.

Selasa, 04 Juni 2019

The Goal of 30 Days Writing Challenge

Selamat pagi semesta dan apa saja yang mendiaminya.

Alhamdulillah ramadhan sudah sampai di penghujung. Hari ini adalah puasa terakhir di tahun ini. Semoga apa yang telah terbangun selama ini bisa bertahan dan bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga Allah mempertemukan kita kembali di ramadhan tahun depan dengan keadaan yang lebih baik lagi.

Picture by : Google
Berakhirnya ramadhan menandakan berakhirnya juga 30 Days Writing Challenge yang aku ikuti. Alhamdulillah genap 30 hari aku menulis dan menghidupkan kembali blog milikku yang tatanannya masih apa adanya. Memegang komitmen tidaklah mudah. Berulang kali malas menghampiri dan hampir membuatku lari dari ini. Tapi tidak jadi, aku kembali dan memutar pikiranku lagi. Berulang kali juga pikiran rasanya ingin mati, buntu, dan tidak ada ide sama sekali. Padahal sebenarnya kalau aku mau membuka mata lebih jauh, ada banyak sekali hal yang bisa aku jadikan bahan cerita.

Ini adalah tantangan. Sebenarnya aku sering mengikuti event-event seperti ini. Tapi bukan ngeblog, melainkan menulis cerpen dan berpuisi. Tidak selalu menang memang, tapi minimal dengan mengikuti ini aku bisa melatih diri untuk lebih percaya diri dan memegang komitmen diri. Beberapa kali juga, hasil postinganku di instagram berhasil kena repost. Rasanya senang sekali, tulisanku jadi lebih banyak yang menikmati.

Dipertemukan dengan event ini, membuatku merasakan banyak hal. Aku bertemu dengan penggiat-penggiat literasi yang hampir setiap hari saling belajar dan memotivasi satu sama lain. Banyak hal yang aku kagumi dari mereka, apalagi kaum mamak-mamak muda. Sudah sibuk dengan rumah tangga, tapi tetap saja bisa berkarya. Masyaallah, semoga Allah kasih keluarga yang Sakinah, Mawaddah, Warahmah, Wal Barakah untuk mereka semua.

Postingan teman-teman juga bagus-bagus. Kadang aku merasa minder karena hasil tulisanku yang masih amatiran. Selain bahasannya yang sudah terlalu umum, kata-kata yang aku gunakan juga masih tergolong rumit. Kadang aku juga ketakutan, kalau-kalau yang membaca tulisanku malah kebingungan setelah membaca tulisanku. Tapi bismillah , aku niatkan ini untuk belajar. Semoga bisa membawa berkah untuk kita semua ya.

Yang paling terpenting adalah kemampuan untuk bisa menyelesaikan komitmen menulis di event ini. Ramadhan ini begitu berkesan untukku. Menjelang tidur mulai menulis. Subuh lanjut lagi. Kadang malah juga rebutan dengan kerjaan kantor. Saking nggak bisa mikir tuh haha.
Kadang pas lagi nulis, baru beberapa baris ada yang manggil. Entah mamak, entah orang-orang kantor, atau malah panggilan via ponsel. Ada saja yang mengganggu dan membuat ide jadi buyar dan berakhir hilang. Akhirnya setelah kembali dari tugas, mau tidak mau harus membaca ulang tulisan yang sudah ada kemudian berpikir ulang setelahnya. Ini benar-benar melelahkan.

Menulis juga sangat membutuhkan kesabaran. Karena sabar akan membawa kepada ketenangan dan tenang akan membawa kepada pikiran yang jernih. Dengan pikiran yang seperti ini, maka menulis akan jadi lebih mudah. Sedikit tips dari seorang amatir. Hehe

Terimakasih juga untuk mbak Yusnia. Perantara Allah yang diutus untuk membuka event ini. Kunjungi saja yusniaagussaputri.blogspot.com dan kenali beliau lebih dalam. Kapan-kapan minta diadain lagi event seperti ya mbak. Biar aku bisa sering-sering belajar memaksa diri. Hehe

Tak lupa juga aku sampaikan maaf kepada para pembaca dan semua anggota WA grup "Writing Challenge #HRDC" untuk kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja aku lakukan. Sampai jumpa dievent selanjutnya. Jangan lepas meski waktu telah menemui batas.

Desain by : Canva
Salam Literasi.

#Day30
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Senin, 03 Juni 2019

Fenomena Nikah Muda

Waktu terlalu cepat berlalu. Tiba-tiba saja sudah sampai ke kepala dua. Syukur terpanjat begitu syahdu kepada Allah Yang Maha Segalanya.

Tapi sepanjang waktu berjalan, aku mulai bosan dengan apa yang ada. Oh, bukan bosan maksudku. Lebih kepada ingin rehat sejenak kemudian memikirkan sesuatu yang lain. Tentang cara menjadi penulis yang sukses misal, atau bagaimana bisa menjadi hamba Allah yang benar-benar dicintai-Nya. Tapi sepertinya sulit. Bisa terlaksana (mungkin), tapi hanya sebentar. Berulang kali ku coba, selalu saja ku jumpai persimpangan di pertengahan jalan.

"Fenomena Nikah Muda" memang begitu dahsyat menggelitik. Apalagi diusia-usia rawan sepertiku ini. Bertemu dengan si A, bahas apa tiba-tiba sampai urusan nikah. Bertemu dengan si D, bahas apa tiba-tiba sampai urusan nikah. Bertemu siapa lagi selalu saja sampai urusan nikah. Nikah lagi, nikah lagi, nikah lagi. Sepertinya hanya mamak dan bapakku yang tak pernah menanyakan ini. Tapi tetap saja, mereka sering memasang kode pengen cepet-cepet punya mantu.

Bukan aku bosan, bukan aku ingin lari. Untuk apa juga lari, toh aku akan sampai di tahap ini. Mau sejauh apapun aku lari dan sepandai apapun aku bersembunyi, waktu tak akan bisa menahanku. Garis takdir tetap akan sampai kepada yang ditujunya bukan?

Hanya saja aku bingung, kenapa banyak orang begitu senang membicarakan ini. Padahal tidak semua merasakan hal yang sama. Bukankah setiap orang memiliki jatah hidup masing-masing? Kenapa mereka menuntut hal yang sama dengan yang sama? Oke bukan menuntut. Tapi dengan pertanyaan yang selalu sama, itu akan menjadi hal yang sangat memojokkan. Akhirnya, akan berakhir dengan rasa tertuntut juga bukan? Ya memang tidak semua orang seperti ini. Beruntung saja bagi mereka yang teguh hatinya dan tetap menganggap hal itu menjadi hal yang biasa.

Tapi bukankah lebih baik diam dan mendoakan yang terbaik? Atau membantu mencarikan calon yang sesuai dengan kriteria mungkin? Atau apalah yang lebih bisa menjaga hati yang lumayan rapuh ini. Halah bicara apa aku? Aku juga sering tanya ini itu. Tapi tidak melulu soal bab nikah. Beberapa kali aku bertanya, untuk melegakan hatiku sendiri. Aku ingin tahu bagaiman jalanan panjang yang telah mereka lalui sampai bisa mencapai titik yang menurutku tergolong bahagia. Tapi ternyata jawabnya berbeda. Ada banyak sekali liku jalan yang harus mereka lalui. Memang tidak seharusnya aku berfikir seperti itu.

Menikah tidak semudah yang orang-orang bicarakan. Apalagi bagi aku atau orang yang senasib denganku. Yang hangat dipeluk trauma akibat masa lalu kedua orang tuanya. Selalu ada rasa takut yang membayang, meski berulang kali mencoba mengusirnya jauh dari pikiran. Aku percaya tidak semua orang bernasib sama seperti mereka. Aku percaya setiap orang memiliki daya uji masing-masing. Aku percaya Allah selalu menyediakan yang terbaik untuk hamba-Nya. Tapi sebagai manusia biasa, aku juga memiliki hak untuk merasa takut atas ini.

Kemarin aku baru saja selesai membaca buku pemberian dari saudara jauhku. Katanya buku tentang "nikah" ini adalah hadiah ulang tahunku dan sekaligus menjadi bekal untukku supaya lebih bisa mempersiapkan diri menuju itu. Senang bukan main aku menerimanya. Selesai ku baca, aku ingin membagi isinya kepada teman-teman ku.

Waktu itu sore hari. Aku dan teman-temanku pergi makan bersama. Kami menuju ke tempat makan favorit kami di tengah kota. Sampai disana kami menuju ke meja kosong dekat wastafel sebelah utara cafe. Kami duduk disana, memesan makanan, kemudian kami makan sambil bercerita ini itu. Seru, sampai hampir lupa waktu.

"Katanya mau cerita pen?" kata Annisa

"Enggak jadi deh" kataku

"Cerita apa si? Buru napa, kita dengerin kok bong" kata Mayang

Sebenarnya aku tak ingin menceritakan ini. Aku takut berakhir dengan debat yang kita sendiri belum mengerti benar ilmu yang sesungguhnya. Tapi daripada aku memendam pikiranku sendiri, aku pikir berbagi lebih baik. Kemungkinan mendapatkan pandangan dari sudut pandang lebih luas, selain dari pemikiranku sendiri dan juga dari buku yang sudah ku baca tentunya.

Aku menceritakan bagaimana cara mempersiapkan diri sebelum menikah, juga bagaimana tahapan yang dilalui sampai ditahap pernikahan. Kebetulan buku yang ku baca membahas bab pra nikah dari sudut pandang islami yaitu lewat tahapan taaruf.

Mereka mendengarkanku bercerita sampai selesai. Mereka menyampaikan pendapatnya menurut apa yang mereka rasakan. Aku menghargai, sama sekali tak menganggap apa yang mereka sampaikan benar atau salah. Begitupun dengan apa yang aku sampaikan. Kita sama-sama menyimak dan menimbang sendiri mana yang kami anggap baik.

Ada yang menganggap pendekatan itu penting sebelum akhirnya menikah. Menentukan pendamping seumur hidup harus melalui proses mengenal diri pasangan. Kesehariannya, keluarganya, dan apapun yang berhubungan dengan pasangannya.

Ada juga yang menganggap taaruf itu lebih baik. Aku termasuk di dalamnya. Kita tidak perlu membuang waktu untuk menghabiskan waktu bersama dengan orang yang belum tentu membersamai kita menjadi pasangan hidup. Selain itu, taaruf menjauhkan kita dari hal-hal yang dilarang Allah. Tidak aku jelaskan disini satu-satu ya. Aku pikir, sebagian dari kalian sudah mengerti.

Aku pernah beberapa kali bertanya kepada ibu-ibu kantor, tetangga, juga teman-temanku yang sudah menikah. Masyaallah, ternyata sebagian dari mereka yang ku tanyai melalui proses pernikahannya dengan tanpa pacaran. Ada yang semula teman lama kemudian beberapa tahun kemudian datang melamar. Ada yang cuma kenal sebentar langsung di lamar. Dan masih banyak lagi kisah kisah yang serupa dengan itu. Allahuakbar, begitu besar kuasa Allah. Begitu mudahnya dia menjatuhkan hati 2 insan manusia yang bahkan sebelumnya belum pernah saling kenal. Sering sekali aku membayangkan kehidupan setelah menikah tanpa pacaran. Memulai semua dari awal. Mengenal semua dari awal dan kemudian saling mencintai karena Allah. Saling canggung untuk akhirnya saling terbiasa. Menyenangkan sekali semestinya.

Tapi aku tak melulu memikirkan sesuatu yang bahagia. Di dalam rumah tangga pasti akan ada satu, dua, atau sekian kali permasalahan yang tentu akan menguji daya kuat diri. Ini salah satu yang harus kita persiapkan. Kadang permasalahan materi bisa teratasi, tapi susah dengan hati. Hati itu mudah berbolak-balik. Tidak ada yang bisa memastikan bagaimana akhirnya. Yang harus dipersiapkan adalah mental dan penerimaan. Ini susah, belajarnya harus seumur hidup. Semoga kita semua dimanapun, kapanpun, dengan keadaan apapun sama-sama dimampukan Allah untuk bisa melewati garis takdir-Nya yang telah ditetapkan-Nya untuk kita semua. Semoga kita sama-sama didekatkan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat-Nya.

Jangan merisaukan apapun. Nanti kalau sudah sampai waktunya, kita akan dipertemukan dengan pasangan terbaik yang Allah pilihkan untuk kita. Jangan lupa membenahi diri juga memantaskan diri karena Allah. Karena Allah ya, bukan karena jodoh. Ingat ingat. Hehe
Pun jangan melulu mempertanyakan kapan seseorang akan menikah. Nanti kalau sudah waktunya, akan ada undangan sampai ke rumah kalian masing-masing kok. Ya kan?

Salam Literasi.

---------------------

#Day 29
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Minggu, 02 Juni 2019

Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

Aku panik memandang wajah teman-teman ku yang juga menyembunyikan panik. Kami saling berhadapan, juga saling bertanya bagaimana setelah ini. Rapalan doa yang diniatkan untuk menenangkan hati, sepertinya tidak manjur sama sekali. Malah semakin menjadikan kami ketakutan.

"Oh Allah, teguran ini begitu dahsyat. Maafkan kami atas kebodohan kami ini" kataku berbisik

Kami mahasiswa tingkat 2 jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Semarang. 23 mahasiswa mahasiswi ciamik yang tentu banyak gaya dan sekaligus cakep-cakep. Kami tidak begitu dekat, tapi selalu kompak setiap menyelesaikan tugas dan foto bersama. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kurang dekat dengan mereka. Salahku mungkin, terlalu memihak kepada organisasi yang aku ikuti.

Waktu itu jam lab praktek akuntansi. Dosen pengawas yang biasa  mengawasi kami sampai jam praktek selesai tidak ada di kelas. Kami duduk di meja praktek kami masing-masing dengan ketakutan yang pasti. Setelah hampir satu jam, dosen pengawas bersama dosen mata kuliahku masuk. Tentu saja dengan wajah kecewa yang teramat sangat.

Beliau duduk, meletakkan barang bawaan dan merapikannya. Ruangan masih hening. Kami juga masih dilanda ketakutan. Kali ini kami menunduk, tak berani menatap wajah-wajah kecewa dosen terbaik yang pernah kami miliki.

"Saya kecewa dengan apa yang sudah kalian lakukan" kata dosen makul

Kami mulai mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk menatap wajah-wajah kecewa itu. Rasanya kami ingin lari, tapi entah. Seluruh badan rasanya lemas tak bertenaga menahan kesalahan karena ide bodoh kami.

"Saya itu sayang ke kalian. Saya percaya penuh kepada kalian dari awal. Saya yakin kalian bisa. Tapi saya tidak menyangka, kalian bisa setega ini dengan saya"

Seperti tersayat. Hati kami menangis pedih menyesali semuanya. Tak henti kami mengulang kata maaf berkali-kali kepada dosen kami.

"Bu, maaf"

"Iya bu, maafin kami ya buk"

Seperti itu terus, bergantian dan sampai ruangan kembali hening.

"Jauh sebelum kalian meminta maaf, saya sudah lebih dulu memaafkan. Tapi kesalahan kalian tetap harus diberi ganjaran. Saya pastikan, nilai kalian di mata kuliah saya tidak akan ada yang mendapat nilai A"

Baiklah, setidaknya sudah ada penerimaan maaf. Soal konsekuensi yang ada, mau tidak mau kita tanggung bersama. Semenyedihkan apapun itu.

"Dan untuk kamu Dwi, saya lebih kecewa lagi kepada kamu. Harusnya hal semacam ini tidak terjadi. Dan untuk kalian semua, awalnya saya berniat memberikan kalian nilai minimal B, bahkan untuk kalian yang tidak bisa mengerjakannya. Tapi tidak setelah ini." imbuh dosen makul

Batin kami tersentak lagi, memikirkan nasib pahlawan di kelas kami yang harus lebih menanggung ulah kami. Kenal saja namanya dengan sebutan "Dwi". Dia adalah andalan kami. Orang yang paling berjasa hampir di setiap mata kuliah kami. Sebentar, tidak berlaku untuk kami semua. Tapi cukup berlaku untukku. Dia adalah orang yang paling mau disusahkan teman-teman terutama dalam memahami setiap detail mata kuliah yang belum kami mengerti. Dengan sabar dia mengajari kami sampai benar-benar paham. Aku beruntung bisa mengenalnya. Semoga kasih sayang Allah selalu tercurah kepadanya dan kepada kami semua.

Waktu itu ada mata kuliah praktek yang susah kami pahami. Berulang kali kami masuk mengerjakan dan berulang kali juga kami kembali dengan kertas jawaban yang masih kosong. Kami kebingungan. Sudah belajar paham tapi belum juga bisa. Akhirnya saling mengeluh kami nikmati setiap keluar ruangan praktek.

"Udah sampai mana tadi?"

"Halaman sekian isi pastinya berapa si?"

"Kok aku ga bisa si, gimana sih caranya?"

"Ajarin dong, aku ketinggalan jauh nih"

Dan banyak sambatan lagi yang keluar dari satu per satu mulut kami. Akhirnya kami berunding, mencari cara bagaimana keluar dari belenggu kebingungan ini. Kami meminta tolong ke Dwi dan dia mau. Awalnya dia hanya menjelaskan bagaimana cara mengerjakan soal itu. Tapi kemudian kami mencatat dan membawa catatan kami ke dalam kelas kemudian menyalinnya di kertas jawaban yang tersedia. Kebetulan soal yang kami pelajari dengan bimbingan Dwi adalah soal yang ada di kertas soal yang kami kerjakan di kelas. Kami menghafalkannya dan kemudian menyampaikan keluhan kami kepada Dwi untuk selanjutnya dipelajari bersama. Sejak saat itu, kami jadi lebih rajin belajar bersama. Bahkan ketika jam kuliah sudah selesai.

"Kita hafal saja ya teman-teman. Jangan sampai ada yang bawa catatan ke dalam kelas. Cukup seperti ini saja" kata Dwi

Tapi kami meyakinkan Dwi untuk tidak mengkhawatirkan apapun. Awalnya dia tidak setuju, benar-benar menghalangi niat kami yang tidak baik ini. Tapi karena tidak tega atau sudah terlalu bosan mendengar rengekan teman-temannya, akhirnya dia membiarkan kami dengan catatan kami harus berhati-hati agar tidak ketahuan dosen pengawas.

Kebiasaan itu berlangsung cukup lama. Membawa ponsel sekaligus catatan hasil belajar bersama khususnya. Sampai beberapa bab selesai kami kerjakan. Tapi sepertinya Allah menunjukkan kuasa-Nya. Hal yang menurut kami adalah sebuah keberuntungan tapi sebenarnya tidak sama sekali. Suatu hari setelah praktek selesai, Ponsel salah satu temanku tertinggal di laci meja prakteknya. Akhirnya ponsel disita dosen pengawas dan kemudian dilaporkan ke dosen mata kuliah. Chat grup kami dibaca dan dari sinilah nasib kami ditentukan.

Sampai di kelas selanjutnya temanku menceritakan ketakutannya. Dia meminta maaf kepada kami semua. Tapi kami justru tidak memarahaminya. Dengan besar hati, kami malah saling menenangkan. Mungkin kami mulai sadar kalau apa yang kita lakukan itu salah atau bahkan sebelumnya memang kami sudah mempersiapkan diri untuk menerima kemungkinan terburuk ini. Kami bahkan tidak memikirkan diri kami sendiri, tapi malah lebih memikirkan Dwi. Orang baik itu tidak semestinya menanggung semua ini. Bahkan dengan penjagaan yang dia lakukan kepada kami dengan mewanti-wanti diawal agar kami tidak membawa apapun ke ruang praktek.

Tapi dia begitu tabah. Meskipun air matanya menetes mengabarkan penyesalan, tapi dia tetap bisa menenangkan kami. Aku tidak sampai hati membayangkan menjadi dia. Akankah bisa setegar itu? Aku tidak yakin.

Sampai pada akhirnya penerimaan hasil KHS. Semua anak-anak di kelasku di mata kuliah ini mendapatkan C dan hanya beberapa yang beruntung mendapatkan B. Tapi sesuai dengan apa yang dikatakan dosen mata kuliah, bahwa kami tidak akan mendapatkan nilai A. Kami menerima ini dan saling berjanji tidak melakukan ini lagi sekaligus menutup rapat aib kelas ini. Tapi meskipun begitu, kami pikir semua dosen sudah mengetahui kabar ini. Bahkan beberapa dari mereka mulai menebakan sindiran kepada kami. Sekali lagi, kami menerima ini. Ini adalah sanksi dan pembelajaran untuk kami juga untuk kita semua.

Tidak hanya itu, karena kejadian ini Dwi lebih menanggung sesuatu yang lebih berat. Betapa semakin merasa bersalah diri kami melihat ini semua. Harusnya dia bisa naik panggung menerima penghargaan sebagai salah satu mahasiswi terbaik di angkatan tahun kami. Tapi ternyata tidak. Padahal semua nilainya bagus, bahkan jauh lebih pantas menerima penghargaan dari pada beberapa mahasiswa yang naik ke panggung wisuda itu.

Dia bertanya kepada teman-teman yang setipe dengan dia. Dia bertanya kepada beberapa dosen, tapi tidak juga membuahkan hasil. Katanya setelah kembali ke barisan teman-teman kelas, dia bilang karena kasus ini dia jadi dipertimbangan untuk mendapat penghargaan. Tapi sekali lagi. Dia kuat. Dia katakan kepada kami semua.

"Ya udah cah, enggak papa. Mungkin memang bukan rejekiku"

Masyaallah. Rasanya ingin sekali menangis, tapi sayang make up. Hari ini wisuda dan kami dituntut tampil berbeda. Dan make up adalah salah satu cara kami tampil berbeda, selain gaun yang kami kenakan.

Akuntansi 1 POLINES 2014


Dan biarlah ini menjadi cerita kelamku bersama teman-teman kelasku. Biar kami benar-benar tahu, bahwa nilai yang selama ini kami kejar bahkan dengan cara yang sangat tidak pantas tidak akan menolong kami ketika kami dirundung kesedihan. Kejujuran memang lebih harus dijunjung tinggi daripada apapun. Toh di dunia kerja nilai hanya digunakan sebagai pengantar sampai pintu gerbang masuk tempat kerja. Setelahnya, softskill kita yang akan membawa kita untuk benar-benar diterima kerja sebagai karyawan sebuah perusahaan. Ilmu itu hanya bekal untuk memudahkan pekerjaan yang akan kita hadapi di kantor tempat kita bekerja. Tapi attitude lah yang membuat kita mampu memposisikan diri di kehidupan kelak.

"Biar saja. Biar kita punya bekal cerita untuk anak-anak kita nanti bahwa kita pernah sekonyol ini" kata beberapa diantara kami

Kami tertawa bersama. Sampai kami benar-benar dipisahkan oleh jarak dan waktu. Sekarang kami sudah saling berjahuan dan sesekali bersua lewat chat grup. Aku merindukan mereka. Merindukan apa saja, termasuk perihal ini. Semoga kita bisa bertemu lagi di keadaan yang lebih baik lagi teman-teman.

Salam Literasi.

-----------------------

#Day28
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#binglalahijrah
#ulasrasave

Sabtu, 01 Juni 2019

Aku dan Jiwa Pengelanaku

Picture by : Pinterest

Udara dingin menelisik diantara pori-pori kulit
Menggugah kehidupan di balik sehelai kain
Bulu kudukku menari-nari
Menikmati riuh hembusan angina

Kuncup sakura di luar bermekaran
Menyelimuti batang tubuhnya yang lama bertelanjang
Musim semi berkunjung
Sakura mekar merimbun

Sejuk mata ini memandang
Satu per satu berguguran
Menghiasi jalanan kehidupan
Berkedip dengan mesra
Melambai indah ke arah kedua mata
Aku diajaknya menari-nari di atas hamparan tubuh indahnya
Gairah hidupku kembali tergugah
Bergegas menyusuri terowongan kehidupan bernuansa sakura

Terhenti sejenak
Aku melanjutkan lamunan
Mungkin sampai lama
Hingga sakura layu berguguran
Terganti perlahan dengan daun-daun muda
Sakura pergi
Sakura hilang
Dan kemudian mati
Menyusuri satu putaran waktu kembali

Sampai jumpa rimbun sakura
Aku menantimu di ujung masa
Mengenangmu sementara
Diantara kerumunan aksara
Atau malah diantara gambar-gambar klise yang aku punya-

Oh sakura kekasihku
Pemilik warna muda cerah
Kembalilah
Gali jiwaku lagi
Ajak aku menari lagi
Sejenak melupakan diri sendiri
Sebagai pengelana di semesta ini
Temanilah
Temani diri ini mengukir banyak harapan
Guna menapaki tangga baru kehidupan

(Kudus, Mei 2019)

--------------------------

#Day27
#OneDayOnePost30HRDC 
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....