Picture by : Google |
Aku adalah seorang akuntan. 1 tahun 4 bulan lalu aku resmi menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Kota Kudus. 5 bulan sebelum itu, aku resmi menjadi wisudawati di salah satu Politeknik Negeri di Semarang. Sebenarnya ini bukan pekerjaan pertama yang aku terima. Perjalanan yang ku lalui cukup panjang. Berkali-kali jatuh aku lakoni begitupun dengan cara untuk bangkit kembali. Ternyata hal-hal manis yang sempat terbayang olehku berbanding terbalik dengan apa yang aku hadapi setelahnya. Ekspektasi memang tak selalu berakhir nyata.
Dulu menjelang semester akhir, bayanganku tentang masa depan begitu apik dan menggembirakan. Aku menyusun target, menuliskannya di sticky note juga di buku diary yang aku punya. Satu per satu aku rinci dari mulai detail target lengkap dengan waktu yang aku rencanakan. Harapku hanya satu, semoga semuanya bisa terlampaui dengan baik dan berakhir dengan sesuatu yang aku mau. Alhamdulillah sampai wisuda berlangsung semua target terlampaui dengan hasil yang baik. Ya meskipun aku tidak mendapat predikat cumlaud, tapi setidaknya aku bisa wisuda dengan tepat waktu. Ini adalah sebuah cara menghargai diri sendiri. Menerima dan tak lupa aku mengucapkan selamat kepada diriku sendiri atas pencapaian yang sudah aku terima.
Untuk sampai ke titik menjadi seorang wisudawati sebenarnya juga sulit. Tapi aku masih sangat beruntung, karena di semester akhir sudah tidak harus bergelut dengan mata kuliah. Aku dan teman-teman seprodiku hanya perlu fokus ke laporan magang dan penyelesaian tugas akhir. Begini saja sudah banyak mengeluh. Dosen pembimbing ya beginilah, objek TA beginilah, revisi beginilah, dan beginilah yang lain tak henti menyerbu secara bergantian. Aku bersyukur bisa menemukan mereka yang sudi saling menguatkan ditengah-tengah kebingungan yang sedang kita hadapi bersama. Dan aku beruntung diberikan dosen pembimbing yang baik hati dan tidak rewel ketika bimbingan berlangsung. Ini poin penting selain objek TA yang lebih dulu harus dipastikan kesediaannya untuk menjadi objek penelitian kami, para mahasiswa tingkat akhir. Untuk mahasiswa tingkat akhir, dosen pembimbing menjadi seperti pengendali mood. Dan kalian tahu kan dampak dari sebuah mood. Oke cukup.
Dulu setelah wisuda aku bercita-cita ingin hijrah ke tempat perantauan yang lebih jauh. Yang ku bayangkan akan lebih menjanjikan masa depanku dan dekat dengan kampus-kampus terbaik di negeri ini. Selain keinginan bekerja, aku juga ingin melanjutkan pendidikanku lagi. Terlalu muluk memang, tapi bukankah harapan itu harus selalu ada? Aku juga ingin menikah dan memiliki putra putri yang sholeh dan sholehah. Aku ingin punya jalan menuju surga lewat mereka. Hehe
Tapi ternyata tak semudah itu. Di sela-sela pelaksanaan jadwal sidang tugas akhir, aku dan teman-teman seangkatanku mengikuti seleksi menjadi pegawai di salah satu BUMN ternama di Indonesia. Kami menjadi terpaksa menjadi rival, meski terus saling menguatkan dan saling mendukung. Satu per satu gugur di proses seleksi yang begitu panjang. Termasuk aku. Langkahku terhenti di 2 tahap terakhir. Aku gugur dan tentu saja bersedih.
Kemudian aku mengikuti seleksi menjadi pegawai di salah satu kementrian di Indonesia. Aku pergi ke Jakarta guna menyelesaikan seleksi dan numpang di rumah budeku sampai proses seleksi ini selesai. Semuanya berjalan begitu lancar sampai waktu pengumuman itu tiba. Ternyata aku gagal lagi dan sedihku bertambah lagi. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Tapi ini tidak berlangsung lama. Ya, tentu saja aku tidak akan membuat orang-orang tersayangku bersedih karena melihatku bersedih. Lets move on gaes!
Setelahnya aku pulang. Kembali ke kota yang membesarkanku. Aku mengevaluasi diriku sendiri. Aku mencari apa yang salah dengan proses yang ku lalui. Aku menangis seorang diri, meronta meminta-minta kepada Yang Maha Kuasa. Sambil menilai, sambil ku cari lowongan kerja yang lain. Dan kali ini aku tidak mengambil di luar kotaku. Mamak memintaku bekerja di dalam kota. Katanya biar mamak bisa lihat aku tiap hari. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya mau memenuhi keinginan mamak dengan pertimbangan yang banyak. Karena kalau kembali ke dalam kota, aku berfikir aku akan sulit berkembang baik dalam hal pekerjaan maupun pendidikan. Tapi aku mencoba menuruti keinginan mamak.
Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku setelah mengikuti wawancara kerja di salah satu perusahaan konstruksi di perbatasan kotaku. Tempatnya sangat jauh, aku harus menempuh kurang lebih 45 menit untuk sampai ke sana. Tapi cuma 3 hari. Aku resign dan menyerah dengan segala sambatan yang ada. Mulai dari jarak, cara kerja, jam kerja, gaji, dan tentu saja gengsi yang dulu ku punyai. Dan baiklah, lupakan.
Kemudian aku mencoba lagi. Kali ini aku mengikuti seleksi di salah satu badan usaha milik pemerintahan yang ada di kotaku. Tapi lagi-lagi aku gagal di tahap akhir. Kemudian aku mengikuti seleksi di salah satu bank syariah di kotaku. Aku gagal lagi, dan kali ini aku gagal dari awal proses seleksi.
Tidak berhenti sampai di situ, sambil menunggu jadwal seleksi masuk kerja dari beberapa tempat yang aku lamar, aku mengirimkan banyak sekali CV lamaran ke banyak perusahaan lain baik secara online atau mengantarkan sendiri sampai ke lobi perusahaan yang bisa ku jangkau dengan jarak.
Akhirnya tidak lama setelah itu, aku diterima kerja di salah satu toko yang lumayan besar di kotaku. Toko itu memiliki cabang dimana-mana. Tapi belum ada yang mengurus laporan secara administratif. Semua pekerjaan dikerjakan oleh owner toko sendiri. Aku menerima pekerjaan pertamaku sebagai seorang akuntan yang bekerja seorang diri dengan proses yang benar-benar dari awal. Aku ditantang untuk membuat laporan keuangan yang mudah dipahami dan tentu saja terstruktur. Aku tidak punya partner kerja kecuali si bos.
Tapi penawaran gaji pertamaku sangat minim, hampir sama dengan karyawan toko. Hampir saja aku mundur gara-gara ini. Seorang diploma sepertiku hanya akan digaji sama seperti mereka yang porsi kerjanya jauh lebih ringan? Oh no. Bukan bermaksud meremehkan, tapi sudah semestinya tanggung jawab yang lebih besar diiringi dengan imbalan yang lebih juga bukan? Akhirnya aku melakukan negosiasi dan percobaan pertama aku akan digaji sesuai dengan UMR/bulan. Katanya setelah itu, kalau aku berhasil di masa percobaan aku akan mendapatkan lebih dari apa yang sudah ku dapatkan di bulan pertama. Akhirnya kami sepakat. Waktu itu hari sabtu, dan hari senin aku boleh langsung bekerja.
Tapi tidak lama. Baru sekitar 25 hari aku bekerja, aku memutuskan resign. 2 hari sebelum itu, aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan swasta di kotaku. Kali ini aku hanya butuh 5 menit untuk sampai ke kantor. Lebih dekat dengan rumah, lebih terstruktur, lebih nyaman dengan jam kerja, lebih termanusiakan dengan gaji yang aku kerjakan, dan tentu saja aku lebih menemukan orang-orang yang sepemikiran denganku dalam hal bekerja. Dulu setiap hari aku di kantor sendiri, tidak punya teman bicara, dan tentu saja terpaksa menerima pemikiran yang tak sejalan denganku. Mereka bilang jadi aku enak, enggak capek dan lebih bisa leha-leha. Padahal mereka sama sekali tidak tahu bagaimana capek yang aku rasakan di psikisku karena beban kerja dan cemoohan mereka. Bukankah setiap orang diuji dengan daya uji masing-masing? Sebenarnya aku ingin sekali membantu mereka untuk lebih bisa membuka pemikiran mereka, tapi tidak jadi. Aku lebih memilih pergi dan kembali menyelesaikan pekerjaanku sendiri.
Sekarang sudah 1 tahun 4 bulan aku bekerja di tempat terakhir yang aku lamar. Aku mulai menikmati ini semua. Berangkat kantor 10 menit sebelum bel masuk kantor, bekerja sesuai dengan job desk, bersosialisasi dengan tetangga dan teman-teman kantor, jalan-jalan ke kota 2-3 kali sebulan, juga bersapa kabar lewat sosial media dengan teman-teman lama dan saudara jauh. Dan satu yang utaam, alhamdulillah mamak senang dengan keadaanku yang sekarang. Minimal aku punya cara membaktikan diri kepada mamak sebelum menjadi seorang istri. Hehe
Pesan untuk kalian yang masih berjuang dari orang yang berpengalaman minim sepertiku:
Insyaallah ada jalan. Sekian.
Salam Literasi
Kemudian aku mengikuti seleksi menjadi pegawai di salah satu kementrian di Indonesia. Aku pergi ke Jakarta guna menyelesaikan seleksi dan numpang di rumah budeku sampai proses seleksi ini selesai. Semuanya berjalan begitu lancar sampai waktu pengumuman itu tiba. Ternyata aku gagal lagi dan sedihku bertambah lagi. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Tapi ini tidak berlangsung lama. Ya, tentu saja aku tidak akan membuat orang-orang tersayangku bersedih karena melihatku bersedih. Lets move on gaes!
Setelahnya aku pulang. Kembali ke kota yang membesarkanku. Aku mengevaluasi diriku sendiri. Aku mencari apa yang salah dengan proses yang ku lalui. Aku menangis seorang diri, meronta meminta-minta kepada Yang Maha Kuasa. Sambil menilai, sambil ku cari lowongan kerja yang lain. Dan kali ini aku tidak mengambil di luar kotaku. Mamak memintaku bekerja di dalam kota. Katanya biar mamak bisa lihat aku tiap hari. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya mau memenuhi keinginan mamak dengan pertimbangan yang banyak. Karena kalau kembali ke dalam kota, aku berfikir aku akan sulit berkembang baik dalam hal pekerjaan maupun pendidikan. Tapi aku mencoba menuruti keinginan mamak.
Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku setelah mengikuti wawancara kerja di salah satu perusahaan konstruksi di perbatasan kotaku. Tempatnya sangat jauh, aku harus menempuh kurang lebih 45 menit untuk sampai ke sana. Tapi cuma 3 hari. Aku resign dan menyerah dengan segala sambatan yang ada. Mulai dari jarak, cara kerja, jam kerja, gaji, dan tentu saja gengsi yang dulu ku punyai. Dan baiklah, lupakan.
Kemudian aku mencoba lagi. Kali ini aku mengikuti seleksi di salah satu badan usaha milik pemerintahan yang ada di kotaku. Tapi lagi-lagi aku gagal di tahap akhir. Kemudian aku mengikuti seleksi di salah satu bank syariah di kotaku. Aku gagal lagi, dan kali ini aku gagal dari awal proses seleksi.
Tidak berhenti sampai di situ, sambil menunggu jadwal seleksi masuk kerja dari beberapa tempat yang aku lamar, aku mengirimkan banyak sekali CV lamaran ke banyak perusahaan lain baik secara online atau mengantarkan sendiri sampai ke lobi perusahaan yang bisa ku jangkau dengan jarak.
Akhirnya tidak lama setelah itu, aku diterima kerja di salah satu toko yang lumayan besar di kotaku. Toko itu memiliki cabang dimana-mana. Tapi belum ada yang mengurus laporan secara administratif. Semua pekerjaan dikerjakan oleh owner toko sendiri. Aku menerima pekerjaan pertamaku sebagai seorang akuntan yang bekerja seorang diri dengan proses yang benar-benar dari awal. Aku ditantang untuk membuat laporan keuangan yang mudah dipahami dan tentu saja terstruktur. Aku tidak punya partner kerja kecuali si bos.
Tapi penawaran gaji pertamaku sangat minim, hampir sama dengan karyawan toko. Hampir saja aku mundur gara-gara ini. Seorang diploma sepertiku hanya akan digaji sama seperti mereka yang porsi kerjanya jauh lebih ringan? Oh no. Bukan bermaksud meremehkan, tapi sudah semestinya tanggung jawab yang lebih besar diiringi dengan imbalan yang lebih juga bukan? Akhirnya aku melakukan negosiasi dan percobaan pertama aku akan digaji sesuai dengan UMR/bulan. Katanya setelah itu, kalau aku berhasil di masa percobaan aku akan mendapatkan lebih dari apa yang sudah ku dapatkan di bulan pertama. Akhirnya kami sepakat. Waktu itu hari sabtu, dan hari senin aku boleh langsung bekerja.
Tapi tidak lama. Baru sekitar 25 hari aku bekerja, aku memutuskan resign. 2 hari sebelum itu, aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan swasta di kotaku. Kali ini aku hanya butuh 5 menit untuk sampai ke kantor. Lebih dekat dengan rumah, lebih terstruktur, lebih nyaman dengan jam kerja, lebih termanusiakan dengan gaji yang aku kerjakan, dan tentu saja aku lebih menemukan orang-orang yang sepemikiran denganku dalam hal bekerja. Dulu setiap hari aku di kantor sendiri, tidak punya teman bicara, dan tentu saja terpaksa menerima pemikiran yang tak sejalan denganku. Mereka bilang jadi aku enak, enggak capek dan lebih bisa leha-leha. Padahal mereka sama sekali tidak tahu bagaimana capek yang aku rasakan di psikisku karena beban kerja dan cemoohan mereka. Bukankah setiap orang diuji dengan daya uji masing-masing? Sebenarnya aku ingin sekali membantu mereka untuk lebih bisa membuka pemikiran mereka, tapi tidak jadi. Aku lebih memilih pergi dan kembali menyelesaikan pekerjaanku sendiri.
Sekarang sudah 1 tahun 4 bulan aku bekerja di tempat terakhir yang aku lamar. Aku mulai menikmati ini semua. Berangkat kantor 10 menit sebelum bel masuk kantor, bekerja sesuai dengan job desk, bersosialisasi dengan tetangga dan teman-teman kantor, jalan-jalan ke kota 2-3 kali sebulan, juga bersapa kabar lewat sosial media dengan teman-teman lama dan saudara jauh. Dan satu yang utaam, alhamdulillah mamak senang dengan keadaanku yang sekarang. Minimal aku punya cara membaktikan diri kepada mamak sebelum menjadi seorang istri. Hehe
Pesan untuk kalian yang masih berjuang dari orang yang berpengalaman minim sepertiku:
- Jangan mudah menyerah, sesulit apapun medan yang sedang ada dihadapanmu. Kalau gagal, coba lagi sampai berhasil.
- Jangan terlalu mengedepankan gengsi. Minimal kita akan pengalaman dari apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kecil di hidup kita.
- Ijazah itu penting. Tapi jauh lebih penting attitude. Ijaah hanya membantu kita di tahap administrasi, sedangkan softskill akan membawa kita melewati sisa tahapan yang ada. Yang jelas lebih panjang, dan tentu saja lebih menjadikan kita berhati-hati.
- Bekerja tidak selalu soal passion, meski aku sendiripun mencari kenyamanan dari ini. Aku bersyukur karena akhirnya pekerjaanku sesuai dengan apa yang sebelumnya aku pelajari. Aku tidak perlu belajar dari awal dan hanya tinggal mendalami. Tapi percayalah jalan rejeki tidak hanya dari sesuatu yang kamu yakini. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita semua.
- Doa kedua orang tua itu mujarab. Sangat sangat mujarab. Mintalah dengan sungguh-sungguh dan niatkan semuanya untuk mereka karena Allah.
Insyaallah ada jalan. Sekian.
Salam Literasi