Picture by : Pinterest |
Tas gendong kesayanganku baru saja ku geletakkan di atas sebuah box penyimpan arsip dokumen. Jaket yang menghangatkanku sedari tadi juga baru saja ku lipat rapi.
"Assalamualaikum" sapa hangat seorang Annisa
"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh" jawabku
"Ya Allah pen" katanya sambil terpatah-patah
"What?" kataku singkat
"Asap kendaraan tuh emang jahat banget ya" katanya
Aku terdiam sembari memperhatikan dia yang kerepotan mengatur nafas sesampainya di ruangan kantor. Aku berdiri di samping sebuah meja kerja miliknya sambil menyiapkan sebuah sajadah dan sebuah mukena. Hampir setiap pagi, aku dan dia menghamba kepada Allah Sang Maha Segalanya. Kami bersujud bersama disela-sela meja kerja. Meminta ini itu kepada-Nya. 15 menit saja, sudah cukup. Selain termasuk golongan orang-orang yang taat kepada-Nya, dhuha juga bisa sebagai cara seorang manusia untuk meminta kecukupan tentang apa saja sampai dipenghujung hari yang dilaluinya.
"Dadaku sesak. Biasanya jalanan nggak macet. Kenapa pagi ini macet sekali?" lanjut Annisa menggerutu.
Aku masih terdiam, memperhatikan tingkah perempuan yang masih kerepotan dengan ini itu. Bahkan sekarang dia menjadi sangat kerepotan dengan makian yang dia punya. Oh bukan, dia pasti tidak setuju mengatakan dirinya sedang memaki. Aku ralat menjadi sambatan. Ya, pagi ini dia hanya berbagi sambatan. Dia baik hati sekali bukan? Ah sebaik apapun dia, di mataku tetap saja menjadi hal yang selalu salah. Batinku menolak pro dengannya.
"Lihat, padahal aku sudah pakai 2 masker. Kenapa udara kotor tetap masuk dan terhirup olehku?" katanya melanjutkan
Masih belum ku tanggapi. Aku masih terus mendengarkan sambil memperhatikannya melepas satu persatu barang-barang yang menempel di badannya. 2 jaket tebal berlapis sebuah kardus berbentuk persegi panjang yang menutupi dadanya, juga 2 masker wajah yang menutupi sebagian wajahnya, juga sebuah tas gendong yang dipakainya di depan dada. Semenjak paru-parunya terluka, dia memang menjadi lebih sensitif dengan udara. Aku mengerti ini, tapi aku tetap saja tidak suka dengan caranya.
"Mana udara lagi anyes-anyesnya. Dingin banget" tambahnya
Aku masih diam, menyelesaikan persiapanku menghamba. Dia juga sudah hampir selesai merapikan kerepotannya, kecuali dengan makian yang ada. Sepertinya akan menjadi lebih lama dari yang ku bayangkan sebelumnya.
"Semrawut banget ya pen lalu lintas di Kudus. Nggak kaya di Temanggung. Tertib tertib" katanya lagi.
Begitulah dia, doyan ngomong. Kadang aku seneng bisa ngomong banyak sama dia. Tapi banyak keselnya juga. Abis gimana si, berisiknya masyaallah.
"Sehat kan yu?" kataku singkat
"Ya gini ini" sahutnya
"Terus ngapain nyalahin benda mati?" kataku
"Abis gimana si, kan kesel"
"Salahin diri sendiri lah. Kan situ yang bisa mikir. Udara, motor, dan kesemrawutan itu mana punya pikiran?"
Dia diam. Entah capek dengan gerutuannya atau malah kecewa dengan omonganku. Aku hanya ingin menunjukkan rasa tidak sukaku atas sikapnya kepada apa saja yang telah dilaluinya pagi ini. Apalagi sampai menyalahkan benda mati. Persis seperti banyak ibu-ibu yang menyalahkan batu atau kaki meja kursi ketika anaknya tersandung kemudian jatuh. Menurutku ini justru malah membuat si anak menjadi tidak sadar diri. Kenapa tidak malah menenangkan dan kemudian menasihati si anak supaya lebih berhati-hati? Atau adakah sudut pandang lain yang lebih bisa ku mengerti selain ini? Oke baiklah, terserah.
Kenapa dia harus menggerutu sepanjang itu? Kenapa sih dia nggak instrospeksi diri sendiri? Kenapa sepagi ini sudah membuatku kesal dengan gerutuannya yang menurutku tidak harus dia lakukan. Harusnya dia bisa berangkat lebih pagi. Selain udara yang masih segar, dia juga tidak harus berebut jalan dengan pengendara yang memang kebanyakan tak tahu aturan. Harusnya dia paham bagaimana cara berkendara manusia-manusia rese di sini. Kenapa masih bertanya tentang ini?
Bukankah hidup ini harus saling mengerti. Atau menurutku malah diri sendiri harus lebih bisa mengerti dan juga menerima apapun yang telah di gariskan-Nya. Orang-orang tidak akan pernah mau tau apa yang menjadi inginmu. Kecuali mereka yang peduli padamu. Tapi aku pikir kau akan sangat susah menemukannya. Belakangan ini aku menemukan banyak sekali orang-orang yang bertopeng. Aku juga pernah melakukannya beberapa kali.
Sudut pandang kita bahkan harus meluas. Kita tidak boleh egois dengan pemikiran kolot yang kita punya. Mungkin pengendara ugal-ugalan yang sesekali kita temui di jalan itu sedang terburu-buru. Sampai sampai dia tak peduli lagi dengan aturan yang ada. Jangankan keselamatanmu, keselamatannya saja tidak dia hiraukan. Bayangkan saja bagaimana diposisi orang itu.
"Ngomong tuh emang lebih gampang
daripada ngelakuin langsung"
Sering mendengar kalimat itu? Ya, hampir setiap hari ada yang berkata seperti itu. Aku bahkan tidak habis pikir dengan pemikiran mereka. Tujuan bercerita apa sih? Buat tuker pikiran kan? Buat dapet solusi kan? Atau bahkan menjawab ke-kepoan diri. Hei, ayolah. Buka mata, buka hati, buka cakrawalamu dan mulai mencoba mengertilah. Saran atau jawaban apapun yang dilontarkan kepadamu atas ceritamu itu hanya perlu kau dengar. Toh kita nggak melulu memaksa pikiran kita buat dipakai sama kamu. Keputusan kan tetap adanya di kamu.
Dunia ini banyak warna honey. Kalau kau hanya mau menatap yang abu-abu, berarti kita lain dunia. Ahh lagian kita ini kan makhluk sosial. Butuh interaksi, butuh bantuan, juga butuh pemikiran orang lain. Diamlah atau setidaknya katakan "iya" juga "terimakasih".
Memang susah menjadi baik. Butuh terbiasa untuk menjadi bisa. Dan semoga kita bisa mengerti tentang ini. Aku bukan menyalahkanmu, aku hanya kurang setuju dengan apa yang kau lakukan. Maaf jika memang aku tak sadar menaruh salah padamu.
Selamat siang.
Salam Literasi,
--------------------------
#Day26
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave