Jumat, 31 Mei 2019

Kepada Hati Yang Membenci Benda Mati

Picture by : Pinterest
Aku baru saja sampai kantor, bergegas menyodorkan ujung jempol tangan kananku ke arah mesin scan untuk absen dan kemudian menuju ruangan kerjaku. Pagi ini aku agak terburu-buru. Terlalu asyik dengan youtube sampai akhirnya lupa waktu. Jarum jam menunjuk pada angka pukul 06.52 menit. Segera ku pacu roda duaku dengan kecepatan yang lebih daripada biasanya. Aku hanya punya waktu 8 menit untuk sampai di parkiran kantor dan kemudian melakukan absen.

Tas gendong kesayanganku baru saja ku geletakkan di atas sebuah box penyimpan arsip dokumen. Jaket yang menghangatkanku  sedari tadi juga baru saja ku lipat rapi.

"Assalamualaikum" sapa hangat seorang Annisa

"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh" jawabku

"Ya Allah pen" katanya sambil terpatah-patah

"What?" kataku singkat

"Asap kendaraan tuh emang jahat banget ya" katanya

Aku terdiam sembari memperhatikan dia yang kerepotan mengatur nafas sesampainya di ruangan kantor. Aku berdiri di samping sebuah meja kerja miliknya sambil menyiapkan sebuah sajadah dan sebuah mukena. Hampir setiap pagi, aku dan dia menghamba kepada Allah Sang Maha Segalanya. Kami bersujud bersama disela-sela meja kerja. Meminta ini itu kepada-Nya. 15 menit saja, sudah cukup. Selain termasuk golongan orang-orang yang taat kepada-Nya, dhuha juga bisa sebagai cara seorang manusia untuk meminta kecukupan tentang apa saja sampai dipenghujung hari yang dilaluinya.

"Dadaku sesak. Biasanya jalanan nggak macet. Kenapa pagi ini macet sekali?" lanjut Annisa menggerutu.

Aku masih terdiam, memperhatikan tingkah perempuan yang masih kerepotan dengan ini itu. Bahkan sekarang dia menjadi sangat kerepotan dengan makian yang dia punya. Oh bukan, dia pasti tidak setuju mengatakan dirinya sedang memaki. Aku ralat menjadi sambatan. Ya, pagi ini dia hanya berbagi sambatan. Dia baik hati sekali bukan? Ah sebaik apapun dia, di mataku tetap saja menjadi hal yang selalu salah. Batinku menolak pro dengannya.

"Lihat, padahal aku sudah pakai 2 masker. Kenapa udara kotor tetap masuk dan terhirup olehku?" katanya melanjutkan

Masih belum ku tanggapi. Aku masih terus mendengarkan sambil memperhatikannya melepas satu persatu barang-barang yang menempel di badannya. 2 jaket tebal berlapis sebuah kardus berbentuk persegi panjang yang menutupi dadanya, juga 2 masker wajah yang menutupi sebagian wajahnya, juga sebuah tas gendong yang dipakainya di depan dada. Semenjak paru-parunya terluka, dia memang menjadi lebih sensitif dengan udara. Aku mengerti ini, tapi aku tetap saja tidak suka dengan caranya.

"Mana udara lagi anyes-anyesnya. Dingin banget" tambahnya

Aku masih diam, menyelesaikan persiapanku menghamba. Dia juga sudah hampir selesai merapikan kerepotannya, kecuali dengan makian yang ada. Sepertinya akan menjadi lebih lama dari yang ku bayangkan sebelumnya.

"Semrawut banget ya pen lalu lintas di Kudus. Nggak kaya di Temanggung. Tertib tertib" katanya lagi.

Begitulah dia, doyan ngomong. Kadang aku seneng bisa ngomong banyak sama dia. Tapi banyak keselnya juga. Abis gimana si, berisiknya masyaallah.

"Sehat kan yu?" kataku singkat

"Ya gini ini" sahutnya

"Terus ngapain nyalahin benda mati?" kataku

"Abis gimana si, kan kesel"

"Salahin diri sendiri lah. Kan situ yang bisa mikir. Udara, motor, dan kesemrawutan itu mana punya pikiran?"

Dia diam. Entah capek dengan gerutuannya atau malah kecewa dengan omonganku. Aku hanya ingin menunjukkan rasa tidak sukaku atas sikapnya kepada apa saja yang telah dilaluinya pagi ini. Apalagi sampai menyalahkan benda mati. Persis seperti banyak ibu-ibu yang menyalahkan batu atau kaki meja kursi ketika anaknya tersandung kemudian jatuh. Menurutku ini justru malah membuat si anak menjadi tidak sadar diri. Kenapa tidak malah menenangkan dan kemudian menasihati si anak supaya lebih berhati-hati? Atau adakah sudut pandang lain yang lebih bisa ku mengerti selain ini? Oke baiklah, terserah.

Kenapa dia harus menggerutu sepanjang itu? Kenapa sih dia nggak instrospeksi diri sendiri? Kenapa sepagi ini sudah membuatku kesal dengan gerutuannya yang menurutku tidak harus dia lakukan. Harusnya dia bisa berangkat lebih pagi. Selain udara yang masih segar, dia juga tidak harus berebut jalan dengan pengendara yang memang kebanyakan tak tahu aturan. Harusnya dia paham bagaimana cara berkendara manusia-manusia rese di sini. Kenapa masih bertanya tentang ini?

Bukankah hidup ini harus saling mengerti. Atau menurutku malah diri sendiri harus lebih bisa mengerti dan juga menerima apapun yang telah di gariskan-Nya. Orang-orang tidak akan pernah mau tau apa yang menjadi inginmu. Kecuali mereka yang peduli padamu. Tapi aku pikir kau akan sangat susah menemukannya. Belakangan ini aku menemukan banyak sekali orang-orang yang bertopeng. Aku juga pernah melakukannya beberapa kali.

Sudut pandang kita bahkan harus meluas. Kita tidak boleh egois dengan pemikiran kolot yang kita punya. Mungkin pengendara ugal-ugalan yang sesekali kita temui di jalan itu sedang terburu-buru. Sampai sampai dia tak peduli lagi dengan aturan yang ada. Jangankan keselamatanmu, keselamatannya saja tidak dia hiraukan. Bayangkan saja bagaimana diposisi orang itu.

"Ngomong tuh emang lebih gampang

daripada ngelakuin langsung"

Sering mendengar kalimat itu? Ya, hampir setiap hari ada yang berkata seperti itu. Aku bahkan tidak habis pikir dengan pemikiran mereka. Tujuan bercerita apa sih? Buat tuker pikiran kan? Buat dapet solusi kan? Atau bahkan menjawab ke-kepoan diri. Hei, ayolah. Buka mata, buka hati, buka cakrawalamu dan mulai mencoba mengertilah. Saran atau jawaban apapun yang dilontarkan kepadamu atas ceritamu itu hanya perlu kau dengar. Toh kita nggak melulu memaksa pikiran kita buat dipakai sama kamu. Keputusan kan tetap adanya di kamu.

Dunia ini banyak warna honey. Kalau kau hanya mau menatap yang abu-abu, berarti kita lain dunia. Ahh lagian kita ini kan makhluk sosial. Butuh interaksi, butuh bantuan, juga butuh pemikiran orang lain. Diamlah atau setidaknya katakan "iya" juga "terimakasih".

Memang susah menjadi baik. Butuh terbiasa untuk menjadi bisa. Dan semoga kita bisa mengerti tentang ini. Aku bukan menyalahkanmu, aku hanya kurang setuju dengan apa yang kau lakukan. Maaf jika memang aku tak sadar menaruh salah padamu.

Selamat siang.

Salam Literasi,

--------------------------

#Day26
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Kamis, 30 Mei 2019

Nulis terus, Buat Apa?

Picture by : Pinterest
Sebuah pertanyaan sederhana datang dari seorang gadis sebayaku. Dia temanku, dan kami sudah seperti saudara sendiri. Belakangan ini, aku suka sekali menulis. Seperti seolah-olah berkata bijak, padahal aku hanya ingin berpendapat saja.
 
Siang itu sedang tidak ada kesibukan. Kebetulan pekerjaan kami sudah selesai dan kami saling bercerita. Aku menatapnya dengan sungguh. Menyimak sekian receh ceritanya yang terkadang tidak masuk akal. Tapi sebagai pendengar yang baik, aku tetap mendengarkannya meski sesekali hilang mood karenanya. Dan tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul darinya.

"Nulis terus, buat apa si pen?
Dapet duit emang?"

Aku diam, bingung memulai menjawab dari mana. Dia mengeryitkan dahi, seperti memberitahu tentang keheranannya kepadaku. Ketahuilah, ada banyak sekali alasan melakukannya. Dengan kerelahan hati yang penuh cinta, aku menjadikannya sebagai sebuah hobby baru.

Bagiku, menulis adalah mediaku untuk berbicara. Menyampaikan sekian banyak hal kepada dia yang ku jadikan tujuan. Aku bukanlah sosok yang begitu hangat menyampaikan sanggahan. Sesekali aku dikuasai amarah dan nada bicaraku menjadi tak terkendali. Beberapa kali aku menyesali ini. Tapi waktu tak akan berhenti apalagi berbalik arah. Sekarang, tugasku adalah memperbaiki diri menjadi lebih manis, lebih hangat, dan lebih baik lagi.

Menulis menjadikanku sebuah aksara yang menari-nari di atas kertas lewat goresan pena. Aku merangkai diri menjadi aksara demi aksara sampai berhasil menjadi barisan kata yang meruntut sebuah cerita. Aku bukan pembicara yang baik apalagi bijak. Sama sekali tidak, aku hanya ingin orang lain tahu bagaimana mau yang aku maksudkan. Karena bibir tak selamanya terkendali dan apalagi hati yang kita punyai. Aku menjaga hati kita lewat kata yang tertata dan rapi berbaris diantara baris-baris deretan aksara itu.

Menulis membantuku masuk ke dalam jiwa-jiwa yang rela membaca karya yang masih tergolong usang ini. Aku ingin sekali larut dalam suasana hati yang sedang dirasakan oleh orang-orang. Aku ingin mengerti menjadi mereka. Sedihnya, bahagianya, bimbangnya, riuh pikirannya, semua.
Menulis membantuku menjadi apa saja. Hujan, daun, angin, senja, seorang ibu, atau bahkan seorang perempuan yang sedang menggilaimu. Aku bisa menjadi apa saja yang aku atau yang bahkan kau inginkan. Menjelma menjadi semudah ini dengan menulis.

Menulis membantuku menjadi abadi. Aku ingin berkarya, sebelum hilang nyawa. Jika aku beruntung, aku akan dikenang sebagai seorang penulis. Pundi-pundiku mengalir dari hasil penjualan karyaku dan aku bisa mengelilingi Indonesia untuk memperkenalkan itu. Allahu Akbar, insyaallah. Tapi jika takdir berkata lain, setidaknya ada yang sudah tersampaikan kepada orang-orang yang aku tuju meskipun hanya secara tersirat. Aku ini penakut, mana berani menyampaikan apa-apa apalagi kepada dia yang ku cinta. Nyaliku menciut. Payah memang.

Menulis mempertemukanku dengan orang-orang baik yang sejenis denganku. Yang sukanya bercerita, yang gemar berbagi pengalaman, juga senang sekali memotivasi. Aku bahagia dipertemukan degan mereka semua, meskipun belum secara langsung. Setidaknya dunia maya bisa menyandingankan kita untuk sekedar berdialog bersama membicarakan apa saja yang sedang menarik bagi kita semua. Cukup menyenangkan sebagai sebuah pertemuan awal.

Dan tidak ada yang istimewa dari seorang penulis. Kecuali deretan katanya yang berhasil mengetuk hati pembacanya. Dan aku bukan menjadi diantara mereka. Atau begini lebih tepatnya. Aku belum menjadi diantara mereka. Aku masih belajar menjadi sepertinya. Seorang penyair yang hebat atau sekedar seorang budak cinta yang haus akan kata-kata. Halah bagiku sama saja. Setiap jiwa memiliki hak untuk itu.  Asal mereka mampu dan tentu saja mau. Karena mampu tidak akan berjalan tanpa kemauan dan begitupun sebaliknya. Semesta memang selalu begini. Saling melengkapi tanpa sedikitpun menggurui. Sederhana sekali.

Salam Literasi.

---------------------------

#Day25
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Rabu, 29 Mei 2019

Menjelang Terlelap


Lelap adalah obat bagi jiwa-jiwa yang seharian dipeluk rasa lelah. Lelap adalah ruang kosong untuk mengistirahatkan isi kepala juga raga yang kadang terus memaksakan dirinya. Lelap adalah gelap yang akan menyediakan terang. Membangun mimpi yang baru. Memupuk harapan yang baru. Juga mempersiapkan jiwa dan raga dengan semangat yang baru untuk menyambut dan kemudian menyelesaikan hari yang baru.

Pagi ini, kedua mataku kembali terbuka. Aku mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa kemudian memanjatkan banyak doa untuk kebaikan hari ini. Pagi ini aku siap menyambut hari baru dihidupku. Memupuk banyak harapan, mengecek daftar mimpi-mimpi, dan menentukan langkah jitu sampai dititik berhasil. Pagi ini aku mengakhiri doa. Kemudian bergegas mandi dan melakukan sholat subuh. Setelahnya aku melanjutkan menulis cerita yang semalam belum sempat selesai karena terlanjur ketiduran. Sampai lupa waktu, aku bergegas bersiap berangkat ke kantor. Agak terburu-buru memang. Untung tidak telat. Alhamdulillah.

Semalaman aku terlelap. Merawat raga yang telah lelah seharian. Juga mengistirahatkan ruang-ruang di pikiran juga jiwaku. Semalaman aku terlelap. Menghentikan sementara mimpi-mimpi yang masih memenuhi daftar di buku agendaku. Melemaskan kaki untuk perlombaan lari di keesokan hari yang lebih seru. Juga menyiapkan jiwa yang lebih besar untuk bisa menerima garis takdir yang telah ditentukan-Nya untukku.

Semalam menjelang terlelap, aku menuliskan apa yang telah aku lalui di hari kemarin. Bukan hanya semalam, tapi hampir setiap malam. Aku menulis semacam diary untuk diriku sendiri. Sambil mendengarkan lagu instrumental atau murotal dari hafidz hafidzoh yang suaranya masyaallah, aku tumpahkan segala kesal, agar tak lagi bertumpuk dan terkalkulasi di hari setelah itu. Aku menggerutu, juga mengucap syukur, menumpahkan kebahagiaan, dan tentu menyusun harapan untuk hari esok. Evernote adalah teman terbaikku. Kadang aku juga menyusun konten untuk diposting diblog kepunyaanku. Kadang sampai ketiduran atau bahkan sebelum sempat membuka evernote, aku sudah lebih dulu tertidur. Ketahuilah, mataku tidak cukup tangguh untuk menahan kantuk yang terlalu. Berat dan membuatku susah berfikir. Akhirnya lelap menjadi obatnya.

Aku menuju kamar mandi, membersihkan gigi, membersihkan wajah, menyelesaikan hajat, dan mengakhirinya dengan mengambil wudhu sebelum memulai menulis. Setelah kembali ke kamar, ku pasang masker di wajahku. Aku butuh ini, untuk menghilangkan buntusan di wajah, menyamarkan bekas jerawat, dan mencerahkan warna kulit. Pemilik wajah sensitif yang mulai sadar diri memang serepot ini. Tolong dimengerti ya. Hehe

Setelah berurusan dengan masker, aku mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Kemudian aku mulai merapal doa panjang sebelum tidur. Ayat kursi, An-Nass, Al-Falaq, Syahadat, doa sebelum tidur, dan dzikir panjang yang mengiringi perjalanan menulisku sampai akhirnya benar-benar tenggelam ke dalam mimpi. Dan tidak lupa memaafkan kesalahan orang-orang yang dilakukan kepadaku hari itu dan memohon ampun juga memohon keringanan agar diri sendiri yang penuh dosa ini mendapatkan maaf dan ampunan dari Allah juga dari orang-orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja ku sakiti. Ini adalah salah satu jalan menuju surga-Nya. Pernah dengar kisah laki-laki Anshar yang dikatakan nabi sebagai "Calon Penghuni Surga"? Dia tidak istimewa. Tampilannya biasa saja, amalan sunnahnya juga tidak begitu banyak. Tapi satu, hatinya besar. Dia tidak pernah menyimpan dendam kepada siapapun. Menjelang tidur, dia selalu memaafkan kesalahan orang-orang baik yang secara sengaja atau bahkan tidak sengaja menyakitinya. Masyaallah, begitu mulia hatinya. Ingin aku sepertinya. Sulit sekali memang, tapi percayalah kita hanya butuh terbiasa untuk melakukannya.

Aku membaca surat Al-Waqiah dan Al-Mulk sebelum membersihkan tubuhku. Biasanya sekalian setelah sholat isya. Surat Al-Waqiah adalah surat kekayaan. Surat ke 56 yang berjumlah 96 ayat ini mengingatkan kita dengan hari kiamat. Kata orang-orang, rutin membaca surat Al-Waqiah bisa memperlancar rejeki dan mencegah seseorang dari kemiskinan selama-lamanya.  Tentunya dengan diimbangi usaha dan ikhtiar ya dear. Aku butuh ini untuk menjadi kaya. Kalaupun tidak kaya secara materi, minimal kaya hati lah ya. Wkwkwk

Dan selanjutnya adalah surat Al-Mulk. Surat ke 67 dengan jumlah 30 ayat ini mengingatkan kita tentang kekuasaan Allah yang begitu besar. Surat ini akan menjadi pertolongan bagi siapa saja yang membacanya. Kata orang-orang, rutin membaca surat Al-Mulk bisa menjaga dan menyelamatkan seseorang dari siksa kubur. Surat ini bisa menjadi syafaat bagi siapa saja yang rutin membacanya. Pernah dengar kisah seorang ibu yang kuburannya wangi? Dia wanita biasa, tidak ada yang istimewa darinya. Tapi ketika meninggal, kuburanya berbau wangi. Sangat-sangat wangi. Kata putranya, ibunya tidak akan tidur sebelum membaca surat Al-Mulk. Masyaallah, Maha Besar Allah dengan segala kebesaran-Nya. Semoga kita termasuk kepada hamba-hamba yang selalu mendapatkan hidayah-Nya. Aamiin ya Rabbal Alamin.

Rutinitasku menjelang tidur begitu panjangnya. Tapi percayalah, ini mudah. Kita hanya butuh terbiasa. Dulu aku tidak begitu. Boro-boro wudhu apalagi sampai berdoa. Setiap pulang, jilbab masih terpakai saja sudah langsung tertidur pulas. Akhirnya wajahku penuh jerawat, dan setiap bangun rasanya berat. Tidak pernah ada penghantar tidur sepanjang yang ku lakukan akhir-akhir ini. Alhamdulillah, Allah Maha Baik. Semoga istiqomah selalu terlimpah kepada kita semua.

Salam Literasi.

-------------------------

#Day24
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Selasa, 28 Mei 2019

Hanya Ada Yang Tega Darinya

Laju motor pelan melintasi jalanan. Sore tadi senja sedang cantik-cantiknya. Rinduku terbayar dengan temu. Canda tawa riuh menemani perjalanan kami ke salah satu sudut kota kecil yang kami tinggali. Nyanyian singkat sesekali bergeming diantara bibir kami. Lagu milik siapa entah, terlalu banyak yang kami nyanyikan. Hatiku berbunga layaknya dibasahi derasnya hujan pertama di bulan ini.

Tapi senyumku tiba-tiba memudar disapu bahagianya. Seperti diterpa angin kencang, aku porak-poranda. Hatiku seperti tercabik, tapi pikirku tak pantas. Aku tak pernah jadi siapa-siapa di babak ini. Akhirnya tetap terlihat bahagia di atas derita menjadi jalan satu-satunya.

Tapi tak bisakah dia berhenti membicarakan ini. Yang bahagia dia rasa, tapi sangat tidak begitu denganku. Aku benar-benar diambang rasa pilu. Rasanya ingin menetap, tapi aku terus terkikis. Ingin berlari jauh, tapi untuk apa. Aku dan seseorang yang sekarang membuat bunga-bunga dihatinya mekar, cukup baik bertahan dengan kisah lama kami sebelum ini. Ya, tentu saja hanya sebagai teman.

Aku turut berbahagia dengan kisahnya yang sekarang. Yang indah sejak seseorang itu datang di kehidupannya dan hanya sekilas lewat di kehidupanku. Sadarku, aku hanyalah sebuah batu loncatan di kisah ini. Aku sungguh tak pantas menaruh hati atas ini. Sekalipun sejujurnya aku masih kebingungan dengan apa yang sedang aku hadapi sekarang. Tega dan polos memang sesuatu yang bedanya tipis. Dan sepertinya aku harus benar-benar belajar mengerti atas ini. Mau tidak mau, luasnya hati harus ku sediakan. Menjadi seperti seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bersikap biasa saja, meski setelahnya ada banyak hal yang membuatku tak berhenti menggerutu. Oh percayalah, bahkan meski aku belum benar-benar terjatuh, luka ini sudah begitu membekas di tepian hati.

"Kamu cemburu ya?" tanya perempuan sebaya yang sedang duduk persis dihadapanku

"Apaan?" jawabku mengelak

"Iyo, kamu cemburu kan?" gertaknya

"No. Siapa gua lagi?" jawabku

Aku cukup sadar diri atas ini. Aku bahkan tak pernah mengupayakan apa-apa atas ini. Dan aku pikir setelah ini semua terjadi, aku sama sekali tak pantas menuntut apapun. Oh waktu, bergulirlah lebih cepat dan lekas bawakan obat untuk batinku yang tersiksa ini.

"Terus?"

"Ya enggak nyangka aja. Wajar dong"

"Iya wajar"

"Bayangin elu diposisi gua. Kira-kira elu bakal gimana?" tanyaku membalikkan

"Aku? Ya sakit si. Tapi gimana si?"

"Gimana apanya?"

"Udah, sekarang biasa aja. Anggep seolah ga ada apa-apa. Toh emang ga pernah apa-apa kan?"

Oh hati, menguatlah. Sungguh kenyataan itu ada untuk dinikmati dan disyukuri. Bahkan menggerutupun tak akan membuat waktu menghentikan masanya apalagi merubah garis takdir berubah seperti apa yang kita mau. Nikmati saja, nikmati.

"Iya, emang ga pernah ada apa-apa" kataku menutup obrolan

Aku pamit, menyendiri bersama sisa ruang yang ada di hatiku. Berfikir akan seperti apa setelah ini. Aku tidak boleh egois, sekalipun aku pernah berfikir bahwa ini semua tak seharusnya terjadi. Tapi bagaimanapun, garis takdir ada tidak untuk dihindari.

Jatuh cinta membuatku teramat takut. Takut jatuh terlalu dalam kepada orang yang salah yang bahkan setelahnya malah akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa pulih kembali. Aku terlalu takut disakiti. Aku terlalu lelah mencari obat hati. Aneh memang, padahal kan kodrat dari manusia sendiri adalah saling menyakiti.

Dan biarlah ini menjadi masalahku. Akan aku bereskan sendiri dengan caraku dan tidak usah mempedulikanku. Aku lebih dari kuat untuk sekedar menyiapkan hati untuk orang baru. Luka ini, biarlah menjadi hiasan di hati. Kelak, akan ku kenang ini sebagai pukulan hangat yang menyenangkanku.

Salam Literasi,

---------------------------

#Day23
#OneDayOnePOst30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Senin, 27 Mei 2019

Orang Tua dan Kepandaian Anak

Picture by : Pinterest
Pikiranku masih belum sepenuhnya terbebas. Aku masih saja menimbang satu per satu kata yang keluar dari mulutku sore tadi. Aku takut menyinggung mamak. Hampir saja aku salah mengucap, semoga mamak tetap berpikiran positif terhadapku.

"Dek Arin semalem dapet duit dari Pak Yai tha ndok?"

"Iyo mak. Hafalane pinter banget. Masyaallah"

"Owalah gimana ceritanya ndok?"

"Pak Yai nawarin bakal ngasih Rp 50.000,- ke anak-anak kecil yang berani ngafalin surat Al-Alaq. Aku mau maju sebenere, tapi udah terlanjur sadar umur. Haha"

"Wkwkwk. Terus ndok?"

"Terus Dek Arin maju, ngafalin, dapet duit deh"

"Mantep emang"

"Bapak ibuk e juga joss semua sih ya mak. Bapaknya dokter, ibunya bidan. Pantes nurun ke anaknya"

"Hubungane apa ndok?"

"Gen orang tua kan berpengaruh ke anak-anaknya mak"

"Lhah mamak ga pinter. Terus kamu berarti turunane siapa?"

Aku diam. Mengulang kembali perkataanku di dalam hati. Lalu aku linglung. Bingung harus menjawab pertanyaan mamak dengan kalimat apa. Sebenarnya aku merasa biasa saja. Tidak begitu pintar dan tidak juga sebaliknya. Bahkan aku merasa harus lebih belajar lagi tentang ilmu kehidupan. Tapi bagi mamak dan beberapa orang tidak. Dihadapan mereka aku dianggap beruntung memiliki kualitas berpikir yang cukup baik. Aku bersyukur atas ini. Tapi juga berulang kali berfikir bahwa aku tak sebaik yang mereka pikir.

"Ya beda kasus tha mak" jawabku sambil terus berfikir

"Beda gimana?" kata mamak memojokkanku

"Mamak pinter kok"

"Pinter dari mananya? Tukang nyari rumput kok dibilang pinter" kata mamak merendah

Aku hampir selalu kesusahan setiap bicara sama mamak. Takut salah ngomong dan akhirnya menyakiti. Kehidupan kami 180 derajat berbeda. Mamak dibesarkan dilingkungan perkampungan yang terpencil, kering, minim penerangan, pendidikannya terbatas, dan mayoritas hanya sibuk mengumpulkan kekayaan tanpa tahu akan dikemanakan. Dulu sebelum mamak memutuskan merantau ke ibu kota, mamak sekolah di salah satu sekolah dasar di ujung kampung sambil membantu kakek nenek mengurus ternak sapi dan kambing. Setiap pulang sekolah dia mencari rumput untuk makan ternak-ternak itu. Malamnya capek dan ketiduran. Ditambah minim penerangan menjadikan mamak malas belajar. Aku tidak sampai hati membayangkan berada diposisi mamak.

Tidak sepertiku yang sekarang ini. Aku tinggal di perkampungan yang sudah modern. Waktu memang cepat sekali berputar. Begitu juga dengan perubahan yang ada. Kehidupanku jauh lebih baik daripada yang mamak rasakan. Begitu banyak syukur ku haturkan kepada Allah yang Maha Segalanya. Terimakasih telah menjadikanku ada di tempatku yang sekarang ini Ya Rabb.

Sudah tidak ada lagi penerangan yang redup, pendidikan disini juga lebih berkembang dan meskipun tidak semua berpikiran terbuka terhadap pendidikan, setidaknya ada beberapa dari mereka yang berpikiran sama denganku. Aku harus berkembang, meski tidak terlalu jauh. Perubahan di dunia ini begitu pesat. Aku tidak sanggup membayangkan ketika sudah memiliki anak-anak dan kemudian aku buta akan perubahan ini lalu tidak bisa mengarahkan mereka dengan baik menuju masa depan. Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Orang tua adalah pewaris kecerdasan, terutama seorang ibu. Kromosom seorang ibu 2 kali lipat lebih banyak dari pada seorang ayah. Nah kromosom inilah yang mewariskan kecerdasan kepada sang anak. Pernah mendengar ungkapan Dian Sastro?

"Entah akan tetap berkarir atau menjadi ibu rumah tangga sekalipun, seorang wanita harusnya berpendidikan tinggi karena akan menjadi ibu. Ibu yang cerdas menghasilkan anak-anak yang cerdas"

Berpendidikan tinggi memang bukan satu-satunya cara menjadi cerdas. Bahkan ada banyak sarjana yang nyatanya hanya pandai di mata kuliah tapi lemah di lingkungan sosial atau malah sebaliknya. Pun tidak hanya di lembaga pendidikan saja, kita bisa belajar. Dengan lebih banyak membaca, lebih banyak besosialisasi dengan orang banyak juga merupakan cara belajar. Tapi minimal pendidikan memperlihatkanmu tentang pengalaman dan membuka pandangan secara lebih luas. Aku merasakannya, begitu banyak perbedaan. Dan ini yang membuat kita lebih bisa memposisikan diri.

Mamak memang tidak sepenuhnya menjadi madrasah pertamaku. Aku mengerti dengan keterbatasan yang beliau punya. Tapi mamak istimewa. Mamak berhasil memastikanku untuk tetap berada di lingkungan yang bisa mendukung perkembanganku terutama dalam hal belajar. Inilah salah satu kecerdasan milik mamak. Dulu setiap ada PR dan aku tidak bisa mengerjakan, mamak mengantarku ke tempat tetanggaku dan menemaniku mengerjakan PR itu sampai selesai meskipun dengan bantuan orang lain. Mamak juga memberikan dorongan semangat untukku supaya bisa mendapatkan nilai yang bagus dan kemudian melanjutkan ke sekolah yang menurutnya terbaik untukku bahkan sampai aku selesai menjadi seorang Ahli Madya sekarang ini. Doa mamak juga sepertinya tak pernah berhenti. Terimakasih mak.

"Setidaknya mamak bisa memastikan aku berkembang di lingkungan yang baik. Ini udah lebih cukup kok" kataku mencoba menenangkan

Tapi kemudian mamak pergi meninggalkan obrolan kita dengan seunting senyum. Aku tak mengerti arti senyumnya itu. Tapi aku berharap, aku tak salah mengucap. Jujur saja, membahas ini membuatku kebingungan. Tak seharusnya aku memulai perkataanku seperti itu.

Aku tahu tidak semua orang beruntung di segala hal. Tapi pasti ada satu. Termasuk aku. Aku terlahir di keluarga dengan pendidikan yang minim. Bapak dan Mamakku bahkan tidak berpendidikan tinggi. Tapi alhamdulillah, aku bisa sampai di Diploma III. Kuasa Allah memang Masyaallah. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung dunia dan akhirat.

Salam Literasi

----------------------------

#Day22
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Minggu, 26 Mei 2019

Gadis Kecil di Malam Itu

Semalam, gelap ku telisik dan ku terangi dengan sorot lampu scoopy yang ku tunggangi sampai ke tengah kota. Malam tadi bintang begitu setia menemani bulan yang bulatnya mulai tidak sempurna. Aku memacu diri ditemani udara yang dinginnya menusuk meski kain berlapis telah membalut tubuh lusuhku. Dan kemudian langkahku terhenti di kerumunan keramaian yang tetap saja membuatku merasa sepi. Aku bergabung bersamanya. Bersama pemandangan anak-anak kecil yang berlarian begitu bahagia di alun-alun kota sambil dipandang dan diperhatikan ayah ibunya. Bahagia sekali sepertinya. Tapi seperti teriris, lukaku sudah lebih abadi sebagai bekas. Aku menangis tanpa suara, meratap menyesali takdir yang tak pernah ku ingini. Aku berhenti sesekali. Berhenti menyesali apa-apa yang tak ku ingini. Sebentar saja, tapi kadang berulang. Setiap aku tahu diri, hatiku ramai mengucap syukur kepada Sang Ilahi.

Setidaknya aku masih diberikan nyawa. Setidaknya aku berhasil mendewasa meski jiwaku kadang mengerdil. Setidaknya malam tadi aku diberikan kesempatan untuk bisa berada disana, memandang apa saja yang ada dihadapan, juga mengucap syukur sebanyak-banyaknya. Tersadar tentang hakekat bahagia. Bahwa tak harus diri sendiri yang merasakannya melainkan dengan melihat orang lain mendapatkannya, hati sendiri juga bisa merasa bungah.

Semalam, aku duduk agak menepi di tengah alun-alun kota bersama wanita seumuranku. Kami bercerita tentang apa saja. Termasuk hari-hari yang telah berlalu, masa depan, menikah, dan kemudian menikmati kebersamaan bersama sampai maut memisahkan. Dia menceritakan mimpinya, aku juga. Tapi sedikit. Menyenangkan sekali menjadi pendengar setianya. Aku bahagia tapi sekaligus kebingungan. Ketidakmampuanku untuk melupakan ketakutanku, menjadikanku tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu kelam itu.

Anak kecil itu berlarian. Cantik, manis, dan sepertinya dia bahagia. Malam tadi, dia berhasil menghabiskan malamnya bersama bapak dan ibunya. Aku tersenyum, merayu hati agar mampu tersenyum atas kebahagiaannya. Tapi susah. Malah aku dihampiri rasa rindu. Kepada siapa? Aku kurang bisa menjawab. Tapi aku pikir, aku merindukan berada diposisi anak manis itu. Ada bagian dari hidupku yang kembali memasuki ruang-ruang kosong dipikiranku.

Entah kapan terakhir aku merasakannya. Rasanya sudah lama sekali. Tapi aku masih beruntung. Adikku malah tidak sempat. Tapi sebagai anak laki-laki, aku pikir dia lebih mampu tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya menangis. Tidak seperti diriku yang rapuh ini. Keinget sesuatu sedikit langsung baper, berubah mood, dan berujung menangis. Dasar aku, cengeng.

Menyaksikan anak-anak itu berlarian, aku termenung. Terdiam dalam sebuah lamunan yang menyesakkan. Seperti kembali ke masa 17 tahun sebelum ini, aku terbayang kembali menjadi seorang putri kecil yang berlarian jauh kemudian kembali ke pelukan mamak sambil disambut senyum bahagia bapak. Tapi tiba-tiba hujan turun. Aku berlari mencari sesuatu yang teduh. Temanku juga. Orang-orang juga, termasuk gadis kecil yang menjadi perhatianku semenjak dia berlari. Kami berebut, sama-sama ingin melindungi diri. Tapi aku, kehilangan gadis kecil itu. Padahal aku ingin menghampirinya. Aku ingin tahu namanya, ingin berjabat tangan dengannya dan kemudian membisikkan sesuatu yang manis padanya.

"Kamu beruntung dan semoga selalu beruntung.
 Tetaplah menjadi manis gadis kecil"


Aku juga ingin menyampaikan lusuh pikiran yang memenuhi pikiranku sebelum hujan membasahi kepada ayah dan ibunya.

"Putrimu cantik. Dia manis dengan senyum yang dimilikinya. Jangan dirusak ya. Jangan jadikan dia sepertiku"

Tapi hujan memporak-porandakkan rencanaku. Aku kehilangan mereka dan juga meninggalkan jasuke yang ku nikmati sedari tadi. Akhirnya temanku mengajakku pulang dan kebetulan hujan sudah reda. Dia bahkan tidak pamit. Persis seperti ingatan lusuh yang melintas dipikiranku malam tadi. Menyebalkan memang.

Dan laju motorku kembali membawaku bersama temanku menuju tempat kami pulang. Jalanan malam tadi remang-remang ditemani sorot lampu yang berjejer di tepian. Kami menikmati akhir kebersamaan kami malam tadi dengan hangat pembicaraan yang mengalahkan dingin udara yang berhembus dijalanan.

"Everything will be okay. Gadis kecil itu akan bahagia dengan ayah ibunya" katanya memulai

"Apa? Kamu bicara apa?" tanyaku terpojok

"Aku memperhatikan sorot matamu sedari tadi. Tidak usah mengelak. Aku tahu" katanya

"Emmhhhh aaaa hmmm"

"Apa? Gengsi mengakui?"

"Aku kan kangen" kataku sambil mewek

"Nah kan"

Air mataku luruh. Wajahku hampir semuanya basah. Apa yang ku tahan, tak bisa lagi tertahan. Tangisku pecah bersama dengan gerimis yang tiba-tiba turun menemani perjalanan kami. Dia menenanganku sambil menertawakan tingkahku yang menurutku memang sudah tidak pantas lagi. Tapi aku bisa apa? Semuanya datang dengan sendirinya. Tanpa ku minta. Tanpa dimulai dengan sapa. Jangan dihakimi. Tidak ada yang tahu bagaimana jadi aku kecuali aku. Tolong mengerti.

Selalu ada yang diam-diam memperhatikan. Entah kita sadari atau tidak. Entah kita terima atau tidak. Mari sama-sama belajar untuk menjadi yang mengerti. Akan selalu ada yang menggantikan apa-apa yang hilang darimu. Seperti dia orang-orang lama yang hilang dari hidupmu, terganti dengan orang baru yang mungkin bisa jadi lebih seru, lebih membahagiakan, dan lebih bisa memelukmu dari kemelut hidup yang menghampirimu.

Percaya padaku.

Salam Literasi

-------------------------

#Day21
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Sabtu, 25 Mei 2019

Wanita dan Keahlian Memasak

Kata orang-orang, wanita itu kudu bisa masak. Supaya kalau sudah berumah tangga suaminya betah di rumah katanya. Kata siapa entah. Aku tak begitu ingat. Terlalu banyak yang mengatakan seperti itu. Baiklah aku paham, tapi tidak semuanya ku benarkan. Memasak bukan hanya cara satu-satunya untuk membangun suasana nyaman bagi suami, anak-anak, dan semua anggota keluarga.

Restoran dan warung sekarang ada dimana-mana. Tinggal uangnya aja, ada atau enggak. Ibu-ibu di kantorku juga jarang masak, tapi rumah tangganya harmonis. Yang penting tiap suami dan anak-anaknya pulang dan ingin makan, di rumah sudah tersedia makanan. Ini yang seharusnya diperhatikan. Pintar memposisikan diri. Benar kan?

"Nggak bisa masak nggak papa yang penting bisa mijit"

"Suami tuh nyari istri, enggak nyari koki ya kan?"

Dan masih banyak lagi kata-kata yang terucap dari kami masing-masing. Lumayan lah, cukup untuk menenangkan hati. Setidaknya, aku tidak sendiri melakoni diri sebagai wanita yang belum pandai memasak. Tapi percayalah, aku pasti akan belajar memasak sampai jadi ahli. Insyaallah.

Semalam aku dan teman-teman kantor seusiaku mengadakan buka puasa bersama. Kami berunding berhari-hari dan akhirnya memutuskan untuk masak sendiri menu buka puasa yang akan kami nikmati sendiri. Kami berenam, perempuan semua, dan tidak ada yang benar-benar ahli masak. Istimewa, bukan? Aku pikir iya. Tapi jangan anggap kami ini tidak idaman. Ada sisi lain yang memaksa kami menjadi ahli, tapi belum dengan memasak. Mungkin setelah ini akan jadi ahli. Yang pasti setelah kami sering belajar dan saling menilai hasil masakan kami masing-masing.

Dan ini adalah hasil dari masak bersama kami sore tadi. Bening bayam, lele goreng, tempe goreng dan mendoan, sambel kecap dan sambel bawang, nasi, krupuk,  teh anget, dan es buah berhasil kami buat dengan proses yang cukup drama. Dari mulai caraku memotong labu untuk campuran sayur yang terlalu tipis, sampai rasanya yang kurang asin. Sebenarnya bukan pelit garam. Hanya saja, aku takut dikatain kebelet nikah gara-gara masak keasinan. Ahhh bukan, ini hanya alibi. Aku memang sering was-was ketika menakar garam dan gula ke masakan. Apalagi ditambah dengan tidak mencobanya setelah matang. Akhirnya mengira-mengira menjadi jalan satu-satunya. Meskipun memang rasanya masih kurang pas.

"Ketahuan banget nih. Amatiran" kataku menggerutu.

Sepertinya setiap pergerakanku hampir semuanya kena omel sama mereka. Apalah itu, aku terima sebagai pembelajaran hidup. Semoga di agenda masak selanjutnya aku bisa lebih baik lagi ya.

Drama kedua dilanjutkan saat menggoreng lele. Gorengan pertama agak gagal. Lele menempel dengan wajan yang kami pakai untuk menggoreng. Aku pikir, karena minyak goreng yang kami pakai kurang banyak, sedangkan lele yang kami masukkan terlalu banyak. Kemudian hasilnya agak sedikit hancur. Saking besarnya semangat yang kami punya, lele dipenggorengan kami bolak-balik sampai akhirnya kami memutuskan untuk meniriskannya diatas piring. Seharusnya lele kami biarkan dan sesekali kami balik ketika menggoreng. Baiklah, koreksi.

Drama ketiga dilanjutkan dengan tempe. Sebenarnya rasanya sudah pas. Aku hanya ingin menceritakan tentang keributan kami ketika hendak menggorengnya. Dimulai dari memastikan bumbu yang akan digunakan sampai bentuk tempe yang akan dipotong semuanya jadi masalah. Aku kesal, tapi sekaligus merasa lucu. Jadi keinget Mamak tiap masak di rumah. Mamak selalu keberatan setiap aku ingin membantunya di dapur ketika beliau memasak. Tapi anehnya Mamak selalu menggerutukan aku yang jarang sekali memasak. Pernah suatu ketika, Mamak masak botok pindang. Mamak memanggilku, meminta tolong padaku untuk memarut kelapa dan mengulek sambal. Setelahnya aku disuruh kembali, tapi aku enggan.

"Udah, sana nonton TV lagi aja ndok" katanya

"Enggak ah. Mau ngelarin ini aja" kataku

Mamak tetap keberatan. Katanya aku merepotkan dan hanya akan memperlama proses memasaknya siang itu.

"Lhah mau ngapain? Kan udah kelar" katanya memaksa

"Lhah ini belum kelar si mak. Lagian mamak nih ribet banget. Aku nggak bisa masak diomongin, giliran mau bantuin masak diusir-usir. Gimana sih mak mak?"

"Emang bisa ngelarin kamu?"

"Bisa lah. Ginian doang kali mak"

Mamak pergi meninggalkanku di dapur dengan segala proses dan bahan yang tersisa dihadapan. Agak bingung sebenarnya. Takut masakannya nggak jadi atau malah rasanya yang jadi nggak karuan.

"Ginian doang kecil kali mak. Ngeremehin aku banget nih. Nggak tahu apa, tiap mamak masak aku curi-curi nyari tahu resep sama cara masak. Dihhh sebel" kataku menggerutu

Tapi alhamdulillah botok pindang hasil dari kesombonganku jadi dengan rasa yang tidak terlalu buruk bagi ukuran pemula sepertiku. Rasanya senang. Aku jadi percaya kalau aku sebenarnya pandai memasak, hanya saja aku tidak mau sombong. Halah ven ven, pinter banget nenangin diri. Huahhhhh

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku memasak. Dulu pas masih jadi anak kos, aku sering masak di kos. Menjadi mahasiswa akhir, membuatku malas keluar kos dan lebih sering menyelesaikan revisian hasil dari bimbingan. Seminggu sekali aku pergi ke tempat tukang sayur dan membeli beberapa bahan masakan. Setiap lapar, aku pergi ke dapur memasak. Entah telur dadar, telur ceplok, mie rebus, mie goreng, tempe goreng, tahu goreng, sarden, nugget, atau bahkan sossis. Ini cukup membantu mengganjal perut, sampai ajakan keluar untuk makan datang dari teman-temanku.

Percaya aku hanya bisa memasak itu? Tidak. Tolong perluas pemikiranmu tentang aku. Kadang di kos, aku memasak sayur atau juga menumis sesuatu. Mengurus diri sendiri, aku tak pernah ingin ribet. Yang penting nasiku tak sendiri masuk ke perut. Satu macam menu masakan dengan nasi cukup untukku. Mengurus diri sendiri memang semudah ini. Yang penting kita bisa mengerti apa maunya diri.

Jadi ingat masakan pertama yang aku masak di kos. Waktu itu aku ingin membuat tumis tempe dicampur dengan beberapa sayuran. Aku pergi ke dapur kos, menyiapkan bahan dan alat memasak dan kemudian memulai memasak. Api kompor ternyata terlalu besar, akhirnya hasil masakanku gosong. Bergegas aku membereskan dapur dan membawa hasil masakanku ke dalam kamar. Aku memandangnya berulang. Begitu hitam dan pahit rasanya. Ingin ku buang, tapi jatah uangku sudah minim.

"Ya Allah, masakanku gosong dan pahit. Uang jatah makanku sudah kepotong untuk membuat ini. Tapi masa iya, aku makan ini" kataku meratap

Akhirnya hari itu aku makan nasi dengan masakan tumis tempe gosong buatanku. Aku bercerita kepada mamak dan teman-temanku. Jangan ditebak bagaimana setelah mendengar ceritaku. Tentu saja mereka menertawakanku dengan tega. Tapi aku beruntung, aku mendapat banyak saran untuk masak selanjutnya. Akhirnya hari setelahnya aku mencobanya lagi dengan api yang lebih kecil tentunya. Alhamdulillah, belum sepenuhnya sempurnya, tapi untuk ukuran pemula menurutku ini sudah lebih dari cukup. Aku senang sekali.

Dari memasak aku belajar banyak hal. Keikhlasan hati dan kemauan belajar dibutuhkan demi menyajikan sebuah hidangan yang tentu saja harus dibumbui oleh banyak cinta. Masakan adalah simbol dari kasih sayang.

Yang ingin ku sampaikan kepada wanita-wanita yang belum ahli memasak, jangan sedih. Jangan khawatir tak bisa menyenangkan suami karena tidak pandai memasak. Masih banyak cara yang bisa kita gunakan untuk menggantikan itu. Dan semua akan menjadi ahli, asal mau belajar. Kita sama kok, bahkan Mamakku juga begitu.

"Mamak dulu tuh orang yang paling malas masak di rumah. Tapi abis nikah, jadi pinter sendiri ndok. Ndok besok juga gitu. Yang penting mau belajar aja" kata Mamak

Tuh kan, dengerin. Yang penting kita mau belajar. Ok?

Salam Literasi.

-----------------------------------

#Day20
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Jumat, 24 Mei 2019

Sajak Tungguku Untuk Bapak

Picture by: Pinterest

Menghitam kulit tubuhnya
Tapi tidak dengan uban di kepala
Keriput raut wajahnya hilang
Tersangga oleh seunting senyum
Harapannya membesar
Ditemani kopi hitam kesukaannya
Diseduhkan penuh cinta
Oleh orang yang pernah dan mungkin masih dicintainya
Batas senja
Adalah saksi setiap cerita kita

Bapak kembali
Menghambakan diri di sepanjang hari
Langkahnya telah berhenti
Kini dia kembali pada hati yang pernah dibuatnya mati

Tapi angin ribut datang menerpa
Membuat batinku terkoyak hebat
Aku ingin lari
Jauh
Sampai tak ada lagi yang ku temui
Aku ingin sendiri
Mencari sepasang tanya beserta jawab
Yang lama ku cari
Yang tak kunjung ku temui

Begitu sulit
Tapi biarlah
Biar tangis yang menjadi saksi
Biar air mata ini membasahi pipi
Biar semesta mengerti
Bahwa yang mati sulit hidup kembali
Bahwa meski sembuh menjadi ujung dari segala luka
Bekasnya tetap ada
Diakui atau tidak

Bimbang diri menerima
Tapi menolakpun tak sanggup ku jalani
Aku tidak ingin lagi
Ditinggalkan sendiri di jurang keterpurukan
Diduakan dengan hati yang tak pernah aku inginkan

Tapi aku siapa?
Aku bukan siapa-siapa
Hanya cucu hawa
Yang beruntung didekap nyawa hingga waktuku dewasa
Hanya seorang anak yang satu-satunya dipunyai Bapak
Ya aku adalah putri Bapakku
Dan Bapak akan selamamnya menjadi Bapak

Lelaki itu
Bentuk cinta tanpa bicaraku
Bekas luka abadi yg tertancap di dadaku
Sekaligus narasi cinta abadi di kehidupanku
Berdamai dengan takdir diri
Aku tak akan menghakimi lagi
Aku berhenti
Aku menyerah pada takdir diri
Berulang kali aku mengetuk
Berulang kali aku kembali
Berulang kali aku memohon
Berulang kalipun aku ditolak
Dan sampai pada ketukan ke berapa entah
Aku berhasil
Pintu hatiku terbuka
Aku menerima

Mungkin karena masih ada cinta
Dan mungkin ini adalah jalannya

Aku mencintai Bapak
Aku mencintaimu pahlawan hidupku
Engkaulah penanggung jawabku
Semoga surga Firdaus menjadi hadiah terbaikmu kelak

Bapak
Adalah satu terbaik yang ku miliki
Meski jarak membentang
Meski waktu dengan jahatnya memisahkan
Suaranya tetap menjadi sesuatu yang ku rindu
Kusut wajahnya tetap menjadi sesuatu yang ku tatap dari jauh
Nasehatnya tetap menjadi sesuatu yang ku tunggu

Kopi Bapak sudah dingin
Tapi Bapak masih saja menikmati seduhan
Mungkin ini cara Bapak menunggu masa-masa penghabisan
Hingga garis takdir benar membawanya benar menghilang

Seperti kopi
Seperti ini yang aku jalani
Menikmati dunia dalam cangkir kehidupan
Menunggu sebuah masa kepergian
Hingga aku, Bapak, atau orang-orang yang ku sayangi benar pergi menghilang

Seperti Bapak
Aku juga sedang menikmati kopi
Menikmati seduhannya di batas senja bersama Bapak
Enak
Mungkin karena ada Bapak disini
Kataku sambil menyeruput kopiku
Tapi sayang
Tidak ada pelukan
Hanya ditemani ocehan 
Ahh tapi tidak apa apa
Tetap manis

Bayang bayangku menerka


(Kudus, Mei 2019)

----------------------------------

#Day19
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Kamis, 23 Mei 2019

Aku Ingin di Cintai Seperti Ini

Aku tak pernah tahu bagaimana hati ini akan terpaut, kepada siapa akhirnya cintaku ini ku serahkan, juga dimana dan kapan perasaan ini mendarat. Aku hanya terus menimbun harap, memanjatkan doa-doa yang bahkan menurutku ini mustahil bisa terjadi. Kata pak Ustad, jangan tanggung dalam berdoa. Mintalah dengan doa yang paling terbaik yang pernah kita inginkan. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa-doa hamba-Nya.

Harapku tak pernah mati. Terpanjat satu per satu lewat bibirku yang enggan berhenti bergeming. Merapal ingin yang entah sampai kapan menjadi nyata. Aku percaya waktu dan tempat juga bersama siapa aku akan dipertemukan adalah ketentuan yang terbaik yang telah dipersiapkan-Nya untukku.
Kelak ketika waktu itu menemui masanya, aku berharap dia yang ku temui adalah dia yang benar aku idam-idamkan selama ini. Dia yang akan menggenapi separuh agamaku, yang akan menggandengku sampai ke Jannah-Nya. Sungguh ada banyak hal yang ingin aku sampaikan kepada-Nya setelah pertemuan itu terjadi.

Aku ingin dijadikannya sebagai satu-satunya rumah. Oh tidak maksudku rumah kedua setelah ibunya yang notabene adalah ibu mertuaku. Aku tak mungkin mengambilnya dari wanita mulia yang telah mengorbankan apapun untuknya sampai pada pertemuanku dengannya terjadi. Aku ingin tetap menjadikannya taat kepada ibunya. Semoga kelak kedua mertuaku adalah kedua orang tua yang mampu berkasih sayang denganku juga anak-anakku seperti ketika aku berkasih sayang dengan kedua orang tuaku. Begitupun sebaliknya. Semoga Allah bukan hanya mempersatukan aku dengan dia melainkan menyatukan juga kedua keluarga besar kami. Oh Allah, aku sangat ingin hidup bahagia dikelilingi orang-orang yang aku sayangi. Semoga Engkau berkenan memberikannya untuk hamba-Mu yang banyak ingin ini.

Aku ingin menjadi sebaik-baiknya rumah. Tempat ternyaman untuk siapa saja yang pulang kepadaku terkhususkan untuk dia. Tapi ini tidak mudah. Aku tidak bisa mewujudkan ini tanpa bantuan darinya. Maksudku aku butuh sudi untuk menjadi dan aku butuh dia untuk mau membantuku mewujudkan ini sampai benar-benar menjadi nyata.

Aku ingin selalu menyambutnya pulang dengan seunting senyum atau sambil membawakan segelas teh hangat untuknya. Ingin mendengarkan hal apa saja yang telah dilaluinya di hari itu. Aku ingin menjadi yang berhasil menenangkannya disaat kemelut kekhawatiran mulai menghampirinya dan berbisik lembut "Semua akan baik-baik saja sayang. Allah tahu apa yang terbaik untuk kita". Aku juga ingin menceritakan apa saja yang aku lalui hari itu sebelum kedua mata kita saling terpejam dan menjalani mimpi indah di tidur kita masing-masing. Tak apa kalau ternyata disaat mendengarkanku dia tak sengaja terlelap. Aku tau bagaimana lelah yang diembannya setiap hari. Esok setelah kedua mata kita kembali terbuka, aku ingin menjadi yang pertama kali disapanya. Entah lewat kecup mesra, atau panggilan sayang, bahkan tingkah usil yang akan menjadi ciri khasnya. Aku hanya peduli keinginanku untuk menjadi yang pertama (setelah ibunya). Sederhana bukan? 

Kemudian aku ingin selalu dicintainya dengan banyak hal menyebalkan yang aku punya. Aku ingin dicintai, bukan hanya ragaku. Melainkan juga pikiran, kepribadian, juga apapun yang aku punya. Aku ingin menjadi sebebas-bebasnya diri. Ingin tetap menjadi diri sendiri, meski perubahan menghadangku di hadapan. Tenang saja, aku tak akan lari dari tanggung jawabku menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anakku. Aku berharap dia adalah jalanku untuk bisa sampai kepada apa yang belum bisa aku raih sebelumnya. Dan disisa umurku setelah bertemu dengannya aku tidak ingin dikekang. Aku ingin tetap leluasa bergerak menjadi apa saja selama itu baik sampai Allah benar-benar mengakhirkan waktuku di dunia ini. Aku sudah membayangkan berapa bahagianya sisa hidupku nantinya ketika aku sudah benar-benar menemukannya.

Aku ingin dicintainya dengan caranya. Dengan dia yang apa adanya menjadi dia. Semoga dia adalah lelaki utusan Allah yang bisa menjadi obat dari setiap kemelut kehidupan yang memelukku. Semoga akupun mampu memahami dan mengerti cara terbaik yang dia punya untuk mencintaiku. Doakan kami teman.

Dan ada deretan ingin lain yang ingin kusampaikan langsung kepadanya. Semoga dia bisa mewujudkan satu per satu dari inginku dan semoga aku tak menyampaikan lagi banyak ingin yang mungkin bisa sj menjadikan dia terbebani. Aku sedang mencoba sadar diri dan semoga berhasil.

Akhirnya aku tersadar bahwa untuk sampai kepada ingin yang ku susun rapi menjadi puluhan baris yang kalian baca ini, aku hanya harus menjadikan diriku layak dan siap. Dan biarlah ini menjadi urusanku dengan diriku dan siapa yang akan diutus Allah untuk mendampingiku. Kalian, cukuplah doakan aku dan semoga doa baik kalian melangit dan kembali ke diri kalian masing-masing.

Salam Literasi. 

---------------------------

#Day18
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Selasa, 21 Mei 2019

Ada Apa dengan Indonesiaku?

Nafasku masih terengah. Pintu ruangan kantorku baru saja ku buka. Kebetulan sudah ada Hani. Padahal biasanya dia berangkat lebih siang dariku. Atau malah aku yang kesiangan. Oke baiklah, terserah.

Pagi ini aku hampir telat berangkat ke kantor. Dari semenjak bangun aku asyik menyimak bahasan yang rakyat Indonesia sedang hebohkan akhir-akhir ini. Twitter menjadi satu-satunya yang paling lama aku simak. Subhanallah, betapa miris hati ini melihat satu sama lain saling hujat hanya karena hal-hal yang menurutku terlalu sayang untuk diributkan.

Aku tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Politik memang benar-benar membuatku muak. Terlalu banyak hal yang menurutku tak seharusnya mereka lakukan. Sama sekali tidak dewasa. Halah malah bahas dewasa. Bahkan setua inipun aku tak pernah benar-benar menjadi dewasa. Susah. Tapi aku tetep belajar. Tolong bantu doa ya. Jangan malah dihakimi. Cukup mereka aja yang kayak gitu. Kita jangan. Berat cahhh. Nah kan, malah tambah ngelantur.

Oke, mari kembali ke laptop. Sebenarnya aku tak ingin membicarakan apapun tentang ini. Sungguh tak pernah ada ujungnya. Buang-buang waktu. Tapi hati semakin geram membaca dan menyimak rentetan berita tentang politik di negeri tercinta ini. Rasanya aku ingin mengajak siapapun yang benar-benar tahu tentang ini untuk duduk bersama sambil ngopi di angkringan dan menikmati pergantian senja hari ini. Aku ingin bertanya bagaimana kronologi cerita yang sebenarnya. Aku ingin juga berbagi pendapat dengan mereka. Agar pikiranku ini tak sesempit yang sekarang ini. Aku terlalu menutup diri dalam hal ini. Hidupku sudah terlalu rumit. Sungguh tak ingin lagi ku tambah dengan hal-hal yang tak ku tahu kebenarannya. Kecuali perihal bahasan nggibah yang gemar kami lakukan. Ah tapi tidak, tidak separah itu juga.

Aku tak pernah mengerti dengan pikiran orang-orang diluaran. Susah ditebak. Sukanya pake sudut pandangnya sendiri. Aku juga sering begini, tapi lama-lama capek. Lagi-lagi, aku masih belajar untuk bisa menjadi lebih baik. Sekali lagi, doakan aku dan jangan dihakimi. Kalau menurutmu belum berhasil, biarkan aku menikmati ini sebagai proses.

Polemik politik di Indonesia tak pernah padam. Semenjak penentuan 2 kandidat calon presiden terpilih, pendukung 2 kubu itu berlomba-lomba mengagung-agungkan paslon kebanggaanya. Oke aku masih biasa saja. Hal seperti ini sudah menjadi hal yang biasa ada dipemilu, pilkada, dan sejenisnya. Tapi haruskah diantara kita saling menjatuhkan satu sama lain? Dari sekian banyak cuitan yang terbaca dan terlihat olehku, hampir semuanya berujung saling menjatuhkan. Dan lagi bukan hakku untuk meminta mereka berhenti melakukan ini.

Dan berlanjut ke hari H pelaksanaan pemilu yang bikin trauma berat. Rasanya aku tak ingin menjadi anggota KPPS. Capeknya Subhanallah. Tapi alhamdulillah masih sehat sampai sekarang. Turut berduka cita untuk pahlawan demokrasi yang gugur setelah pelaksanaan pemilu. Semoga Allah menerima segala amal, mengampuni segala dosa, mengindahkan alam kubur, dan menempatkan anda semua di tempat yang terbaik di sisi-Nya.

Tahun ini tahun pertamaku menjadi anggota KPPS. Jujur aku tak pernah berfikiran untuk menjadi anggota KPPS. Tapi Maha Baik Allah yang telah mengirimkan salah satu tetanggaku untuk menawariku menjadi salah satu dari anggotanya. Aku menerima tawarannya dan menjalankan tugas pertamaku sebagai seorang anggota KPPS. Sepintas terlihat hanya sekedar menulis ini itu, tapi coba kalian benar-benar terjun ke lapangan. Subhanallah, capek buk. Bayangin berapa lembar kertas suara yang harus kami tulis satu per satu. Bayangin berapa waktu yang harus kita korbankan untuk melakukan perhitungan, antri fotocopy form, sampai melengkapi semua persyaratan yang ada dengan sosialisasi yang begitu minim. Belum diributin saksi-saksi partai dan sejenisnya yang kadang kurang pengertian. Jangankan mandi, makanpun baru malam hari. Kami berpikir satu, ingin secepatnya selesai, kemudian merebahkan badan, dan hidup normal kembali.

Tapi masih ada yang tega bilang "cuma sekedar nulas nulis doang mah gampang". Hei, tidak segampang itu Maemunah". Aku aja ga yakin kamu bakalan kuat nulisin form segitu banyaknya sendirian. Ga usah ngomongin partner, aku ga pengen bahas ini ya. Jujur aku ga rela, capekku dinilai dengan kata "cuma", sekalipun yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah. Bahkan anggota KPPS yang notabennya ada di tingkatan paling bawah dari panitia pesta demokrasi ini juga menjadi bagian penting. Coba bayangkan jika tidak ada kami, apa tidak menjadi hal yang merepotkan untuk tingkatan panitia pemilu di atas kami? Mungkin ada hal yang belum aku mengerti dari apa yang mereka bicarakan. Tapi tidak bisakah mereka menyampaikan dengan kata-kata yang lebih tidak menyinggung kami?

Dan sekarang, setelah hasil pemilu diumumkan di demo besar-besaran. Bahkan ada yang minta dilakukan pemilu ulang. Sedangkan mereka tau, bagaimana rumitnya melakukan serentetan pesta demokrasi yang setiap hari menimbulkan hujatan di hadapan rakyat. Juga dengan banyaknya pahlawan demokrasi yang gugur setelahnya. Tolong, bagi yang tahu saja. Tolong berikan aku pencerahan tentang ini. Agar sudut pandangku meluas dan tak menganggap kalian yang sering perang kata-kata itu jahat.

Dan sekarang ada demo besar-besaran setelah pengumuman pemilu? Apalagi yang membuat mereka bertindak seperti itu? Tolong aku lagi, jelaskan juga kepadaku apa motif di balik semua ini. Aku sama sekali tak habis pikir dengan semua yang terjadi. Sungguh terlalu banyak rakyat yang dirugikan daripada mereka yang merasa dirugikan kemudian menjadi massa demo dan merusak semuanya. Dan bagi kalian semua yang ingin berjihad, kenapa harus lewat ini. Bukankah masih banyak lagi cara jihad yang lebih bersahabat dan lebih merangkul semua pihak? Lagi-lagi aku bukan siapa-siapa yang bisa meminta mereka untuk menghentikan kerusakan ini.

Jangan sampai hanya karena materi kita semua jadi buta dan membenarkan apa-apa yang salah. Pun jangan membawa embel-embel agama untuk menghalalkan apa yang kita mau. Islam itu damai sayang. Bukan anarkis seperti yang kalian lakukan ini. Bukankah semua bisa dikomunikasikan dengan baik? Aku pikir bisa. Tapi kembali kepada kita mau bersabar atau tidak.

Aku tidak tahu mana yang lebih baik. 01 atau 02 bagiku sama saja. Sama-sama akan memegang amanah bukan? Tapi tidak semuanya bisa mempercayai. Pun tidak ada yang bisa membatasi. Sekarang kembali lagi pada diri sendiri. Lakukan apa yang baik menurutmu. Dan jangan lupa untuk menjadi baik dan menjaga semua agar tetap menjadi baik. 

"Waktu kita (semoga) masih lama sayang , tidakkah kau ingin menghabiskannya dengan berkasih sayang denganku dan juga dengan semua yang berkaitan dengan Indonesia?"

Aku mohon hentikan. Hujatan, cacian, hinaan, dan apa saja yang sedang tidak sejalan denganmu, simpan. Jangan membuat kegilaanmu itu menjadi penyakit yang berhasil menguasai hatimu. Aku menyayangimu saudaraku. Tolong, pikirkan lagi.

Semoga ricuh yang masih berlangsung segera berakhir. Semoga yang belum rela segera terbuka pintu hati dan pikirannya. Semoga hasil yang telah ada adalah keputusan yang terbaik untuk kita semua. Allah tahu apa yang kita butuh sayang, Bismillahirrahmanirrahim inilah jalannya.

Dan selamat memegang amanah Bapak Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Semoga amanah sampai akhir dan semoga Allah senantiasa meridhoi langkah-langkah yang anda ambil. Allah Yuftah Alaikum bapak. Semangat.

Salam Literasi

-------------------------

#Day 17
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30RamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Kisah di 1/3 Malam Terakhirku

Semalam, ponsel ku berdering sekitar pukul 03.00 WIB. Entah lebih atau bahkan kurang, aku tidak terlalu memperhatikan. Bagiku waktu tengah malam seperti ini adalah waktu ternyaman untuk melelapkan diri.

Aku menerima panggilan masuk dari siapa entah. Tanganku mencari-cari ponsel yang ku letakkan entah dimana. Sepertinya semalam aku ketiduran. Bahkan sepertinya aku tak sempat membersihkan wajah dan badanku. Begitu sampai di dalam kamar, aku merebahkan badanku sambil mengecek isi ponselku sampai akhirnya ketiduran. Aku terlalu menyerah dengan rutinitas yang ku jalani seharian. Sangat melelahkan.

Tapi tidurku tak berangsur lama. Suara dering ponsel itu membangunkanku. Ada utusan Allah yang menyambangiku lewat suara sebagai jembatan pertemuanku dengan-Nya. Tidak lama, tapi ini cukup bermakna.

Dia baru saja berbisik. Kau tau? Dia baru saja berbisik kepadaku. Aku telah mendengarnya, dia telah mengatakannya. Kuberitahu kau perihal sesuatu itu. Dan inilah kisahku.

"Assalamualaikum Beb" katanya sebagai sapa pertama.

"Waalaikumsalam Warahmatullah Wabaraktuh" jawabku.

"Beb"

"Hmmmm" (sambil ngulet berkelanjutan)

"Bangun beb"

"Hmmm" (masih ngulet berkelanjutan)

"Beb, bangun"

"Iyaaaa" (masih saja ngulet berkelanjutan)

"Beb, kamu belum bangun?"

Kantukku benar-benar tak tertahan. Rasanya baru saja beberapa menit yang lalu mataku terpejam. Oh waktu kenapa berputar secepat ini? Aku masih sangat ingin terlelap dan mengistirahatkan semuanya untuk sementara waktu.

"Hmmm" (aku mulai membuka mata)

"Bangun sayang muahh muahh muahh" (nyium berulang sampe aku beneran bangun)

"Beb" kataku mencoba menghentikan

Dia berhasil mengusir kantukku dengan caranya yang bagiku entah tapi cukup bermakna. Dia membuat malamku indah. Membuat mekar hatiku dengan kecup mesranya. Aku basah. Tenggelam dalam obrolan yang dipisahkan jarak. Oh waktu, kali ini lambanlah berputar. Aku ingin berlama-lama dengan dialogku bersamanya.

Bahkan kantuk yang semula ku rasakan seketika hilang. Lelahku lari meninggalkan. Mataku mendadak beradu dengan terang lampu yang baru saja ku nyalakan. Setelahnya aku terduduk di tepi tempat tidurku dan melanjutkan obrolan itu. Sehebat ini kekuatan cinta. Ah cinta. Bahkan selama ini aku juga tidak terlalu paham dengan apa yang orang-orang sebut dengan kata cinta.

"Hmm" (sambil masih nyium jauh)

"Kamu ngapain?" kataku keheranan.

"Lagi nyium kamu dari jauh dong beb"

"Idihhh, ngapain coba?"

"Biar kamu cepet bangun"

"Ohh, harus gini emang?" (nyengir nyengir sendiri)

Bahkan belum pernah ada yang membangunkanku dengan cara seindah ini. Dia istimewa dan memperlakukanku dengan sangat istimewa. Aku beruntung bisa dipertemukan dengannya. Oh Tuan, tak bisakah kau benar ada dihadapanku?

"Iya dong. Harus"

"Ya ya ya"

"Besok kalo beneran dah halal, aku ga bakal ngebangunin kamu lewat banyak hal ya beb"

"Lhah kok, terus?"

"Cukup satu"

"What?"

"Mau ku ciumin aja sampe kamu beneran bangun, terus lanjut madep Gusti Allah bareng-bareng deh"

"Gitu ya?" (Diem aja sambil bengong sambil ngayal)

"Udah cepetan bangun, keburu subuh"

"Siap tuan"

(Sampai jumpa lagi dipertemuan selanjutnya)" bisikku kepadanya lewat angin. 

Bahkan berkata seperti itu secara langsungpun aku belum berani. Oh lisan, apa lagi yang membuatmu tertahan? Padahal hati terus saja mendorongmu. Lalu kurang apa lagi? Entahlah, aku takut menyampaikannya. Jangankan kepadanya, kepada bapak mamak juga aku merasa canggung.

Dan kemudian aku bergegas meninggalkan ponselku di atas tempat tidurku setelah dia menutup panggilannya. Sholat malamku semalam terasa sangat membahagiakan. Ada banyak munajat dan rasa syukur yang ku panjatkan kepada-Nya. Tuan benar. Waktu berharga seperti ini memang tak seharusnya aku tinggalkan meski rasa lelah memeluk dengan sangat erat. Pagi hariku sampai malam menjelang tidur lebih banyak ku habiskan untuk urusan dunia. Begitu meruginya aku ketika harus juga ku tinggalkan waktu 1/4 malam terakhir yang ada. Sungguh, aku tak ingin lagi melakukannya. 

"Duhai Allah, mampukan aku untuk bisa istiqomah dalam menjaga pertemuanku dengan-Mu"

Dan kenal saja dia sebagai seorang lelaki. Tidak usah ku beritahu namanya. Bukan rahasia, hanya saja aku merasa ini tidak begitu penting untukku. Aku lebih suka memanggilnya Tuan. Kalian, terserah mau memanggilnya dengan sebutan apa. Aku hanya ingin memberitahu kepada kalian. Dia hebat, tampan dan kaya lahir batinnya. Doakan aku ya, semoga dia segera datang dan meminangku untuk dijadikan sebagai istrinya. Terimakasih teman.

Salam Literasi

----------------------

#Day 16
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Senin, 20 Mei 2019

Kesempatan Kedua

Picture by : Veni Veronika
Nafasku terengah. Degup jantungku membuncah tak beraturan. Pikiranku melayang. Baru saja mataku terbuka. Seperti nyata, tapi ternyata hanya sebuah mimpi. Atau ini kenyataan yang seperti mimpi. Tapi terserah. Apapun itu, aku bersyukur bisa menuliskan kisahku kembali setelah dipeluk ketakutan seharian.

Tadi pagi aku terbangun. Tak lupa mengucap syukur atas kesempatan yang ada kemudian menyelami mimpi yang baru saja menghampiri. Rasanya aneh. Entah apa, aku sendiri tidak begitu paham. Tahuku cuma satu. Dimimpi itu aku berada di atas dipan, terbujur kaku terbungkus kain kafan sambil di kelilingi orang banyak. Aku mati, menangisi diri sendiri dan kemudian akhirnya kembali di kehidupan ini. Aneh bukan? Tapi apapun itu, aku lebih menganggap ini sebagai sebuah teguran dari Allah untukku.

Sebelum itu aku ketiduran, tidak sempat berdoa dan mukena pun masih hangat menyelimutiku sampai akhirnya aku terbangun. Sepertinya, tidurku sangat nyenyak sampai didatangi mimpi yang membuatku ketakutan. Dan seperti inilah kisahku.

Aku pergi bersama teman kantorku. Kami bertiga seperti biasa. Kami menuju ke sebuah tempat. Tepatnya apa, aku lupa. Tapi kemudian kami pulang dengan masing-masing sepeda motor yang kami kendarai. Setelah lama berunding, akhirnya kami memilih jalan yang biasa kami lalui. Tapi entah kenapa, kami tersesat di sebuah perkampungan yang penduduknya aneh. Memandang saja sinis. Seperti memandang hidangan ayam goreng yang enak untuk dinikmati. Kami saling menatap, berpikir akan berakhir sebagai korban seperti di media massa beritakan. Akhirnya kami melarikan diri. Dengan masih mengendarai sepeda motor kami masing-masing, kami berpencar mencari jalan sendiri-sendiri untuk mengamankan diri.

Tapi entah kenapa, tiba-tiba aku meyusuri jalanan dengan cara merayap dan merangkak. Sepeda motorku entah kemana, aku tidak terlalu peduli juga. Annisa dan Hani? Entah, aku juga tidak terlalu memikirkan mereka. Peduliku hanya menyelamatkan diri sendiri saja. Egois memang, tapi beginilah isi mimpiku. Dan aku sudah sampai di depan rumah tetanggaku. Jaraknya sekitar 3 rumah dari rumahku. Tapi banyak orang di rumahku. Aku tidak tahu sedang ada acara apa, tapi salah satu dari tetanggaku menyambangiku dan mengatakan "Sabar ya nduk, kamu udah meninggal dan jenazahmu sudah ada di rumah". Lemas seluruh badanku mendengar pernyataan itu. Aku pandangi satu per satu tamu yang datang melayat. Wajahnya semu semu menyampaikan bela sungkawa kepada mamak dan saudara-saudaraku.

Dan aneh, Annisa tiba-tiba ada disampingku dan kemudian kami berdua saling berbisik.

"Aku dah mati" kataku menyesal

"Iya, kecelakaan. Aku juga" katanya menenangkan

"Lhah, kok kamu disini?" kataku keheranan

"Iya, tapi jasadku udah dibawa ibuk ke Temanggung" katanya

"Terus Hani?"

"Sama, dia juga mati kecelakaan"

Seperti tidak percaya, tapi kehadiran Annisa membuatku merasa tidak sendiri. Kami menyalami tamu yang datang dari depan rumah tetanggaku sampai masuk ke dalam rumahku. Dan sampailah pada keadaan dimana aku dihadapkan dengan jasad ku sendiri. Rasanya seperti mimpi, tapi kami benar-benar berhadapan. Aku tidak sanggup berada didekatnya dan kemudian pergi keluar. Tapi tidak dengan Annisa. Dia membuka penutup wajahku. Melihat wajahku yang rada hancur akibat kecelakaan. Aku menjauh, melihatnya dari jauh.

"Tega amat liat jasad temen sendiri. Padahal aku yakin, melihat jasad sendiripun dia tak akan mampu. Dasar Annisa, udah mati aja masih songong" kataku menggerutu

Setelahnya dia kembali menghampiriku. Kami tidak menangis, hanya saling menenangkan dan saling meratap. Jangan tanyakan bagaimana kelanjutan cerita tentang Hani. Dia malah tidak muncul lagi dimimpiku setelah itu. Mungkin dia sudah lebih dulu selesai disemayamkan di pemakaman dekat rumahnya. Aku bahkan tidak menanyakan ini kepada siapapun, kecuali kepada diriku sendiri.

"Ga nyangka ya, ternyata kita udah mati" kata Annisa sambil memandang jasadku dari kejahuan

"Dih kenapa waktu bisa secepet ini si?" kataku melanjutkan penyesalan

"Udah diterima aja" katanya pasrah

"Hei mimpiku masih banyak. Aku masih belum jadi penulis, belum punya suami, belum punya anak, belum jadi ke Makkah, keliling Indonesia. Amalku juga belum cukup. Gimana ntar pas ditanya malaikat? Emang kamu udah siap jawab hah?" 

"Belum juga si"

Kami pasrah. Dan setelah itu benar-benar tinggal berdua saja. Tamu-tamu dan jasadku yang semula ada, hilang entah kemana. Semakin ketakutan, aku memohon. Meminta apapun sambil menangis kepada Allah yang Maha Segalanya.

"Ya Allah, tolong kasih kesempatan ke kami lagi. Ijinin kami meraih mimpi-mimpi kami. Ijinin kami biar jadi hamba-Mu yang lebih baik dan lebih taat lagi kepada-Mu. Ijinin kami biar jadi anak yang lebih berbakti lagi sama Bapak Ibu kami. Ijinin kami hidup lagi Ya Allah. Tolong"

Aku benar-benar ketakutan. Takut benar-benar tak bisa kembali lagi ke dunia. Selain masih banyak sederet mimpi yang belum berhasil ku capai, hal yang lebih penting daripada itu adalah amalku masih belum cukup untuk bisa mempertanggung jawabkan semuanya kepada Allah. Hidupku masih sangat kacau. Jalan hidupku masih sangat berliku dan aku masih menjadi manusia yang banyak tak tahu dirinya.

Dan melihat lagi orang-orang yang berlalu lalang datang dan pergi di sekitaranku, membuatku sangat iri. Betapa tidak? Mereka masih bisa berdialog ini itu, sedang aku. Sebentar lagi hanya bisa sendiri dan menggerutu seorang diri. Akan berteman dengan siapa entah. Terlalu banyak yang aku khawatirkan, terlalu banyak yang membuatku ketakutan. Termasuk berpisah dengan orang-orang tersayangku. Mamak, Bapak, Enang, saudara-saudara, teman-teman, orang-orang baru, dan siapa saja. Oh, perpisahan memang sesuatu yang menyedihkan. Aku benar-benar ingin lari.

Sampai akhirnya aku kembali membuka mataku. Terbangun dari mimpi yang membuatku terengah-engah setelahnya. Kemudian aku duduk di tepi tempat tidurku dan menyadarkan diri. Alhamdulillah ternyata yang ku alami hanyalah sebuah mimpi. Aku mendengar suara mamak dari luar kamar, aku mendengar suara kokok ayam lagi. Aku bisa berlarian memandangi satu per satu ruangan yang ada di rumahku. Aku masih hidup. Jiwaku masih bersatu dengan ragaku.

Tangisku pecah. Mengucap banyak terimakasih kepada Allah yang Maha Segalanya. Tapi ketakutan yang ada masih tak ingin lepas dariku. Sampai sekarang, masih terbayang olehku bagaimana ketika aku memandang jasadku sendiri dihadapan. Dan di kesempatan yang kedua ini, aku ingin mengatakan kepada kalian sekaligus mengingatkan diriku sendiri bahwa

“Tidak ada yang tahu kapan mati itu datang. Jadi selama waktu itu masih ada, menjadi baiklah. Jadikanlah dirimu taat kepada Allah. Upayakanlah apapun yang menjadi mimpimu dengan sebaik-baiknya. Sayangilah dirimu dan orang-orang yang ada disekitarmu dengan baik. Jangan melakukan apapun yang bisa membuatmu menyesal. Agar ketika mati itu telah tiba, kita bisa sama-sama bahagia dan rela mendapatkannya. Kesempatan tak selamanya datang dua kali. Jadi selama masih diberikan ruang, mari saling mengingatkan dan sama-sama menjadi baik”

Selamat pagi dan semoga ceritaku ini menginspirasi. Maklumin ya kalo agak belibet. Maklum, jalan cerita mimpi kan emang ga selamanya nyambung. Hehe

Salam literasi.

Dariku yang baru saja terbangun dari mimpi,
Veni Veronika


#Day15
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....