Semalam, gelap ku telisik dan ku terangi dengan sorot lampu scoopy yang ku tunggangi sampai ke tengah kota. Malam tadi bintang begitu setia menemani bulan yang bulatnya mulai tidak sempurna. Aku memacu diri ditemani udara yang dinginnya menusuk meski kain berlapis telah membalut tubuh lusuhku. Dan kemudian langkahku terhenti di kerumunan keramaian yang tetap saja membuatku merasa sepi. Aku bergabung bersamanya. Bersama pemandangan anak-anak kecil yang berlarian begitu bahagia di alun-alun kota sambil dipandang dan diperhatikan ayah ibunya. Bahagia sekali sepertinya. Tapi seperti teriris, lukaku sudah lebih abadi sebagai bekas. Aku menangis tanpa suara, meratap menyesali takdir yang tak pernah ku ingini. Aku berhenti sesekali. Berhenti menyesali apa-apa yang tak ku ingini. Sebentar saja, tapi kadang berulang. Setiap aku tahu diri, hatiku ramai mengucap syukur kepada Sang Ilahi.
Setidaknya aku masih diberikan nyawa. Setidaknya aku berhasil mendewasa meski jiwaku kadang mengerdil. Setidaknya malam tadi aku diberikan kesempatan untuk bisa berada disana, memandang apa saja yang ada dihadapan, juga mengucap syukur sebanyak-banyaknya. Tersadar tentang hakekat bahagia. Bahwa tak harus diri sendiri yang merasakannya melainkan dengan melihat orang lain mendapatkannya, hati sendiri juga bisa merasa bungah.
Semalam, aku duduk agak menepi di tengah alun-alun kota bersama wanita seumuranku. Kami bercerita tentang apa saja. Termasuk hari-hari yang telah berlalu, masa depan, menikah, dan kemudian menikmati kebersamaan bersama sampai maut memisahkan. Dia menceritakan mimpinya, aku juga. Tapi sedikit. Menyenangkan sekali menjadi pendengar setianya. Aku bahagia tapi sekaligus kebingungan. Ketidakmampuanku untuk melupakan ketakutanku, menjadikanku tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu kelam itu.
Anak kecil itu berlarian. Cantik, manis, dan sepertinya dia bahagia. Malam tadi, dia berhasil menghabiskan malamnya bersama bapak dan ibunya. Aku tersenyum, merayu hati agar mampu tersenyum atas kebahagiaannya. Tapi susah. Malah aku dihampiri rasa rindu. Kepada siapa? Aku kurang bisa menjawab. Tapi aku pikir, aku merindukan berada diposisi anak manis itu. Ada bagian dari hidupku yang kembali memasuki ruang-ruang kosong dipikiranku.
Entah kapan terakhir aku merasakannya. Rasanya sudah lama sekali. Tapi aku masih beruntung. Adikku malah tidak sempat. Tapi sebagai anak laki-laki, aku pikir dia lebih mampu tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya menangis. Tidak seperti diriku yang rapuh ini. Keinget sesuatu sedikit langsung baper, berubah mood, dan berujung menangis. Dasar aku, cengeng.
Menyaksikan anak-anak itu berlarian, aku termenung. Terdiam dalam sebuah lamunan yang menyesakkan. Seperti kembali ke masa 17 tahun sebelum ini, aku terbayang kembali menjadi seorang putri kecil yang berlarian jauh kemudian kembali ke pelukan mamak sambil disambut senyum bahagia bapak. Tapi tiba-tiba hujan turun. Aku berlari mencari sesuatu yang teduh. Temanku juga. Orang-orang juga, termasuk gadis kecil yang menjadi perhatianku semenjak dia berlari. Kami berebut, sama-sama ingin melindungi diri. Tapi aku, kehilangan gadis kecil itu. Padahal aku ingin menghampirinya. Aku ingin tahu namanya, ingin berjabat tangan dengannya dan kemudian membisikkan sesuatu yang manis padanya.
"Kamu beruntung dan semoga selalu beruntung.
Tetaplah menjadi manis gadis kecil"
Aku juga ingin menyampaikan lusuh pikiran yang memenuhi pikiranku sebelum hujan membasahi kepada ayah dan ibunya.
"Putrimu cantik. Dia manis dengan senyum yang dimilikinya. Jangan dirusak ya. Jangan jadikan dia sepertiku"
Tapi hujan memporak-porandakkan rencanaku. Aku kehilangan mereka dan juga meninggalkan jasuke yang ku nikmati sedari tadi. Akhirnya temanku mengajakku pulang dan kebetulan hujan sudah reda. Dia bahkan tidak pamit. Persis seperti ingatan lusuh yang melintas dipikiranku malam tadi. Menyebalkan memang.
Dan laju motorku kembali membawaku bersama temanku menuju tempat kami pulang. Jalanan malam tadi remang-remang ditemani sorot lampu yang berjejer di tepian. Kami menikmati akhir kebersamaan kami malam tadi dengan hangat pembicaraan yang mengalahkan dingin udara yang berhembus dijalanan.
"Everything will be okay. Gadis kecil itu akan bahagia dengan ayah ibunya" katanya memulai
"Apa? Kamu bicara apa?" tanyaku terpojok
"Aku memperhatikan sorot matamu sedari tadi. Tidak usah mengelak. Aku tahu" katanya
"Emmhhhh aaaa hmmm"
"Apa? Gengsi mengakui?"
"Aku kan kangen" kataku sambil mewek
"Nah kan"
Air mataku luruh. Wajahku hampir semuanya basah. Apa yang ku tahan, tak bisa lagi tertahan. Tangisku pecah bersama dengan gerimis yang tiba-tiba turun menemani perjalanan kami. Dia menenanganku sambil menertawakan tingkahku yang menurutku memang sudah tidak pantas lagi. Tapi aku bisa apa? Semuanya datang dengan sendirinya. Tanpa ku minta. Tanpa dimulai dengan sapa. Jangan dihakimi. Tidak ada yang tahu bagaimana jadi aku kecuali aku. Tolong mengerti.
Selalu ada yang diam-diam memperhatikan. Entah kita sadari atau tidak. Entah kita terima atau tidak. Mari sama-sama belajar untuk menjadi yang mengerti. Akan selalu ada yang menggantikan apa-apa yang hilang darimu. Seperti dia orang-orang lama yang hilang dari hidupmu, terganti dengan orang baru yang mungkin bisa jadi lebih seru, lebih membahagiakan, dan lebih bisa memelukmu dari kemelut hidup yang menghampirimu.
Percaya padaku.
Salam Literasi
-------------------------
#Day21
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave
Tidak ada komentar:
Posting Komentar