Senin, 27 Mei 2019

Orang Tua dan Kepandaian Anak

Picture by : Pinterest
Pikiranku masih belum sepenuhnya terbebas. Aku masih saja menimbang satu per satu kata yang keluar dari mulutku sore tadi. Aku takut menyinggung mamak. Hampir saja aku salah mengucap, semoga mamak tetap berpikiran positif terhadapku.

"Dek Arin semalem dapet duit dari Pak Yai tha ndok?"

"Iyo mak. Hafalane pinter banget. Masyaallah"

"Owalah gimana ceritanya ndok?"

"Pak Yai nawarin bakal ngasih Rp 50.000,- ke anak-anak kecil yang berani ngafalin surat Al-Alaq. Aku mau maju sebenere, tapi udah terlanjur sadar umur. Haha"

"Wkwkwk. Terus ndok?"

"Terus Dek Arin maju, ngafalin, dapet duit deh"

"Mantep emang"

"Bapak ibuk e juga joss semua sih ya mak. Bapaknya dokter, ibunya bidan. Pantes nurun ke anaknya"

"Hubungane apa ndok?"

"Gen orang tua kan berpengaruh ke anak-anaknya mak"

"Lhah mamak ga pinter. Terus kamu berarti turunane siapa?"

Aku diam. Mengulang kembali perkataanku di dalam hati. Lalu aku linglung. Bingung harus menjawab pertanyaan mamak dengan kalimat apa. Sebenarnya aku merasa biasa saja. Tidak begitu pintar dan tidak juga sebaliknya. Bahkan aku merasa harus lebih belajar lagi tentang ilmu kehidupan. Tapi bagi mamak dan beberapa orang tidak. Dihadapan mereka aku dianggap beruntung memiliki kualitas berpikir yang cukup baik. Aku bersyukur atas ini. Tapi juga berulang kali berfikir bahwa aku tak sebaik yang mereka pikir.

"Ya beda kasus tha mak" jawabku sambil terus berfikir

"Beda gimana?" kata mamak memojokkanku

"Mamak pinter kok"

"Pinter dari mananya? Tukang nyari rumput kok dibilang pinter" kata mamak merendah

Aku hampir selalu kesusahan setiap bicara sama mamak. Takut salah ngomong dan akhirnya menyakiti. Kehidupan kami 180 derajat berbeda. Mamak dibesarkan dilingkungan perkampungan yang terpencil, kering, minim penerangan, pendidikannya terbatas, dan mayoritas hanya sibuk mengumpulkan kekayaan tanpa tahu akan dikemanakan. Dulu sebelum mamak memutuskan merantau ke ibu kota, mamak sekolah di salah satu sekolah dasar di ujung kampung sambil membantu kakek nenek mengurus ternak sapi dan kambing. Setiap pulang sekolah dia mencari rumput untuk makan ternak-ternak itu. Malamnya capek dan ketiduran. Ditambah minim penerangan menjadikan mamak malas belajar. Aku tidak sampai hati membayangkan berada diposisi mamak.

Tidak sepertiku yang sekarang ini. Aku tinggal di perkampungan yang sudah modern. Waktu memang cepat sekali berputar. Begitu juga dengan perubahan yang ada. Kehidupanku jauh lebih baik daripada yang mamak rasakan. Begitu banyak syukur ku haturkan kepada Allah yang Maha Segalanya. Terimakasih telah menjadikanku ada di tempatku yang sekarang ini Ya Rabb.

Sudah tidak ada lagi penerangan yang redup, pendidikan disini juga lebih berkembang dan meskipun tidak semua berpikiran terbuka terhadap pendidikan, setidaknya ada beberapa dari mereka yang berpikiran sama denganku. Aku harus berkembang, meski tidak terlalu jauh. Perubahan di dunia ini begitu pesat. Aku tidak sanggup membayangkan ketika sudah memiliki anak-anak dan kemudian aku buta akan perubahan ini lalu tidak bisa mengarahkan mereka dengan baik menuju masa depan. Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Orang tua adalah pewaris kecerdasan, terutama seorang ibu. Kromosom seorang ibu 2 kali lipat lebih banyak dari pada seorang ayah. Nah kromosom inilah yang mewariskan kecerdasan kepada sang anak. Pernah mendengar ungkapan Dian Sastro?

"Entah akan tetap berkarir atau menjadi ibu rumah tangga sekalipun, seorang wanita harusnya berpendidikan tinggi karena akan menjadi ibu. Ibu yang cerdas menghasilkan anak-anak yang cerdas"

Berpendidikan tinggi memang bukan satu-satunya cara menjadi cerdas. Bahkan ada banyak sarjana yang nyatanya hanya pandai di mata kuliah tapi lemah di lingkungan sosial atau malah sebaliknya. Pun tidak hanya di lembaga pendidikan saja, kita bisa belajar. Dengan lebih banyak membaca, lebih banyak besosialisasi dengan orang banyak juga merupakan cara belajar. Tapi minimal pendidikan memperlihatkanmu tentang pengalaman dan membuka pandangan secara lebih luas. Aku merasakannya, begitu banyak perbedaan. Dan ini yang membuat kita lebih bisa memposisikan diri.

Mamak memang tidak sepenuhnya menjadi madrasah pertamaku. Aku mengerti dengan keterbatasan yang beliau punya. Tapi mamak istimewa. Mamak berhasil memastikanku untuk tetap berada di lingkungan yang bisa mendukung perkembanganku terutama dalam hal belajar. Inilah salah satu kecerdasan milik mamak. Dulu setiap ada PR dan aku tidak bisa mengerjakan, mamak mengantarku ke tempat tetanggaku dan menemaniku mengerjakan PR itu sampai selesai meskipun dengan bantuan orang lain. Mamak juga memberikan dorongan semangat untukku supaya bisa mendapatkan nilai yang bagus dan kemudian melanjutkan ke sekolah yang menurutnya terbaik untukku bahkan sampai aku selesai menjadi seorang Ahli Madya sekarang ini. Doa mamak juga sepertinya tak pernah berhenti. Terimakasih mak.

"Setidaknya mamak bisa memastikan aku berkembang di lingkungan yang baik. Ini udah lebih cukup kok" kataku mencoba menenangkan

Tapi kemudian mamak pergi meninggalkan obrolan kita dengan seunting senyum. Aku tak mengerti arti senyumnya itu. Tapi aku berharap, aku tak salah mengucap. Jujur saja, membahas ini membuatku kebingungan. Tak seharusnya aku memulai perkataanku seperti itu.

Aku tahu tidak semua orang beruntung di segala hal. Tapi pasti ada satu. Termasuk aku. Aku terlahir di keluarga dengan pendidikan yang minim. Bapak dan Mamakku bahkan tidak berpendidikan tinggi. Tapi alhamdulillah, aku bisa sampai di Diploma III. Kuasa Allah memang Masyaallah. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung dunia dan akhirat.

Salam Literasi

----------------------------

#Day22
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....