Sabtu, 25 Mei 2019

Wanita dan Keahlian Memasak

Kata orang-orang, wanita itu kudu bisa masak. Supaya kalau sudah berumah tangga suaminya betah di rumah katanya. Kata siapa entah. Aku tak begitu ingat. Terlalu banyak yang mengatakan seperti itu. Baiklah aku paham, tapi tidak semuanya ku benarkan. Memasak bukan hanya cara satu-satunya untuk membangun suasana nyaman bagi suami, anak-anak, dan semua anggota keluarga.

Restoran dan warung sekarang ada dimana-mana. Tinggal uangnya aja, ada atau enggak. Ibu-ibu di kantorku juga jarang masak, tapi rumah tangganya harmonis. Yang penting tiap suami dan anak-anaknya pulang dan ingin makan, di rumah sudah tersedia makanan. Ini yang seharusnya diperhatikan. Pintar memposisikan diri. Benar kan?

"Nggak bisa masak nggak papa yang penting bisa mijit"

"Suami tuh nyari istri, enggak nyari koki ya kan?"

Dan masih banyak lagi kata-kata yang terucap dari kami masing-masing. Lumayan lah, cukup untuk menenangkan hati. Setidaknya, aku tidak sendiri melakoni diri sebagai wanita yang belum pandai memasak. Tapi percayalah, aku pasti akan belajar memasak sampai jadi ahli. Insyaallah.

Semalam aku dan teman-teman kantor seusiaku mengadakan buka puasa bersama. Kami berunding berhari-hari dan akhirnya memutuskan untuk masak sendiri menu buka puasa yang akan kami nikmati sendiri. Kami berenam, perempuan semua, dan tidak ada yang benar-benar ahli masak. Istimewa, bukan? Aku pikir iya. Tapi jangan anggap kami ini tidak idaman. Ada sisi lain yang memaksa kami menjadi ahli, tapi belum dengan memasak. Mungkin setelah ini akan jadi ahli. Yang pasti setelah kami sering belajar dan saling menilai hasil masakan kami masing-masing.

Dan ini adalah hasil dari masak bersama kami sore tadi. Bening bayam, lele goreng, tempe goreng dan mendoan, sambel kecap dan sambel bawang, nasi, krupuk,  teh anget, dan es buah berhasil kami buat dengan proses yang cukup drama. Dari mulai caraku memotong labu untuk campuran sayur yang terlalu tipis, sampai rasanya yang kurang asin. Sebenarnya bukan pelit garam. Hanya saja, aku takut dikatain kebelet nikah gara-gara masak keasinan. Ahhh bukan, ini hanya alibi. Aku memang sering was-was ketika menakar garam dan gula ke masakan. Apalagi ditambah dengan tidak mencobanya setelah matang. Akhirnya mengira-mengira menjadi jalan satu-satunya. Meskipun memang rasanya masih kurang pas.

"Ketahuan banget nih. Amatiran" kataku menggerutu.

Sepertinya setiap pergerakanku hampir semuanya kena omel sama mereka. Apalah itu, aku terima sebagai pembelajaran hidup. Semoga di agenda masak selanjutnya aku bisa lebih baik lagi ya.

Drama kedua dilanjutkan saat menggoreng lele. Gorengan pertama agak gagal. Lele menempel dengan wajan yang kami pakai untuk menggoreng. Aku pikir, karena minyak goreng yang kami pakai kurang banyak, sedangkan lele yang kami masukkan terlalu banyak. Kemudian hasilnya agak sedikit hancur. Saking besarnya semangat yang kami punya, lele dipenggorengan kami bolak-balik sampai akhirnya kami memutuskan untuk meniriskannya diatas piring. Seharusnya lele kami biarkan dan sesekali kami balik ketika menggoreng. Baiklah, koreksi.

Drama ketiga dilanjutkan dengan tempe. Sebenarnya rasanya sudah pas. Aku hanya ingin menceritakan tentang keributan kami ketika hendak menggorengnya. Dimulai dari memastikan bumbu yang akan digunakan sampai bentuk tempe yang akan dipotong semuanya jadi masalah. Aku kesal, tapi sekaligus merasa lucu. Jadi keinget Mamak tiap masak di rumah. Mamak selalu keberatan setiap aku ingin membantunya di dapur ketika beliau memasak. Tapi anehnya Mamak selalu menggerutukan aku yang jarang sekali memasak. Pernah suatu ketika, Mamak masak botok pindang. Mamak memanggilku, meminta tolong padaku untuk memarut kelapa dan mengulek sambal. Setelahnya aku disuruh kembali, tapi aku enggan.

"Udah, sana nonton TV lagi aja ndok" katanya

"Enggak ah. Mau ngelarin ini aja" kataku

Mamak tetap keberatan. Katanya aku merepotkan dan hanya akan memperlama proses memasaknya siang itu.

"Lhah mau ngapain? Kan udah kelar" katanya memaksa

"Lhah ini belum kelar si mak. Lagian mamak nih ribet banget. Aku nggak bisa masak diomongin, giliran mau bantuin masak diusir-usir. Gimana sih mak mak?"

"Emang bisa ngelarin kamu?"

"Bisa lah. Ginian doang kali mak"

Mamak pergi meninggalkanku di dapur dengan segala proses dan bahan yang tersisa dihadapan. Agak bingung sebenarnya. Takut masakannya nggak jadi atau malah rasanya yang jadi nggak karuan.

"Ginian doang kecil kali mak. Ngeremehin aku banget nih. Nggak tahu apa, tiap mamak masak aku curi-curi nyari tahu resep sama cara masak. Dihhh sebel" kataku menggerutu

Tapi alhamdulillah botok pindang hasil dari kesombonganku jadi dengan rasa yang tidak terlalu buruk bagi ukuran pemula sepertiku. Rasanya senang. Aku jadi percaya kalau aku sebenarnya pandai memasak, hanya saja aku tidak mau sombong. Halah ven ven, pinter banget nenangin diri. Huahhhhh

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku memasak. Dulu pas masih jadi anak kos, aku sering masak di kos. Menjadi mahasiswa akhir, membuatku malas keluar kos dan lebih sering menyelesaikan revisian hasil dari bimbingan. Seminggu sekali aku pergi ke tempat tukang sayur dan membeli beberapa bahan masakan. Setiap lapar, aku pergi ke dapur memasak. Entah telur dadar, telur ceplok, mie rebus, mie goreng, tempe goreng, tahu goreng, sarden, nugget, atau bahkan sossis. Ini cukup membantu mengganjal perut, sampai ajakan keluar untuk makan datang dari teman-temanku.

Percaya aku hanya bisa memasak itu? Tidak. Tolong perluas pemikiranmu tentang aku. Kadang di kos, aku memasak sayur atau juga menumis sesuatu. Mengurus diri sendiri, aku tak pernah ingin ribet. Yang penting nasiku tak sendiri masuk ke perut. Satu macam menu masakan dengan nasi cukup untukku. Mengurus diri sendiri memang semudah ini. Yang penting kita bisa mengerti apa maunya diri.

Jadi ingat masakan pertama yang aku masak di kos. Waktu itu aku ingin membuat tumis tempe dicampur dengan beberapa sayuran. Aku pergi ke dapur kos, menyiapkan bahan dan alat memasak dan kemudian memulai memasak. Api kompor ternyata terlalu besar, akhirnya hasil masakanku gosong. Bergegas aku membereskan dapur dan membawa hasil masakanku ke dalam kamar. Aku memandangnya berulang. Begitu hitam dan pahit rasanya. Ingin ku buang, tapi jatah uangku sudah minim.

"Ya Allah, masakanku gosong dan pahit. Uang jatah makanku sudah kepotong untuk membuat ini. Tapi masa iya, aku makan ini" kataku meratap

Akhirnya hari itu aku makan nasi dengan masakan tumis tempe gosong buatanku. Aku bercerita kepada mamak dan teman-temanku. Jangan ditebak bagaimana setelah mendengar ceritaku. Tentu saja mereka menertawakanku dengan tega. Tapi aku beruntung, aku mendapat banyak saran untuk masak selanjutnya. Akhirnya hari setelahnya aku mencobanya lagi dengan api yang lebih kecil tentunya. Alhamdulillah, belum sepenuhnya sempurnya, tapi untuk ukuran pemula menurutku ini sudah lebih dari cukup. Aku senang sekali.

Dari memasak aku belajar banyak hal. Keikhlasan hati dan kemauan belajar dibutuhkan demi menyajikan sebuah hidangan yang tentu saja harus dibumbui oleh banyak cinta. Masakan adalah simbol dari kasih sayang.

Yang ingin ku sampaikan kepada wanita-wanita yang belum ahli memasak, jangan sedih. Jangan khawatir tak bisa menyenangkan suami karena tidak pandai memasak. Masih banyak cara yang bisa kita gunakan untuk menggantikan itu. Dan semua akan menjadi ahli, asal mau belajar. Kita sama kok, bahkan Mamakku juga begitu.

"Mamak dulu tuh orang yang paling malas masak di rumah. Tapi abis nikah, jadi pinter sendiri ndok. Ndok besok juga gitu. Yang penting mau belajar aja" kata Mamak

Tuh kan, dengerin. Yang penting kita mau belajar. Ok?

Salam Literasi.

-----------------------------------

#Day20
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

2 komentar:

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....