Sayu pandangku mengeja satu per satu rasa. Memilah kata demi kata yang tersambung menjadi sebuah cerita. Setitik bahagia yang aku punya, ku bentangkan lagi di penghujung kisahku ini.
Siapapun kau, sampai kapanpun tak akan ku anggap sebagai apa. Aku terlalu sulit menggolongkan dirimu ke dalam jenis apa. Terlalu baik tidak, sebaliknya juga malah bisa jadi. Hati manusia sungguh berbolak-balik. Aku takut salah mengartikan pandang dari sisi penglihatanku sendiri. Sedangkan aku kepadamu sudah tertutup rasa canggung yang berlebih, sehingga setiap ingin mencari celah pandangmu menjadi sesuatu yang mustahil. Akhirnya tetap bertahan dengan sudut pandang sendiri adalah keputusan terakhir.
Tapi bagaimanapun juga, biarlah kau tetap menganggapku sebagai apa yang kau mau. Baik bagimu ku semogakan. Semoga tidak ada hal yang akan membuatmu kecewa karena kecerobohanku. Tapi jika ternyata sebaliknya, tolong aku. Datangi aku dan sampaikan kesalahanku. Sebisaku, akan aku ubah diriku menjadi sesuatu yang lebih baik. Bukan yang sempurna, aku hanya ingin menjadi yang lebih diterima. Tapi aku pikir ini akan menjadi sesuatu yang sulit.
Aku terlalu labil mengeja hati. Gelombang yang ku lalui cukup tinggi, bahkan ketika niat diri hanya sekedar singgah dari panasnya terik matahari. Ohh diri, mengapa tidak bertahan saja dengan yang kau anggap sulit? Siapa tau setelahnya kau bisa menjadi lebih dari sekedar yang kau ingin. Tapi kembali lagi, ini adalah hidupmu dan kau memiliki kehendak penuh atas dirimu. Yang terpenting jangan pernah lari dari apa yang tercipta setelah keputusanmu itu ada. Resiko ada untuk dihadapi, bukan untuk ditinggal lari. Bertanggung jawablah kepada diri sendiri.
Sahabat? Ahh jangan anggap aku seperti ini. Aku lebih suka dipanggil teman. Lebih bebas dan lebih dari segalanya. Di sepanjang perjalanan hidup yang telah ku lalui, aku tak pernah menganggap siapapun menjadi sahabatku. Aku hanya memilih diantara dua. Teman atau saudara. Tidak ada sahabat. Tapi akan ada kekasih. Dia masih ku cari. Harapku masih manari-nari bersama doa-doa yang terpanjat di penghujung hari.
Disetiap perjumpaan aku mencari kenyamanan. Bagiku nyaman lebih dari segala-galanya untuk bisa membersamai seseorang. Aku hanya berusaha sebaik-baik diri di hadapan orang-orang. Agar saat aku kembali akan tetap ada yang membersamai dan saat aku pergi tak akan meninggalkan benci. Tapi susah. Terus saja ada yang membuatku kesal. Entah karena tingkah, ucapan, atau apapun yang tak sesuai dengan apa yang aku mau. Padahal banyak hal sudah sempat aku katakan kepadanya dengan harapan aku lebih bisa memakluminya. Tapi baiklah, sekali lagi aku harus sadar diri. Aku hanya teman yang tak berhak sadikitpun atas hidupnya.
Dan jangan pernah memintaku untuk sudi menjadikanmu prioritas. Hidupku bukan hanya tentang kamu saja. Hidupku adalah tentang apa yang aku mau. Tentang apa saja yang membahagiakanku. Dan kau tak pernah menjadi yang selalu. Bagiku teman bukan segala-galanya dihidupku. Mereka tak pernah benar-benar menyediakan kebahagiaan untukku. Malah kadang sebaliknya. Merepotkan. Ya, inilah hidup dan sebagai makhluk sosial yang paham akan ini aku bersedia untuk memaklumi.
Bagiku bapak ibuku lebih penting daripada menuruti keinginan teman-temanku. Oh tapi ada yang lebih penting daripada itu. Dialah diri yang ada di diriku. Bersamanyalah aku hidup dan dialah yang selalu siap sedia menjadikanku nomor satu. Tak pernah menolak, kecuali jika permintaan ku tak bisa memenuhi kadar kesanggupannya.
Akupun tak akan meminta dan berharap lebih kepadamu. Hidupmu bukan tentang aku saja bukan? Yang terpenting tetap anggaplah aku sebagai temanmu. Sebagai seseorang yang pernah sekali bertemu dan kemudian menghubungimu meski hanya beberapa waktu. Aku mohon itu.
.
.
------------------
.
#Day13
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave
Tidak ada komentar:
Posting Komentar