Senin, 20 Mei 2019

Kesempatan Kedua

Picture by : Veni Veronika
Nafasku terengah. Degup jantungku membuncah tak beraturan. Pikiranku melayang. Baru saja mataku terbuka. Seperti nyata, tapi ternyata hanya sebuah mimpi. Atau ini kenyataan yang seperti mimpi. Tapi terserah. Apapun itu, aku bersyukur bisa menuliskan kisahku kembali setelah dipeluk ketakutan seharian.

Tadi pagi aku terbangun. Tak lupa mengucap syukur atas kesempatan yang ada kemudian menyelami mimpi yang baru saja menghampiri. Rasanya aneh. Entah apa, aku sendiri tidak begitu paham. Tahuku cuma satu. Dimimpi itu aku berada di atas dipan, terbujur kaku terbungkus kain kafan sambil di kelilingi orang banyak. Aku mati, menangisi diri sendiri dan kemudian akhirnya kembali di kehidupan ini. Aneh bukan? Tapi apapun itu, aku lebih menganggap ini sebagai sebuah teguran dari Allah untukku.

Sebelum itu aku ketiduran, tidak sempat berdoa dan mukena pun masih hangat menyelimutiku sampai akhirnya aku terbangun. Sepertinya, tidurku sangat nyenyak sampai didatangi mimpi yang membuatku ketakutan. Dan seperti inilah kisahku.

Aku pergi bersama teman kantorku. Kami bertiga seperti biasa. Kami menuju ke sebuah tempat. Tepatnya apa, aku lupa. Tapi kemudian kami pulang dengan masing-masing sepeda motor yang kami kendarai. Setelah lama berunding, akhirnya kami memilih jalan yang biasa kami lalui. Tapi entah kenapa, kami tersesat di sebuah perkampungan yang penduduknya aneh. Memandang saja sinis. Seperti memandang hidangan ayam goreng yang enak untuk dinikmati. Kami saling menatap, berpikir akan berakhir sebagai korban seperti di media massa beritakan. Akhirnya kami melarikan diri. Dengan masih mengendarai sepeda motor kami masing-masing, kami berpencar mencari jalan sendiri-sendiri untuk mengamankan diri.

Tapi entah kenapa, tiba-tiba aku meyusuri jalanan dengan cara merayap dan merangkak. Sepeda motorku entah kemana, aku tidak terlalu peduli juga. Annisa dan Hani? Entah, aku juga tidak terlalu memikirkan mereka. Peduliku hanya menyelamatkan diri sendiri saja. Egois memang, tapi beginilah isi mimpiku. Dan aku sudah sampai di depan rumah tetanggaku. Jaraknya sekitar 3 rumah dari rumahku. Tapi banyak orang di rumahku. Aku tidak tahu sedang ada acara apa, tapi salah satu dari tetanggaku menyambangiku dan mengatakan "Sabar ya nduk, kamu udah meninggal dan jenazahmu sudah ada di rumah". Lemas seluruh badanku mendengar pernyataan itu. Aku pandangi satu per satu tamu yang datang melayat. Wajahnya semu semu menyampaikan bela sungkawa kepada mamak dan saudara-saudaraku.

Dan aneh, Annisa tiba-tiba ada disampingku dan kemudian kami berdua saling berbisik.

"Aku dah mati" kataku menyesal

"Iya, kecelakaan. Aku juga" katanya menenangkan

"Lhah, kok kamu disini?" kataku keheranan

"Iya, tapi jasadku udah dibawa ibuk ke Temanggung" katanya

"Terus Hani?"

"Sama, dia juga mati kecelakaan"

Seperti tidak percaya, tapi kehadiran Annisa membuatku merasa tidak sendiri. Kami menyalami tamu yang datang dari depan rumah tetanggaku sampai masuk ke dalam rumahku. Dan sampailah pada keadaan dimana aku dihadapkan dengan jasad ku sendiri. Rasanya seperti mimpi, tapi kami benar-benar berhadapan. Aku tidak sanggup berada didekatnya dan kemudian pergi keluar. Tapi tidak dengan Annisa. Dia membuka penutup wajahku. Melihat wajahku yang rada hancur akibat kecelakaan. Aku menjauh, melihatnya dari jauh.

"Tega amat liat jasad temen sendiri. Padahal aku yakin, melihat jasad sendiripun dia tak akan mampu. Dasar Annisa, udah mati aja masih songong" kataku menggerutu

Setelahnya dia kembali menghampiriku. Kami tidak menangis, hanya saling menenangkan dan saling meratap. Jangan tanyakan bagaimana kelanjutan cerita tentang Hani. Dia malah tidak muncul lagi dimimpiku setelah itu. Mungkin dia sudah lebih dulu selesai disemayamkan di pemakaman dekat rumahnya. Aku bahkan tidak menanyakan ini kepada siapapun, kecuali kepada diriku sendiri.

"Ga nyangka ya, ternyata kita udah mati" kata Annisa sambil memandang jasadku dari kejahuan

"Dih kenapa waktu bisa secepet ini si?" kataku melanjutkan penyesalan

"Udah diterima aja" katanya pasrah

"Hei mimpiku masih banyak. Aku masih belum jadi penulis, belum punya suami, belum punya anak, belum jadi ke Makkah, keliling Indonesia. Amalku juga belum cukup. Gimana ntar pas ditanya malaikat? Emang kamu udah siap jawab hah?" 

"Belum juga si"

Kami pasrah. Dan setelah itu benar-benar tinggal berdua saja. Tamu-tamu dan jasadku yang semula ada, hilang entah kemana. Semakin ketakutan, aku memohon. Meminta apapun sambil menangis kepada Allah yang Maha Segalanya.

"Ya Allah, tolong kasih kesempatan ke kami lagi. Ijinin kami meraih mimpi-mimpi kami. Ijinin kami biar jadi hamba-Mu yang lebih baik dan lebih taat lagi kepada-Mu. Ijinin kami biar jadi anak yang lebih berbakti lagi sama Bapak Ibu kami. Ijinin kami hidup lagi Ya Allah. Tolong"

Aku benar-benar ketakutan. Takut benar-benar tak bisa kembali lagi ke dunia. Selain masih banyak sederet mimpi yang belum berhasil ku capai, hal yang lebih penting daripada itu adalah amalku masih belum cukup untuk bisa mempertanggung jawabkan semuanya kepada Allah. Hidupku masih sangat kacau. Jalan hidupku masih sangat berliku dan aku masih menjadi manusia yang banyak tak tahu dirinya.

Dan melihat lagi orang-orang yang berlalu lalang datang dan pergi di sekitaranku, membuatku sangat iri. Betapa tidak? Mereka masih bisa berdialog ini itu, sedang aku. Sebentar lagi hanya bisa sendiri dan menggerutu seorang diri. Akan berteman dengan siapa entah. Terlalu banyak yang aku khawatirkan, terlalu banyak yang membuatku ketakutan. Termasuk berpisah dengan orang-orang tersayangku. Mamak, Bapak, Enang, saudara-saudara, teman-teman, orang-orang baru, dan siapa saja. Oh, perpisahan memang sesuatu yang menyedihkan. Aku benar-benar ingin lari.

Sampai akhirnya aku kembali membuka mataku. Terbangun dari mimpi yang membuatku terengah-engah setelahnya. Kemudian aku duduk di tepi tempat tidurku dan menyadarkan diri. Alhamdulillah ternyata yang ku alami hanyalah sebuah mimpi. Aku mendengar suara mamak dari luar kamar, aku mendengar suara kokok ayam lagi. Aku bisa berlarian memandangi satu per satu ruangan yang ada di rumahku. Aku masih hidup. Jiwaku masih bersatu dengan ragaku.

Tangisku pecah. Mengucap banyak terimakasih kepada Allah yang Maha Segalanya. Tapi ketakutan yang ada masih tak ingin lepas dariku. Sampai sekarang, masih terbayang olehku bagaimana ketika aku memandang jasadku sendiri dihadapan. Dan di kesempatan yang kedua ini, aku ingin mengatakan kepada kalian sekaligus mengingatkan diriku sendiri bahwa

“Tidak ada yang tahu kapan mati itu datang. Jadi selama waktu itu masih ada, menjadi baiklah. Jadikanlah dirimu taat kepada Allah. Upayakanlah apapun yang menjadi mimpimu dengan sebaik-baiknya. Sayangilah dirimu dan orang-orang yang ada disekitarmu dengan baik. Jangan melakukan apapun yang bisa membuatmu menyesal. Agar ketika mati itu telah tiba, kita bisa sama-sama bahagia dan rela mendapatkannya. Kesempatan tak selamanya datang dua kali. Jadi selama masih diberikan ruang, mari saling mengingatkan dan sama-sama menjadi baik”

Selamat pagi dan semoga ceritaku ini menginspirasi. Maklumin ya kalo agak belibet. Maklum, jalan cerita mimpi kan emang ga selamanya nyambung. Hehe

Salam literasi.

Dariku yang baru saja terbangun dari mimpi,
Veni Veronika


#Day15
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave

2 komentar:

  1. Ini beneran kisah nyata mbak? Subhanallah... ngeri rasanya membayangkan kalau saya diposisi itu.

    BalasHapus
  2. Iya mbak. Alhamdulillah cuma mimpi. Ga kebayang juga kalo beneran kejadian.

    BalasHapus

Surat Kepada Siapapun yang Sedang dan Masih Merasa Kehilangan

Dear Everyone, I know it's not easy. I also won't know how heavy your burden is. Tapi guys, hidup harus tetap berjalan....