Laju motor pelan melintasi jalanan. Sore tadi senja sedang cantik-cantiknya. Rinduku terbayar dengan temu. Canda tawa riuh menemani perjalanan kami ke salah satu sudut kota kecil yang kami tinggali. Nyanyian singkat sesekali bergeming diantara bibir kami. Lagu milik siapa entah, terlalu banyak yang kami nyanyikan. Hatiku berbunga layaknya dibasahi derasnya hujan pertama di bulan ini.
Tapi senyumku tiba-tiba memudar disapu bahagianya. Seperti diterpa angin kencang, aku porak-poranda. Hatiku seperti tercabik, tapi pikirku tak pantas. Aku tak pernah jadi siapa-siapa di babak ini. Akhirnya tetap terlihat bahagia di atas derita menjadi jalan satu-satunya.
Tapi tak bisakah dia berhenti membicarakan ini. Yang bahagia dia rasa, tapi sangat tidak begitu denganku. Aku benar-benar diambang rasa pilu. Rasanya ingin menetap, tapi aku terus terkikis. Ingin berlari jauh, tapi untuk apa. Aku dan seseorang yang sekarang membuat bunga-bunga dihatinya mekar, cukup baik bertahan dengan kisah lama kami sebelum ini. Ya, tentu saja hanya sebagai teman.
Aku turut berbahagia dengan kisahnya yang sekarang. Yang indah sejak seseorang itu datang di kehidupannya dan hanya sekilas lewat di kehidupanku. Sadarku, aku hanyalah sebuah batu loncatan di kisah ini. Aku sungguh tak pantas menaruh hati atas ini. Sekalipun sejujurnya aku masih kebingungan dengan apa yang sedang aku hadapi sekarang. Tega dan polos memang sesuatu yang bedanya tipis. Dan sepertinya aku harus benar-benar belajar mengerti atas ini. Mau tidak mau, luasnya hati harus ku sediakan. Menjadi seperti seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bersikap biasa saja, meski setelahnya ada banyak hal yang membuatku tak berhenti menggerutu. Oh percayalah, bahkan meski aku belum benar-benar terjatuh, luka ini sudah begitu membekas di tepian hati.
"Kamu cemburu ya?" tanya perempuan sebaya yang sedang duduk persis dihadapanku
"Apaan?" jawabku mengelak
"Iyo, kamu cemburu kan?" gertaknya
"No. Siapa gua lagi?" jawabku
Aku cukup sadar diri atas ini. Aku bahkan tak pernah mengupayakan apa-apa atas ini. Dan aku pikir setelah ini semua terjadi, aku sama sekali tak pantas menuntut apapun. Oh waktu, bergulirlah lebih cepat dan lekas bawakan obat untuk batinku yang tersiksa ini.
"Terus?"
"Ya enggak nyangka aja. Wajar dong"
"Iya wajar"
"Bayangin elu diposisi gua. Kira-kira elu bakal gimana?" tanyaku membalikkan
"Aku? Ya sakit si. Tapi gimana si?"
"Gimana apanya?"
"Udah, sekarang biasa aja. Anggep seolah ga ada apa-apa. Toh emang ga pernah apa-apa kan?"
Oh hati, menguatlah. Sungguh kenyataan itu ada untuk dinikmati dan disyukuri. Bahkan menggerutupun tak akan membuat waktu menghentikan masanya apalagi merubah garis takdir berubah seperti apa yang kita mau. Nikmati saja, nikmati.
"Iya, emang ga pernah ada apa-apa" kataku menutup obrolan
Aku pamit, menyendiri bersama sisa ruang yang ada di hatiku. Berfikir akan seperti apa setelah ini. Aku tidak boleh egois, sekalipun aku pernah berfikir bahwa ini semua tak seharusnya terjadi. Tapi bagaimanapun, garis takdir ada tidak untuk dihindari.
Jatuh cinta membuatku teramat takut. Takut jatuh terlalu dalam kepada orang yang salah yang bahkan setelahnya malah akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa pulih kembali. Aku terlalu takut disakiti. Aku terlalu lelah mencari obat hati. Aneh memang, padahal kan kodrat dari manusia sendiri adalah saling menyakiti.
Dan biarlah ini menjadi masalahku. Akan aku bereskan sendiri dengan caraku dan tidak usah mempedulikanku. Aku lebih dari kuat untuk sekedar menyiapkan hati untuk orang baru. Luka ini, biarlah menjadi hiasan di hati. Kelak, akan ku kenang ini sebagai pukulan hangat yang menyenangkanku.
Salam Literasi,
---------------------------
#Day23
#OneDayOnePOst30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
#ulasrasave
Tidak ada komentar:
Posting Komentar